Biasanya aku dan dia mempertengkarkan dimana kami akan duduk dan menikmati acara bersantap bersama. Selalu kupilih untuk bersantai di De Opera. Duduk bermalasan di tepi kolam sambil menikmati hidangan ala western. Dia kesal karena menurutnya Bebek Bengil lebih nyaman untuk acara santap siangnya, sembari memanjakan mata memperhatikan aneka pajangan etnik unik khas negeri timur.
Menurutnya segala yang ada di timur berbau misteri, sementara menurutku segala yang bernuansa barat mengesankan keagungan nan elegan. Pertengkaran kami kecil – kecil saja. Serupa riak – riak ombak yang ada di tepi pantai tempat kami acapkali berjalan bersama sambil bergandengan – tangan. Jemari kaki kami basah menjejak dalam pasir tinggalkan kepenatan beban hidup sehari – hari. Setidaknya berdua kami saling memiliki, itu adalah harta yang lebih dari cukup.
Kukatakan bahwa ia membuatku sangat bahagia, jawabannya adalah bahwa aku juga membuatnya berada di nirwana. Kami saling menuliskan goresan tinta emas tanpa jeda dalam hari – hari yang dilewati bersama. Bagaimana bahagia tidak mengisi, jika kami menetap dekat dengan sepanjang tepian pantai? Suara debur ombak, jingganya cakrawala dan jeritan camar adalah riasan kehidupan sehari – hari.
Dengan konyol pernah ia berusaha menyebutku ‘gek’ dan aku menggoda dengan memanggilnya ‘bli’. Padahal itu tak cocok sekali dengan jati diri kami. Ia hanya berusaha membuatku merasa geli dan aku memberinya peluang untuk merasakan kebodohan dalam upaya kami berbagi kemesraan. Diujung hari kami kembali saling memanggil, ‘Mark’ dan ‘Dewi.’ Nama – nama indah yang memang dianugrahkan kedua orang – tua kami masing – masing.
Bahagia terdefinisikan dengan apik kala cinta menyapa bergelora. Dalam suatu pigura raksasa seolah latar belakang jadi senyap manakala sebentuk cinta jadi pusat perhatiannya. Pada suatu sore jelang senja, seperti biasa kami berjalan ditepian pantai. Susuri satu sisi area The Bay Bali yang meliputi jajaran tempat bersantap nikmat. Lamat – lamat kami jejaki langkah – langkah lambat berdua, seolah berharap waktu dapat terhenti dan sedikit dikorupsi. Kehidupan yang tersaji indah, janganlah lekas berlalu.
“Dewi, apakah kamu bahagia?” Tanyanya.
“Sangat.” Jawabku sambil tersenyum lebar dan mengeratkan genggamanku pada jemarinya.
“Buatmu bahagia itu apa?” Tanyanya lagi sedikit gelisah sambil membuang pandangan mata ke arah lautan. Tak biasanya ia bertingkah seperti itu.
Kain sarong yang kukenakan tersibak dan pakaian renang disebaliknya sedikit tersingkap. Kubiarkan angin berlaku laksana permainan jemari pada kulit. Belaian alam terasa nyaman dan menentramkan. Mengapa ia tiba – tiba saja menanyakan pertanyaan yang aneh dan tak masuk diakal? Sungguh merusak suasana.
“Bahagia itu, ya seperti ini, … bersamamu selalu menikmati waktu.” Jawabku sambil terus tersenyum melemparkan pandang entah pada siapa di seberang lautan. Rambutnya yang ikal berwarna kuning terang selalu membuatku kagum, bagaimana Tuhan dapat begitu kreatif dalam mencipta aneka mahlukNya. Tanpa sadar kurebahkan kepala dengan manja pada bidang dadanya, ia mendekapku lekat dijantungnya.
“Kalau aku tiada apakah kau akan tetap bahagia?” Rupanya ia benar – benar berusaha keras membunuh bahagiaku!
“Apa sih maksud pertanyaanmu?” Balasku sedikit kesal.
Mengapa secara sengaja ia merusak suatu sore yang indah dengan menanyakan pertanyaan – pertanyaan bodoh? Kami sudah menikah selama dua tahun dan menetap di Kuta. Tepatnya di daerah Badung, Bali.
Pria bule dan wanita Indonesia. Terlalu banyak kendala dan kerikil tajam yang menghadang pernikahan ini, masihkah ia harus mengada-ada lagi? Banyak yang mencibiri, namun tak sedikit pula yang angkat topi bagi kebahagiaanku dan dirinya.
Yang mencibir kuanggap orang – orang yang patut dikasihani karena mereka belum menemukan bahagianya sendiri. Yang angkat topi adalah orang – orang dengan pengertian lebih mendalam tentang arti bahagia. Terlepas dari apakah mereka sendiri merasa bahagia atau tidak. Paling mudah merasa iri dengan kebahagiaan orang lain ketika merasa diri tidak bahagia. Padahal bahagia bukan apa yang kasat mata, bahagia justru semua yang tak kasat mata. Seperti belaian angin senja pada rambutku.
Mereka pikir aku adalah perempuan Indonesia yang bahagia lahir – bathin karena mendapatkan bule tampan dan mapan. Menggelikan, mereka tak mengerti bahwa aku juga menyandang gelar dalam suatu bidang keahlian. Bahagiaku bukan karena suamiku mencukupiku, bahagiaku adalah karena adanya dia disisiku.
Bahagiaku adalah ketika berselisih dengan Mark tentang lokasi makan siang, memilih berenang atau parasailing. Bahagiaku juga adalah merasa geli melihat wajahnya yang pucat pasi ketika menggunakan kloset jongkok untuk pertama kalinya. Bahagiaku adalah melihat ia memuntahkan petai setelah menggigitnya secuil. Bahagiaku adalah memiliki seorang Mark untuk diriku sendiri. Dan kini, out of nowhere mendadak saja ia memberondongku dengan pertanyaan tentang bahagia seandainya ia tak ada. Jangan – jangan….
“Apakah kamu sudah tidak bahagia denganku?” Tembakku terkejut. “Kamu memiliki wanita lain dalam hidupmu?..” Tuduhku lagi dengan suara bernafsu.
“O my God! Kenapa kamu picik sekali. Seolah tiap kali seorang lelaki menanyakan tentang kebahagiaan kepada perempuan yang mendampinginya sekian lama selalu akan berujung pada kebosanan dan niat untuk mencampakkan!” Tukas Mark sedikit emosi juga menanggapi tuduhanku yang tak berdasar.
“Lantas mengapa kamu menanyakan pertanyaan – pertanyaan semacam itu?” Tanyaku kembali tak kalah kesal. “Apakah tak cukup bagimu melihat senyum lebar yang selalu menghias wajahku? Masih perlukah kau tanyakan tentang bahagia?”
Ia masih berusaha mencecarku dengan topik yang sama, “Bagaimana dengan pekerjaan di kantormu. Apakah kamu bahagia melakukannya?”
“Tentu saja bahagia karena aku memiliki pekerjaan. Setidaknya kalau kau mencampakkanku, aku tidak akan mati menderita sebagai pengemis di tepi jalan.” Sahutku pedas.
“Dewi, C’mon. Aku tidak akan pernah mencampakkanmu. Kau tahu sendiri perjuangan kita hingga di titik ini tidaklah mudah. Aku hanya ingin tahu selain diriku, apa yang membuatmu bahagia? Bagaimana dengan pelajaran melukismu?”
Mataku langsung berbinar senang. Aku sangat menyukai lukisan. Berawal dari berlatih membuat sketsa dengan potlot. Seperti patung – patung indah dan gores nuansa cahaya yang menerangi lorong ocean walk, tempat dimana kami sering lalu – lalang sambil menikmati keindahan. Bisa berjam – jam aku duduk untuk mengamati salah satu patung cantik atau sebuah sudut dengan tanaman eksotik yang ada disitu lalu berusaha keras memindahkannya pada secarik kertas.
Tak hanya sekedar sketsa, aku juga mulai belajar membuat lukisan sendiri. Berguru pada seorang pelukis setempat. Ada gairah dalam setiap goresan dan campuran warna yang kulakukan, seolah aku harus melakukan yang terbaik walau hanya sekedar dengan menggerakkan satu sapuan pada kanvas.
“Ya, aku sangat menyukai menggambar sketsa dan melukis.”Jawabku cepat dan tersenyum senang. Akhirnya pembicaraan kami tidak sekedar berakhir pada pertengkaran sia – sia pasangan muda.
“Good, do it your best! Aku melihatmu seolah larut tiap kali menggambar atau menggoreskan kuas. Aku kagum pada ketekunan dan bakat yang kaumiliki, Dewi.”
“Biasa saja, bagiku hal itu mengalir dari dalam hati. Seolah aku memang dilahirkan untuk menggambar.”
“Tidak semua orang mampu menemukan aliran bahagianya.” Mark melamun sambil melemparkan sebutir kerikil ke laut.
“Kupikir aku membuatmu bahagia?” Sedikit gusar dan tersinggung aku mendengar ucapannya.
“Sangat.” Jawabnya meniru jawabanku semula.
“Lalu..?”
Tiba – tiba saja Mark memelukku erat dan menciumku dalam – dalam, “Listen Dewi. Jadilah dirimu sendiri. Kalau kau bahagia sebagai pelukis, lakukan dengan sepenuh hati. Bukalah sebuah gallery dan mulai kumpulkan semua karya – karyamu serta pajang disitu.”
“Tapi ini sekedar hobby saja.”
“Ya, tentu saja awalnya sekedar hobby. Jika suatu hari kelak engkau dapat menegaskan bahagiamu dengan hobby-mu itu, kau harus terus melakukannya dengan cara yang terbaik. Aku tahu pekerjaan di kantor itu tidak membuatmu sungguh bahagia. Pekerjaan di kantor itu mencukupi dirimu dan membuatmu memiliki status wanita bekerja.” Mark menatap tajam pada kedua bola mataku, seolah ingin menyingkirkan gumpalan awan yang berarak pekat dalam pandangan. Bagaimana ia tahu sudut terdalam hatiku?
“Mark, mengapa kau banyak berkata – kata aneh pada hari ini?” Aku terbawa gelisahnya. Tak biasanya perilaku Mark begitu serius dan penuh filosofi. Yang kutahu ia tak mudah tegang atau tertekan oleh karena suatu perihal. Ia mampu menjinakkan setan terganas dalam hidupnya dengan tenang. Mengapa kali ini terlihat begitu berbeda?
“Dewi, jangan sandarkan kebahagiaanmu pada seseorang atau sesuatu. Sandarkan bahagiamu dalam hatimu sendiri. Lakukan hal baik yang terus membuatmu merasakan ekstasi kegembiraan.”
Aku mengangguk sekalipun masih diliputi tanda – tanya dengan segala tetek – bengek ucapannya. Pada akhirnya sedikit banyak makna yang ingin disampaikan oleh lelaki terkasihku itu terserap dalam hati.
***
Hampir setahun berlalu sejak kematian Mark. Setelah divonis kanker paru – paru stadium tiga, penyakitnya terus berkembang tak terkendali hingga stadium empat dalam waktu yang sangat singkat. Lalu ia benar – benar telah tiada. Sementara aku masih tetap disini. Acapkali berjalan sendiri ditepian pantai, untunglah tak berkurang bahagiaku atas kenangan tentangnya.
“Selamat malam, ibu Dewi.” Para waiter di Bebek Bengil telah cukup hafal dengan kehadiranku yang muncul sesekali untuk makan siang ataupun makan malam. Sejak kematian Mark, aku mencoba berlaku adil. Kadang sesekali aku bersantap di De Opera dan pada kali lainnya di Bebek Bengil. Sekedar mengoleksi secarik gambaran dari masa lalu ketika aku masih selalu bersama dengannya.
“Selamat malam, saya pesan seperti biasa ya,…” Mereka tersenyum, mengangguk cepat dan menuliskan satu dua coretan dalam catatannya. Akh, …seperti itu pulakah bahagiaku ketika memiliki Mark? Hanya berupa satu atau dua coretan ringkas dalam catatan kehidupan?
Kubuka smartphone sambil meneliti kembali jadwal pameran lukisan mendatang di bulan depan. Hmm,… aku harus ke Jakarta. Sepertinya jauh juga. Kini aku mengerti mengapa bahagia harus selalu kusandarkan dihati. Selama aku berkreasi dan mampu menjual lukisan – lukisan terbaikku hingga kepada para kolektor ternama di seluruh penjuru dunia, mengapa tidak? Aku sudah mendefinisikan kebahagiaanku kini, seutuhnya,….
Note:
bagia saking atiku : bahagia dari hatiku
gek : panggilan untuk anak gadis
bli : panggilan untuk pria yang lebih dewasa
foto ilustrasi : thebaybali.com
——————————————————————————————————————————–
sandarkan kebahagiaan pada hati
sukaaaa ceritanyaa
miss you mbak Win :peluk
Hi Septi thanks yaaaa…lagi semangat lumba lumba ikutan perlombaan…miss you tooo hehehehe..