“Ingat pulang sekolah langsung ke rumah! Jangan main atau alasan lain karena jika kamu bohong maka kamu akan dapat hukuman dari Ibu”
Itulah pesan ibunya Ashifa yang selalu diingatkan pada Ashifa sebelum berangkat sekolah, Ashifa si gadis cantik itu selalu merasa tertekan dengan aturan sang ibu di dalam rumahnya, tetapi Ashifa tak bisa menolak apa lagi membantah dengan apa yang di katakan sang ibu, “Treeeeng..treeeng “, suara bel sekolah berbunyi menandakan kalau jam belajar telah berakhir dan semua murid pun serentak keluar kelas kecuali Ashifa. Ia secara perlahan membereskan buku-buku yang baru saja dipelajarinya, Tony teman sekelasnya Ashifa memperhatikan Ashifa yang duduk pas di depan bangkunya, Ashifa si gadis pendiam menurut Tony susah untuk didekati apa lagi sampai bisa ngobrol dengannya, banyak dari kalangan teman-teman sekolahnya menyebut Ashifa adalah gadis pembawa sial seperti yang selalu dikatakan oleh ibunya, namun kata-kata itu sudah menjadi lauk nasi buat Ashifa sehari-harinya.
Ashifa keluar dari kelas dan ia menggendong tas sekolah yang sudah mulai dekil, “Hey Shifa… kamu bisa ikut belajar kelompok sama kita kan sore ini?”, tegur Anita yang berdiri di samping pintu sekolah.
“Maaf Nita bukan saya tidak mau tapi Ibu nyuruh saya pulang cepat”, tolak Ashifa dengan nada sedih.
“Oh ya sudah mungkin lain kali aku sendiri yang akan bilang ke Ibu kamu kalau kita ini perlu belajar kelompok, Aku heran deh sama Ibu kamu, kenapa sih dia itu selalu begitu sama kamu?”
“Aku tidak tahu Nita, Aku pulang duluan ya?” Pamit Ashifa tanpa menghiraukan Anita teman sekelasnya yang dari tadi pagi melihat sikap Ashifa tak pernah berubah dari dirinya.
***
Sesampainya di rumah, Ashifa perlahan membuka pintu utama lalu mengangkat kaki kanannya pelan-pelan karena ia takut ibunya tahu kalau hari ini pulang telat sepuluh menit dari hari sebelumnya, namun ke kuatiran Ashifa ternyata menjadi kenyataan, belum lagi ia menutup pintu rumah dengan rapat, tiba-tiba sang Ibu menghadang di atas tangga sambil memperhatikan kepulangan Ashifa dari sekolah.
“Dari mana saja kamu jam segini baru pulang?” Bentak sang Ibu sambil menuruni anak tangga.
“Ta…tadi Ashifa salah naik bus Bu”
“Alasan saja kamu, nih kamu gosokin baju karena mau aku pakai sekarang!” Bentak sang Ibu lagi sambil melemparkan sehelai baju ke muka Ashifa, dan Ashifa mengangguk sambil mengepal pakaian yang ada di wajahnya lalu ia pergi ke belakang.
***
Selesai menyetrika baju, Ashifa mengantarkannya ke kamar ibunya, namun seumur-umur Ashifa tak pernah masuk ke dalam kamar paling dia hanya berdiri di depan pintu karena kamar sang ibu selalu tertutup dan jika pergi pun akan selalu mengunci pintu tersebut.
“Tok..tok”
“Taruh saja di situ” Jawab sang Ibu dari dalam kamar. mendengar itu, Ashifa hanya menghela nafas lalu ia kembali ke dapur karena merasa cacing dalam perut sudah bernyayi dari tadi minta diisi, sesampai di dapur, Ashifa duduk dan meminta makanan pada Bi Inah sang pengasuh yang merawat Ashifa sejak bayi hingga kini, dengan setia juga penuh kasih sayang Bi Inah merawat Ashifa tidak seperti Sang Ibu yang selalu memanggil Ashifa si gadis pembawa sial.
Belum lagi Ashifa memasukan sendok makanan yang hendak di santap itu masuk ke dalam mulut, tiba-tiba sang Ibu melempar baju yang tadi disetrika oleh Ashifa, “Kamu itu bodoh atau oon? kamu bisa kerja enggak sih? cuma nyetrika baju begini saja tidak becus dasar anak pembawa sial” sang Ibu kembali melempar baju itu ke atas nasi Ashifa yang berada di hadapannya.
“Bu… kenapa sih Ibu selalu saja memanggilku anak pembawa sial?” Nada sedih menyelimuti tenggorokan Ashifa, ingin sekali ia berteriak dan melawan sang Ibu karena setiap hari sang Ibu selalu memanggil dirinya si Pembawa sial
“Sudah kamu jangan banyak tanya kerjakan apa yang aku katakan! Sana kerjain lagi dan taruh di depan pintu kamar” Ashifa hanya meneteskan air mata di depan Bi Inah karena hampir 17 tahun sang Ibu tak pernah memanggilnya ‘Nak’, tapi malah selalu dipanggil si pembawa sial.
Bi Inah berusaha menghibur Ashifa karena hanya dia yang bisa meredakan tangis Ashifa.
“Sudah ya Non yang sabar!”
“Iya Bi! Tapi kenapa sih Ibu selalu menganggap saya ini pembawa sial? apa salah saya Bi?”
“Sudah tidak usah terlalu di pikirkan ya? Bibi tahu kamu anak yang baik”
“Iya Bi”, lalu Ashifa kembali mengerjakan apa yang diperintahkan sang Ibu dan tetap merasa sayang pada sang Ibu walaupun Ashifa sering berpikir apakah Ashifa anak dari Ibunya atau bukan?
***
“Yah kapan Ayah mau pulang Ashifa kangen Yah,” Gumam Ashifa di depan foto sang Ayah yang sedang bertugas di tengah laut. Ayah Ashifa adalah seorang kapten kapal yang bisa berbulan-bulan di tengah laut bahkan sampai tahunan tidak Pulang. Ashifa selalu disayang oleh sang Ayah, tidak seperti sang Ibu yang selalu memarahinya juga selalu mengejeknya.
“Yah Ashifa gak tahu harus mengadu sama siapa? Yah… Ashifa ingin tahu sebenarnya Shifa anaknya siapa? Yah… Ayah janji ya Ayah pulang pada hari ke 17 tahun nya Shifa?”Tangis Ashifa tak terhenti sambil memeluk foto sang Ayah yang terlihat gagah dan bijaksana.
“Non… sudah bobok belum?” Tanya Bi Inah dari depan pintu kamar.
Ashifa mengusap air mata yang dari tadi mengalir di atas pipi lalu dia membuka pintu dan menyuruh Bi Inah masuk kamar, “Masuk Bi! Shifa belum bisa bobok” Bi Inah masuk, lalu ia duduk di atas tepian ranjang Ashifa,
“Non tadi pagi Ayahmu telepon katanya dia menanyakan kabar Non, Bibi bilang Non baik-baik saja,”
“Terus Ayah bilang apa Bi?”
“Tuan bilang nanti Tuan akan pulang saat Non ulang tahun”
“Benarkah Bi Ayah bilang begitu?”
“Iya Non, bahkan Tuan bilang dia akan membawakan sesuatu buat Non”
“Terima kasih Bi”
Rasa bahagia yang dirasakan oleh Ashifa tak tertahankan dia pun memeluk Bi Inah sang pengasuh yang sudah menyayanginya seumur hidupnya, Sang Ibu yang menguping di balik pintu kembali ke kamarnya dan Ashifa pun mulai memejamkan mata.
***
Sebulan kemudian, entah apa yang dirasakan Ashifa senang atau sedih? Ya hari itu adalah hari menjelang ulang tahunnya yang ke-17, namun dari tahun ke tahun tetap terasa sama tak ada perayaan maupun ucapan selamat dari sang Ibu.
Ashifa siang itu tidak sekolah, dia tidak mau dipertanyakan soal ulang tahun oleh teman-temannya. Ashifa hanya menunggu janji kedatangan sang Ayah yang sudah janji akan pulang pada ulang tahun ke-17 anak gadisnya.
“Non sudah hampir sore, makan ya?” Ucap Bi Inah dari balik pintu.
“Enggak mau Bi, saya akan makan nanti jika Ayah sudah pulang!” Sahut Ashifa tanpa membuka pintu kamar sambil memeluk foto sang Ayah.
Bi Inah tak tahu harus berkata apalagi, dia kembali ke dapur dan sang Ibu yang berada di belakang Bi Inah hanya diam, lalu ia pun kembali ke ruang keluarga menonton TV, tidak berapa lama, Ashifa turun dari kamar, lalu Ia mendekati sang Ibu mencoba menegurnya. Ashifa juga tidak mau membenci sang Ibu yang selalu membenci diri Ashifa.
“Bu sudah makan?”
“Belum, kamu makan duluan saja”
…
Ashifa terkejut. Ia tak menyangka tegurannya akan dijawab oleh sang Ibu, karena selama ini sang Ibu tak pernah mau berbicara dengan lembut pada Ashifa. Lalu Ashifa duduk di samping sang Ibu walau hati bergetar Ashifa memberanikan diri buat duduk di samping sang Ibu.
Hari mulai gelap, sang Ayah belum juga datang. Ashifa dari pagi belum mengisi perutnya, namun ia tak merasa lapar sama sekali. Ashifa memandangi kaca jendela karena ia yakin kalau Ayahnya akan datang di hari ulang tahunnya yang ke-17. Ashifa tiada hentinya memandangi pintu gerbang dari balik jendela sampai rasa kantuk mulai menyelimuti mata yang sayup itu, tiba-tiba ada suara mobil ambulan berhenti di depan rumah.
Ashifa terkejut lalu ia melihat ke arah pintu gerbang, beberapa petugas keluar dari mobil dan salasatu dari mereka memencet bel rumah.
Ashifa tak pikir panjang ia berlari sambil teriak karena ia tahu siapa yang ada di dalam Mobil jenazah itu adalah sosok ayahnya.
“Yaahh…..Ayaaahhhh…………” Teriak Ashifa.
Ia berlari tanpa ia perdulikan bahwa dalam ruangan gelap gulita, sang Ibu dan Bi Inah terkejut mendengar teriakan Ashifa mereka pun keluar dari kamarnya masing-masing.
Ashifa terus berlari menuju halaman rumah dan ia langsung membuka pintu gerbang, lalu melihat sosok yang sedang ia tunggu kehadirannya selama ini sudah terbujur kaku tanpa nafas.
“A…..Yaaahhhh” Teriak Ashifa semakin histeris.
Ashifa mengoyah-goyahkan badan sang Ayah namun tubuh kaku itu tak bisa berbuat apa-apa lagi selain diam ketika anak gadis kesayangannya menagisi dirinya tanpa henti.
“Plaaaaaaaaaaak……Plaaaaaaaakkkk” Tamparan keras mendarat di pipi Ashifa, ya tangan sang Ibu yang halus kali ini langsung menampar Asihfa yang tengah menangis, Ashifa terkejut semua orang terdiam sambil memandang sang Ibu yang tiba-tiba menampar anak gadisnya.
“Dasar anak pembawa sial, semua ini adalah gara-gara kamu, entah sampai kapan kamu akan selalu membawa kesialan dalam hidup aku, liat ayah kamu sekarang terbujur kaku gara-gara kamu” Bentak sang Ibu, membuat Ashifa tak mengerti sama sekali dengan apa yang dikatakan sang Ibu.
“Tapi Bu… salah Ashifa apa?”
“Kamu masih bertanya salah kamu apa?”
“Ashifa gak ngerti Bu..?”
“Sudah diaaaammmmmmmmm” sang Ibu berlari ke dalam Rumah. Sementara Ashifa terdiam mematung di depan jenazah sang Ayah. Bi Inah kembali menghibur Ashifa lalu memeluknya. Para petugas membawa jenazah Ayah Ashifa masuk ke dalam lalu mereka pun pulang.
“Bi sebenarnya Ashifa ini anaknya siapa?” Namun Bi Inah tak mau menjawab pertanyaan gadis itu.
***
Pemakaman telah selesai. Mereka telah kembali ke rumah Ashifa yang amat terpukul. Ashifa menangis sesenggukan di pangkuan Bi Inah.
“Kamu anak pembawa sial! Tidak usah sok sedih dan menangis! Ayahmu meninggal itu semua gara-gara kamu!”
“Tapi kenapa harus saya Bu?”
“Kamu ingat… Sebelum Ayahmu pergi, kamu merengek meminta Ayahmu pulang pada hari ulang tahun mu? Maka dia memenuhi keinginanmu… Namun di perjalanan mobil Ayahmu tergelincir hanya gara-gara ia tidak mau telat dalam acara ulang tahun anaknya yang selalu membawa sial dalam keluarga”
“Bu Maafin Shifa Bu”
“Percuma, sekarang aku sudah jadi janda dan semua kesalahan itu adalah karena kamu, apa kamu tidak sadar itu…uuuu!!!” Teriak sang Ibu menambah pukulan yang berat buat Ashifa.
***
Seminggu kemudian Ashifa tak pernah lagi ke sekolah setelah kepergian sang Ayah. hal itu dikarenakan selalu mendapat ejekan dari beberapa teman yang tak menyukai dirinya dengan panggilan si pembawa sial.
Siang itu Ashifa melihat sang Ibu pergi keluar membawa tas tangan dan menaiki taksi yang telah dipesan olehnya.
Sepeninggal taksi yang membawa Ibunya pergi, Ashifa memberanikan diri meminta Bi Inah membuka kunci pintu kamar sang Ibu. Walau Bi Inah menolak, namun Ashifa tetap memaksa sang pengasuh untuk membuka pintu kamar tersebut, mau tidak mau melihat kesedihan gadis itu Bi Inah mengabulkan permintaan Ashifa.
Setelah ia memasuki kamar yang belum pernah ia masuki sebelumnya, Ashifa mulai memperhatikan semua sudut di dalam kamar itu, Ashifa duduk di depan meja rias sang Ibu tak ada yang aneh tapi kenapa Ashifa tidak pernah dibolehkan masuk ke dalam kamar? Sedangkan Ia adalah anak kandungnya? Ashifa mulai membuka laci-laci yang terlihat oleh mata Ashifa, tetap tak ada yang aneh untuknya, Ashifa kembali meraba-raba pada tempat lain dan akhirnya Ia melihat satu laci yang terkunci rapat, tak tinggal diam lalu Ia pun mencari kunci tersebut dan Ashifa menemukannya di laci meja rias, tak pikir panjang pula Ia langsung membuka laci itu.
Ashifa menemukan beberapa lembar foto sang Ibu di masa mudanya, bersama teman-teman kuliah dan beberapa foto dengan lelaki, tetapi di dalam foto itu bukan foto sang Ayah.
“Bi…. ini foto siapa?” Ashifa menyodorkan selembar foto pada Bi Inah yang tengah memasak.
Bi Inah terkejut… Ia tak mau menjelaskan apa-apa pada gadis itu, tetapi Ashifa mengancam kalau Bi Inah tak menjelaskan maka ia akan pergi dari rumah itu dan membenci Bi Inah selamanya karena telah bersekongkol dengan sang Ibu. Bi Inah terdiam sesaat… tidak mau di benci oleh anak asuhnya lalu ia perlahan menjelaskan posisi lelaki tersebut.
Ternyata lelaki yang ada di foto itu adalah lelaki yang amat dicintai sang Ibu semasa kuliah, tetapi waktu sang Ibu pulang kuliah kemalaman lalu ia diganggu beberapa preman dan harus kehilangan kehormatannya, lalu si kekasih meninggalkan sang Ibu karena lelaki itu merasa bahwa sang Ibu telah menjadi wanita yang kotor, sewaktu sang Ibu tahu kalo dia telah mengandung anak dari para preman itu, ia hendak menggugurkan si jabang bayi, namun pak Pras yang sudah naksir lama dengan sang Ibu berani menikahi sang Ibu dengan Syarat ia tak boleh menggugurkan kandungan itu.
Pak Pras bukan ayah kandung Ashifa, Pak Pras juga tidak pernah menyentuh sang Ibu selama mereka bersama, tapi karena cintanya pak Pras tulus maka Dia menerima apa adanya sang Ibudan juga si Jabang bayi.
Ashifa sadar kenapa selama ini Sang ibu selalu memintanya sepulang sekolah tidak boleh ngelayap? kenapa dia selalu dipanggil anak pembawa sial? ternyata dia adalah penghancur masa depan sang Ibu, dia sadar kehadiran nya di dunia ini tak di harapkan.
***
Beberapa minggu kemudian, Ashifa kini kembali dengan aktivitas sebelumnya, sekolah dan mencoba menutupi semua masalah yang ada di dalam hidupnya. Sepulang sekolah Ashifa juga seperti biasa ia menaiki bus lalu siang itu bus cukup penuh dan sesak, Ashifa hanya berdiri di samping pintu ketika melintas di jalanan Ashifa melihat sosok yang ia kenal, Yaitu sang Ibu sedang berdiri dan hendak menyeberang jalan. Ashifa segera meminta sopir berhenti dan menurunkan dirinya, lalu ia melihat sosok itu dari jauh.
Sang Ibu perlahan menyeberang sambil menahan mobil yang berlalu lalang dengan ketidak hati-hatian sang ibu melihat ke sisi kanan namun tak melihat ke sisi kiri, mobil yang melaju kencang terlihat oleh Ashifa dengan cepat Ashifa mendorong sang Ibu lalu membiarkan dirinya tertabrak oleh kekuatan mobil besar…
Sang Ibu terkejut lalu ia melihat ke belakang dalam keadaan masih tersungkur, mobil yang di belakang semua telah berhenti, dan terlihat sosok Ashifa yang telah di lumuri darah di sekujur tubuh Ashifa.
Sang Ibu bangkit… terdiam mematung… Entah apa yang ada dalam pikirannya menyaksikan Ashifa berlumuran darah… Ashifa yang selama ini dianggapnya sebagai Anak Pembawa Sial… ternyata tak seperti yang selama ini dianggapnya…
“Nak.. Anakku Shifa… maafkan Ibu Nak!!!”
sang Ibu lunglai dan dalam simpuhnya… dipeluknya Ashifa… tubuh Ashifa yang telah dingin… Air mata Sang Ibu pun mengalir…
“Maafkan Ibu… Anakku… Ashifa!”
~000OOO000~
Sebuah Fiksi
Ilustrasi: I Am? dari wonderingfair.com
~D.J~
jadi ikut sedih nih 🙁