Fiksi  

Ambigu

ambigu
mytrooly.blogspot.com

 Andai saja ada pengadilan tertinggi selain pengadilan milik Tuhan, betapa inginnya kusampaikan berlembar-lembar rasa keberatan ini.

Merasa terabaikan di antara rimbunnya belukar yang penuh dengan onak durinya, padahal katanya aku adalah mahluk tertinggi kastaNya.

Sebagai manusia, bukannya aku tidak bisa mengucap syukur untuk banyak hal yang sudah terlalui, tetapi justru karena aku di ciptakan sebagai manusia, ada keinginan-keinginan yang semestinya terpenuhi.

Kunang-kunang melenggang genit pada malam-malam tertentu, sementara halimun pun turut mengikutinya dari belakang. Mereka berjalan terarah tanpa takut terantuk.

Halimun yang hanya berupa kabut tipis lepas, merasa nyaman berdekap-dekapan dengan hangatnya cahaya kunang-kunang.

Ah, betapa irinya diri ini.

Melihat kemesraan mereka, merasa telah di pecundangi oleh penciptanya. Sementara pertanda usiaku yang makin meninggi sudah nampak jelas terlihat.

Baca juga :  [Cerbung] Vendetta 3 : Gold Medallions

Kening yang berkerut-kerut, kulit yang tergantikan dengan keriputnya lapisan terluar buah jeruk, aura keindahan yang makin meredup karena terselimut sepinya kesepian.

Sang Maha,

Kiranya panca inderaMu masih berfungsi dengan baik, sudilah kiranya kau bertandang ke kediamanku.

Sebuah rumah yang hanya berisi kesunyian dengan nestapa sebagai hiasan dindingnya, dan sekat-sekat pemisah yang menceritakan sebuah alkisah kekecewaan.

Terluka ketika janji yang di semai berbuah dusta, tercabik ketika harapan yang di tanam berbunga pengkhianatan.

Dan pada akhirnya, kesemuanya itu mengurungku dalam dimensi yang kusebut kesepian.

Aku terjebak pada kanvas tak berwarna. Ambigu.

Hingga waktu yang Kau gulirkan, sampai di ambang senja belum juga mampu mengkikis semua hal itu. Diri ini masih saja bergelung dengan kesakitan kisah lalu.

Baca juga :  Doa Untuk Desaku

Aku bukannya tidak ingin bergerak maju, menantang mentari yang kerap sombong, mengejek kelesuaanku ketika melangkah.

Aku juga bukan umat yang hanya bisa terkulai lemas ketika seribu asa membumbung pergi meninggalkanku, karena mungkin mereka sudah bosan dan muak dengan keluh kesahku, yang sesekali berurai airmta.

Yang aku tahu, mungkin aku hanya insan yang terjebak pada ambigu kotornya dunia ini. Sampai-sampai jiwaku menjadi kerdil dan bebal untuk bisa merengkuh banyak hal tentang rahmatNya.

Sesaat kusadari hal itu, menyelinap tanya “Adakah pengadilan tertinggi selain milikNya, untuk memenuhi segala inginku?”

 

Respon (4)

  1. kesunyian dunia tak berarti apa apa dibandingan nestapanya jiwa, lalu ke manakah nyanyian surgawi? :2thumbup

    1. Selamat sore Pak Kate,

      Aduh..kenapa baru lihat komennya ya..Maafin

      Sebatas inikah kesunyian jiwa yang tengah melewati waktu di lorong kefanaan, padahal setelahnya lorong keabadian menanti dengan riuhnya kidung surgawi 🙂

      Salam,
      NO

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *