Saya tidak tahu apakah ini suatu keberuntungan atau nasib sial. Sejak kecil selalu saja aku dekat dengan orang-orang yang banyak berpengaruh terhadap diriku yang bersikap “Anti Tokoh”.
Pada saat di SMP, pikiranku tentang para selebritis dihancurkan dengan argumentasi begini: Penyanyi dan pemain film itu bisa hidup dari kita. Kita membeli kaset-kaset dan menonton film-film mereka sehingga mereka bisa terkenal, bisa mendapatkan uang banyak. Setelah itu mereka menjadi bintang-bintang iklan. Bila kita mengaguminya, maka kita bisa terpengaruh membeli barang-barang yang ditawarkan walaupun bukan menjadi kebutuhan kita. Jadi buat apa memuja-muja mereka, apalagi sampai memimpikannya. Ini demikian melekat di kepala dan menancap pada jiwa saya, hingga sekarang.
Ketika SMP pula, pikiranku dihancurkan dan menjadi berubah pandangan terhadap kekaguman pada para pejabat. ”Pejabat-pejabat itu bukan posisi yang menyenangkan. Karena mereka sesungguhnya membawah amanah, membawa mandat, untuk melayani masyarakat, menciptakan keadilan dan menuju kesejahteraan. Jadi, bila para pejabat tidak memberikan pelayanan dengan baik, membuat kebijakan yang malah menyengsarakan rakyatnya, mereka bukanlah pejabat, melainkan penjahat,”
Semakin bertambah umurku, orang-orang sekelilingku, walaupun tidaklah sama, tapi berlaku serupa.
Nah, yang terpenting dari perusakan cara berpikirku adalah, ”Orang itu ditentukan dari sikap, pikiran dan tindakannya. Ini harus sesuai. Kita harus menghormati pikiran dan tindakan yang baik, yang mengedepankan kepentingan orang banyak. Siapapun dia. Entah presiden, mentri, pejabat, guru, petani, buruh, anak jalanan, atau anak-anak sekalipun, kita layak menghormatinya,”
Pikiran-pikiran semacam ini, kutularkan juga ke kawan-kawan waktu di SMP, SMA, ataupun kawan sebaya lainnya.
Maka, dengan cara berpikir semacam itu, aku merasa tidak punya beban berhadapan dengan siapapun. Malah ada kecenderungan bersikap seenaknya, terutama dalam penampilan. Waktu sekolah, aku cenderung menggunakan sepatu dengan ujung yang diinjak sehingga menyerupai sepatu sandal. Ketika lulus SMA, aku merasakan terbebas dari sepatu, sehingga bisa memuaskan waktu dengan menggunakan sandal jepit yang bahkan tidak peduli bila lain warna dan ukuran. Juga bisa memanjangkan rambut yang selalu berantakan.
Beberapa bulan setelah lulus SMA, aku bersama kawan-kawan membentuk sebuah Organisasi Non Pemerintah yang bekerja di daerah pedesaan. Lembaga ini mengorganisir para pengemudi becak di basis-basis tempat tinggal mereka di beberapa kecamatan di kabupaten Bantul. Juga mengorganisir anak-anak dari suatu perkampungan yang pernah dikenal sebagai kampung pengemis. Selain itu mengorganisir pemuda-pemudi dari berbagai desa dengan menyelenggarakan diskusi rutin mengenai masalah-masalah yang dihadapi masyarakat bawah. Sebagai ketua di lembaga tersebut, mungkin aku yang paling kumal dibandingkan kawan-kawan lain.
Pada pertemuan-pertemuan nasional untuk membicarakan masalah-masalah rakyat, kekumalanku juga sangat menonjol. Pikiranku pada saat itu, kekumalanku tidak lebih kumal dari rakyat kebanyakan. Bila sebagai kawan mereka risih, bagaimana mereka bisa berhadapan, menerima atau bekerja dengan rakyat?
Tentu saja aku akan berhadapan dengan para orang-orang yang dikenal sebagai tokoh yang aktif memperjuangkan rakyat, yang mungkin melengos, mengernyitkan kening, bertanya-tanya tentang diriku, lebih tepatnya kekumalanku. Beberapa informasi setelah acara, bisa juga sampai ke telingaku mengenai penampilanku yang dianggap tak pantas. Aku hanya menanggapi dengan tertawa saja.
Sepanjang perjalanan hidupku, hal yang aku sangat hindari adalah pertemuan-pertemuan dengan pemerintah. Aku menganggap sebagai pertemuan basa-basi yang sangat formalistik.
Pikiran, sikap dan tindakan yang terbentuk pada diriku, menyebabkan aku (dan beberapa kawan) tidak pernah merasakan kebanggaan yang berlebihan bila bertemu dengan tokoh-tokoh nasional, pejabat, mentri, jendral ataupun artis. Biasa-biasa sajalah bersapa. Walau aku pernah ditegur ketika bertemu dengan seorang mentri menggunakan sandal. Sungguh, aku akan sangat menghormati mereka, bukan lantaran jabatan dan posisinya. Tapi konsistensi mereka, bila mereka mengedepankan kepentingan orang banyak. Pertemuan dan para pembuat berita bagi diriku dan kawan-kawan bukan merupakan berita yang layak dikabarkan ke semua orang.
Tapi, aku adalah orang biasa-biasa saja. Tenang sajalah, dirimu akan sangat berarti dan kuhormati sebagai kawan. Aku tidak akan pernah melecehkan orang lain dan mengkait-kaitkan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan apa yang akan kukritik. Sungguh, aku belajar untuk membedakan hal semacam itu, walau sesekali bisa saja luput. Maka ketika aku mengkritikmu, misalnya sebagai pejabat atau anggota DPR yang tidak becus, maka aku tidak akan mengkaitkan dirimu sebagai orang yang narsis. Karena itu sama sekali tak berhubungan.
Pada konteks semacam inilah, aku akan sangat tersinggung bila orang lain memandang dirinya sangat tinggi, menunjukkan prestasi-prestasi atau posisinya yang seolah merunduk tapi sebenarnya tengah menundukkan orang, hanya untuk meremehkan atau bahkan menjatuhkan orang lain dengan cara-cara yang tidak manusiawi di depan orang banyak. Maaf, untuk itu aku tidak bisa menghormati dirimu!!!
Terimakasih tulisannya, pak. Mencerahkan. Salam 🙂
Terima kasih Mbak Vivi..
Salam hangat selalu…
Manstaf 🙂