Lasmi seorang ibu muda sedang disibukkan dengan urusan sekolah anaknya. Ia berulang kali harus berhadapan dengan wali kelas maupun dengan kepala sekolah tempat Dika bersekolah. Pasalnya Dika yang berada di sekolah unggulan tempat penggemblengan anak-anak berprestasi, justru sedang bermasalah dengan prestasinya. Saat itu Dika yang sedang duduk di kelas IV tidak pernah mau mempedulikan guru maupun teman-temannya tetapi selalu terlihat murung. Bahkan waktu belajar di sekolah telah habis untuk melamun.
Ketika Lasmi menanyakan kepada guru dan kepala sekolah tentang masalah Dika, guru beserta kepala sekolah justru menanyakan ada masalah apa di rumah. Akhirnya Lasmi pun menanyakan kepada si sulung Dika walaupun belum mendapatkan jawaban yang memuaskan.
Prestasinya semakin hari semakin merosot. Berbagai cara telah dicoba untuk mencari jawaban atas permasalahan Dika. Dengan kelembutan seorang Ibu Lasmi mencoba menanyakan kepada Dika, “Apa yang kamu inginkan, sayang?” Dika hanya menggeleng. “Ibu harus bersikap seperti apa sayang?” Tanya Lasmi kembali dengan lembut. “Bisa-bisaa saja”, jawab Dika singkat. Beberapa kali Lasmi melakukan diskusi dengan guru maupun kepala sekolah namun, hasilnya nihil belum ada solusi maupun perubahan yang berarti. Akhirnya mereka memutuskan untuk meminta bantuan psikolog.
Dika dan Lasmi pun akhirnya menemui seorang psikolog untuk melakukan test IQ. Tanpa persiapan apapun Dika mampu menyelesaikan semua soal tanpa kendala . Soal demi soal bisa diselesaikan Dika hanya dalam hitungan menit. Tak lama kemudian Psikolog yang bersahaja itu menyampaikan hasil test Dika. Hasil belajar pun cukup mencengangkan. Angka kecerdasan Dika ternyata mencapai 147 yang berati masuk skala sangat cerdas. Sementara aspek kemampuan pemahaman ruang , abstraksi, bahasa, penalaran, ketelitian, dan kecepatan dalam kisaran 140-160. Akan tetapi mereka menemukan kejanggalan pada kemampuan verbal yang tidak mencapai 115 yang dapat dikategorikan rata-rata cerdas.
Hasil test tadi ternyata membuat Psikolog berasumsi bahwa Dika mengalami masalah kepribadian. Menurutnya Dika harus menjalani test kepribadian untuk melakukan observasi lebih lanjut. Singkat cerita akhirnya test kepribadian pun dilakukan. Melalui sebuah test interview dan juga test tertulis, Psikolog mampu menarik benang merah yang kemungkinan menjadi penyebab atau penghambat kemampuan verbalnya. Setidaknya melalui hasil test ini Lasmi dapat mengerti atau membaca jeritan hati Dika.
Melalui kejujuran jawaban Dika, Lasmi mulai menyadari dan berkaca diri untuk melihat dirinya. Lasmi melihat wajah seorang ibu yang jauh dari kata ideal. Beberapa pertanyaan Psikolog yang membuat Lasmi tercengang dan membuat hatinya pun bergejolak. Ketika Psikolog itu menuliskan pertanyaan, “Aku ingin ibuku….” Dika pun menjawab, “Membiarkan aku bermain sesuka hatiku, sebentar saja”. Berdasarkan pertanyaan pendalaman tadi ternyata terungkap bahwa Lasmi kurang memberikan kesempatan kepada Dika untuk bisa bermain secara bebas. Memang saat itu Lasmi membuatkan jadwal yang ketat demi kebaikan Dika di masa depan. Seluruh kegiatan Dika sudah terjadwal dengan rapi dan ia harus melaksanakannya. Permainan yang boleh dilakukan pun harus permainan edukatif sehingga Dika tidak perlu membuang-buang waktu hanya untuk bermain. Singkat kata waktu Dika habis untuk belajar dan mengikuti berbagai kursus. Bisanya Lasmi selalu dibuat pusing dengan jadwal Dika, ternyata ia hanya perlu diberi kebebasan bermain.
Ketika Psikolog menyodorkan kertas bertuliskan, “Aku ingin Ayahku….”, Dengan kalimat yang agak berantakan namun kira-kira maksudnya begini, “Aku ingin ayahku melakukan apa saja seperti ia biasa menuntutku melakukan sesuatu.” Melalui beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa Dika tidak mau diajari atau disuruh, apalagi diperintah ini dan itu. Dika hanya ingin melihat ayahnya melakukan apa saja setiap hari, seperti apa yang selalu diperintahkan ayahnya kepada Dika. Ia ingin ayahnya bangun pagi-pagi kemudian membereskan tempat tidurnya sendiri, makan dan minum tanpa dilayani orang lain, menonton TV secukupnya, merapikan sendiri Koran yang habis dibaca, dan tidur tepat waktu. Sederhana memang, tetapi apa yang dinginkan Dika tadi justru hal yang sulit dilakukan oleh kebanyakan orang tua.
Ketika Psikolog mengajukan pertanyaan, “Aku ingin ibuku tidak….” Maka jawaban Dika pun cukup simple “Menganggapku seperti dirinya” Ternyata Lasmi memang suka bekerja keras, disiplin, hemat, gigih untuk mencapai keinginan. Hampir-hampir tindakan Lasmi selama ini ingin menjadikan Dika sebagai foto copy dirinya.
Saat Psikolog mengajukan pertanyaan, “Aku ingin ayahku tidak….” Dika menjawab, “Tidak menyalahkan aku di depan orang lain, tidak mengatakan kesalahan-kesalahan kecil yang kubuat adalah dosa.”
Tanpa disadari, orang tua sering menuntut anak untuk selalu bersikap dan bertindak benar hingga tak memberi tempat anak berbuat kesalahan. Apabila orang tua selalu menganggap kesalahan adalah dosa yang harus diganjar dengan hukuman, maka anak akan memilih berbohong. Dengan demikian sebenarnya anak harus tetap diberi kesempaan melakukan kesalahan. Kesalahan adalah pengalaman berharga karena anak bisa belajar dari kesalahannya sehingga dia tidak akan mengulangi lagi.
Berdasarkan pengalaman ini, ternyata apa yang diinginkan orang tua tidak semuanya baik bagi anak. Ternyata orang tua harus sadar bahwa anak adalah pribadi unik yang harus senantiasa dijaga tetapi tetap harus diberi ruang untuk bertumbuh. Kita bisa menganalogikan dengan sebuah pohon. Jika kita menginginkan pohon yang tumbuh dengan baik kita tidak boleh mengikatnya dengan kuat. Akan tetapi, pohon harus mendapat pupuk dan sinar yang baik tanpa hambatan. Bila kita mengikat pohon terlalu kuat dan kurang memberikan pupuk dan sinar secara cukup, maka pohon tentu menjadi kerdil dan tidak tumbuh dengan sempurna. Salam Ketikers-AST 30/12/2013
Disarikan dari email teman.