TIADA yang menarik banner Jokowi di Makassar. Terpajang seorang diri Mas Jokowi di berbagai pelintasan strategis di Makassar. Jokowi hanya berslogan: Yang Benar, Yah Benar.
Ini iklan yang umum-umum saja, tak ada menariknya kalimat yang tertera di spanduk sintetik itu. Biasa saja. Makassar tak kelewat awasi iklan orang “Jawa” ini. Kalah santer dengan pinjaman-pinjaman foto Jusuf Kalla di hampir semua baligo ‘politik’ di Makassar. Jelang pilcaleg, per 9 April 2014 ini.
Orang saling tumpang-menumpangi, saling alat memperalat, saling memanfaatkan atas nama azas manfaat gaya ORDE BARU, orde aman tapi mencekam. Kembali marak di sini. Caleg-caleg tak banyak dikenali masyarakat (calon pemilih). “Bagaimana mungkin aku memilihnya, namanyanya saja asing sekali buat saya”, keluh istriku di sebuah warung makan.
Apapun itu, Jokowi dan gambar sekerumunan caleg-caleg, telah menyakiti pepohonan dengan cara menusuk-nusuk kulit dan epiderma sang pohon. Seolah ada pesan terselubung yang buruk: “Kusakiti engkau wahai sang pohon, demi rakyat”. Itu pendapat seorang dosen Fakultas Kehutanan di Universitas Hasanuddin, Makassar. Ulah ini tak jauh beda dengan para politikus, caleg-caleg yang rela menusuk-nusuk perasaan rivalnya, tanpa meras bahwa itu bukan sifat baik sebagai caleg-caleg karena bertolakbelakang dengan kalimat-kalimat indah di setiap baligonya.
Dan orang-orang Jokowi pun melakukan hal yang sama, dan setahuku, Jokowi tak sampai hati melukai pepohonan, apatah lagi para calon presiden yang lain, ataukah caleg-caleg itu. Tak pelak, Jokkowi dijual sana sini, ditransaksi, dibargaining. Dan tarulah orang Makassar akan memilih Jokowi sebagai Presiden RI tetap dengan bargaining tertentu: Jusuf Kalla atau Abraham Samad wakilnya. Padahal lagi, Indoenesia ini bukan untuk jual-jualan, karena toh ujung-ujungnya kepala rakyatlah yang dijual atas nama hutang luar negeri hingga setiap kepala rakyat di Indonesia, dari kalkulator hutang Indonesia, setiap orang Indonesia menanggung hutang 217 ribu rupiah. Bayangkan angka itu dikali 257 jiwa. Hemmmmmm, dari satu presiden ke presiden berikutnya: HANYA SUKSES MEMBEBANI RAKYAT atas nama seseorang atau tokoh meluapkan emosi kepemimpinannya. MIRIS MEMANG!