Aku Tidak Suka Pengemis
Oleh Odi Shalahuddin
Terus terang aku tidak suka dengan pengemis. Bila mereka datang mendekat di perempatan-peremapatan jalan, aku akan memberi tanda dengan tangan sebagai penolakan untuk memberi. Demikian juga bila berada dalam bus ekonomi.
Waktu kecil dulu, sebenarnya aku paling suka memberi uang atau sesuatu kepada pengemis. Ini dipengaruhi oleh ajaran dari orangtua, para guru ngaji dan guru agama di sekolah. Kisah-kisah yang selalu disampaikan melahirkan kesadaran bahwa ini adalah kewajiban sebagai manusia untuk berbagi dengan sesama.
Sosok pengemis yang hadir dan melekat dalam kepalaku atas situasi pada masa-masa kecil adalah seseorang yang sudah tua renta, berpakaian kumal dan sering tidak berganti, menggunakan penutup kepala/topi, berkunjung dari satu rumah ke rumah lainnya dan menyampaikan salam atau sapa yang khas. Ketika diberi ia akan mengucapkan syukur lalu mendoakan si pemberi. Beberapa pengemis semacam ini memang masih kujumpai, dan aku tidak bisa menolak untuk tidak memberi.
Seingatku ketidaksukaan untuk memberi sesuatu kepada pengemis mulai terjadi pada tahun 90-an, pada masa-masa selepas SMA. Pada saat itu aku sudah bersentuhan dengan berbagai kelompok masyarakat miskin, termasuk membuat program di salah satu Dusun yang terkenal sebagai basis pengemis. Dusun tersebut terdiri dari empat kampung dan hanya salah satu kampung yang sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai pengemis. Kampung ini secara fisik merupakan kampung yang paling makmur dibandingkan dengan kampung-kampung lainnya. Rumah-rumah mereka sudah berdinding tembok.
Selain itu aku juga sudah bersentuhan dengan kelompok-kelompok anak jalanan (aku sendiri pernah menjadi anak jalanan di Jakarta, pada tahun 80an dan seingatku tidak ada diantara mereka yang berprofesi sebagai pengemis). Pada masa 90-an mulai dikenal istilah buntung-buntungan, yaitu seseorang muda yang terlihat kaki-nya buntung, padahal tidak. Mereka melipat kakinya, baru menggunakan celananya. Bagaimana teknik menjadikan kaki bunting pernah dimuat di majalah Tempo secara terperinci. Selain itu, modus lain yang digunakan adalah seolah-olah kakinya terluka parah. Terbalut dengan kain kasa, diberi obat merah, dan diberi tape untuk mengundang lalat-lalat. Ah…..
Pada saat di Semarang, seorang anak tiba-tiba mengemis di perempatan jalan dengan modus memiliki laki-laki yang terluka parah. Sontak anak tersebut mendapat ejekan dari seluruh anak jalanan yang mengenalnya. “Ih, ngemis, tidak malu?”. Jadi, mengemis di kalangan anak jalanan juga dianggap sebagai kegiatan yang merendahkan diri sendiri. Mereka merasa sah bila menjual sesuatu (pedagang asongan) atau menjual jasa (mengamen).
Pada tahun 2000-an adalah masa-masa di mana banyak orang dari anak-anak hingga orang dewasa berhamburan ke jalanan. Kegiatan yang dilakukan sebagian besar adalah menjadi pengemis!
Mereka menadahkan tangan tanpa basa-basi kepada setiap pengendara yang terpaksa berhenti karena traffick light berwarna merah. Segera berlalu setelah diberi uang atau diberi tanda penolakan. Kali ini, yang hadir adalah di luar bayanganku tentang pengemis. Mereka adalah anak-anak yang masih terlihat ceria, pemuda yang gagah ataupun ibu-ibu dan bapak-bapak separo baya yang masih terlihat sehat. Pakaiannya juga bersih, tidak kumal dan bolong-bolong. Untuk menarik rasa iba, bayi-bayi ada dalam gendongannya (sehingga sempat muncul isu tentang persewaan bayi), atau lebih tragis lagi ada di satu kota di mana bayi diletakkan di pinggiran jalan, dan disebelahnya diberi kota untuk melemparkan uang. Konon banyak bayi yang mati karena kecelakaan, terlindas kendaraan.
Modus mengemis juga mengalami perkembangan. Di terminal Magelang misalnya, saya beberapa kali menemui seorang ibu berumur sekitar 30 tahunan, akan mendekati dan duduk di sisi penumpang, lalu bercerita bahwa dirinya kecopetan dan tidak memiliki uang untuk pulang. Untuk orang yang sama, saya pernah didekatinya lebih dari tiga kali perjumpaan.
Pengemis yang berkeliling mendatangi Rumah-rumah, kadang-kadang datang seolah bertamu. Ia akan bercerita tentang latar belakangnya, lalu mengatakan bahwa ia membutuhkan uang untuk khitanan anaknya. Kadang ia terlupa, sehingga beberapa kali mendatangi orang yang sama dalam bulan yang berbeda.
Tentu banyak lagi modus-modus yang dilakukan untuk mendapatkan uang dengan mudah. Tapi begitulah. Hal-hal semacam itulah yang mungkin sudah meruntuhkan suatu kesadaran tertentu dalam diriku. Sungguh, Aku tidak suka pengemis.
Tangan diatas lebih mulia dari tangan dibawah.
Nice Post, mas Odi
Selanjutnya, telah kami perisiapkan ruang khusus untuk anda ‘OCEHAN ODI’.
Terus berkarya ya mas, kami tunggu artikel anda selanjutnya.
Salam
Admin..
Terima kasih banyak atas ruang yang telah diberikan kepada saya. Semoga dapat lebih aktif setiap hari (selama ada akses internet… he.h.e.he.)dan semoga pula tulisan dapat bermanfaat bagi kita semua..
Manstaf 🙂
Manstaf 🙂