
Wanita cantik itu geram, kaumnya disalahkan. Berabda-abad lamanya, ustad dan pendeta, gemar mengisahkan tragedi buah khuldi. Pelaku primernya, Hawa. Pelaku pelengkap, Adam. Ini tragedi ‘mendunia’ dari alam bukan dunia. Deritanya, keduanya terlempar dari surga. “Kisah ini jelas memojokkan perempuan”, tegas pembela hak-hak perempuan itu.
Ia sangat tak terima perempuan ditunjuk-tunjuk, dipreteli martabatnya, dikuliti kemanusiaannya. Ini sungguh tak nyaman, tak mengenakkan.
“Adam dan Sitok seharusnya sanggup cegah itu. Mereka bisa larang wanitanya untuk berbuat yang nggak-nggak. Apa fungsi laki-laki jika tak mampu lindungi perempuan. Katanya pemimpin, pengayom, pelindung. Mana buktinya?”, gugatnya lagi.
“Tapi…”
“Gak ada tapi-tapian. Lelakilah yang gak becus”
“Kok bisa begitu? Toh bukan laki-laki yang suruh Hawa makan khuldi”
“Emang bukan, tapi Adam ketika itu bersama Hawa. Mosok cuman diam aja, gak kibaskan lengan ntuk larang Hawa?”
Aku terdiam, perempuan ini kuat-kuatan membela kaumnya. Ia lupa, sesungguhnya kelemahan raya seorang bernama laki-laki adalah perempuan. Ia lupa Bonaparte, Hittler, Farao Ramses. Laki-laki perkasa itu tersungkur di tangan perempuan. Dan ratusan lelaki hebat remuk-redam di buaian perempuan, jangankan melarang, bernafas saja susah saat perempuan merengek-rengek. So, siapa yang salah kaprah? Salah seorang darinya? Atau keduanya? Entahlah… !