Ada metamorfosis, parade, suka, atas tersangkanya Atut. Saya tak kenal Atut, apatah lagi hubungan keluarga, kecuali relasi keluarga Indonesia. Ada ‘kesumat’ di negeri ini. Merawat budaya ‘hanya sanggup’ menyiangi hitamnya orang lain. Selanjutnya, menggulitakan atas pekatnya diri sendiri. Adakah di antara mereka telah suci dan mensucikan? Ya mbok jangan dirayakan azab orang lainlah. Bukan dirayakan begitu.
Tenaga super teka-teki. Di balik kita, siapalah sesungguhnya kita ini? Begitu seloroh Pamanku, sore tadi. Paman ini unik, tak tergesa-gesa ikut-ikutan latah, tak linear dengan budaya ‘normal’ orang kebanyakan di negeri ini. Pamanku ini lagi-lagi ‘aneh’, tiap kali terjadi peristiwa heboh. Kejadian ‘akbar’, ia justru mengakbarkan dirinya untuk cepat-cepat menelisik diri.
Paman yang sedari pemuda, nyaris multi zona ia masuki. Eitsssss, bukan paman jika hanya sanggup menonton orang lain. Ia suka nonton dirinya sendiri, menuliskan diary kelamnya. Terasa aneh aku ini, sudah jutaan dosa, masih merasa baik-baik saja, mengalami masa kekotoran di balik rasa bersih.
Paman ini selalu begitu, optimis akan kebaikan tapi pesimis akan keburukannya sendiri. Ngapain saya urusi bobroknya Atut, urusan bobrokku saja gak pernah game over. Itu yang dituliskannya, di diary super secret.
Paman telah mengajariku -lagi- hari ini, ia nasehatkan: “Banyak-banyaklah menulis keburukan sendiri, jangan di balik ya Nak”. Maksunya, kurangilah menorehkan keburukan orang lain, minimkanlah bibir itu berucap atas kotornya orang lain, sebab bibir serupa itu, pun bibir kotor. Katanya begitu. Ia malah menyuruhku untuk membuat daftar orang-orang yang pernah engkau sakiti, jangan justru terbalik. Membuat daftar dalam ingatan atas perlakuan orang lain yang menyakitimu, menzalimimu, menipumu, mengolok-olokmu. Pantas aja dunia hanyalah dibumbung catatan hitam.
Ah ini aneh, paman tak penuhi syarat-syarat menjadi manusia di zaman ini. Kata paman, manusia sekarang, aktual membahas hina-dina dan aib orang lain. Lalu, tiba-tiba paman menangis, rupanya ia membaca sebuah berita duka. Yang meninggal itu, bukan siapa-siapa, ‘hanyalah’ seorang ibu yang tak pernah berjumpa dengan paman, almarhumah adalah ibu dari seseorang yang pernah satu bus dengannya. Kok sedih begitu, padahal keluarga dari yang wafat itu, biasa-biasa saja. Seolah tak ada kedukaan.
Dan sepertinya: antara saya dan paman, sangatlah berbeda. Tiap terima SMS kedukaan, tiada yang berubah di diriku kecuali hanya sanggup berkata: Inna Lillah. Dan sebetulnya manusia seperti ini sudah ‘Inna Lillah” sebelum Inna Lillah itu benar-benar telah tiba.
mantaps bro
sudah bisa pasang gambar kan ?
hahahaha
Udah,
diajarin ame Ketiker’s
Manstaf 🙂