
“Kakak kok malu nyalonin diri jadi caleg!”. Ucapku pada kakakku. Ia datang khusus, dari kampungku, ke Makassar. Temui saya. “Ya, malulah Adek, kalau Kakak gak kepilih”, sanggahnya. “Loh jadi calon mang wajib kepilih? Mang dosa kalau gak kepilih?”. Puyeng dia hadapi adek kandung sepertiku. Keknya tujuannya untuk menakar dan hitung-hitungan politik tak diperolehnya dariku.
Kakakku ini, famous banget di kampung, Ia mungkin pengen level kampungnya se-tingkat desa-desa lain, yang akrab ‘piala adipura’ setingkat desa, piala yang selalu menjadi tanda tanya. Piala direbut, besoknya sampah-sampah dan anak jalanan berkeliaran lagi.
Nampaknya ia tak sanggup lagi, ia bernafas panjang, sesak. Sepertinya ia ingin berorasi di depanku. Ingin kampanye di depan adiknya sendiri, yang juga sebagai calon pemilihnya dan kandidat rakyatnya, yang akan diwakilinya nanti. “Tapi kan saya gak punya wajib pilih. KTP-ku bukan beralamat di kampung”, sergahku.
“Ya, gak papah adek. Kakak usahakanlah nanti, gimana caranya KTP adek beralamat di kampung. Lagian adek memang lahir di sana”.
Hemmmmmmmmm, keluar juga jurus satu neh, batinku. Nih rekayasa suara nih.
Ia lanjut: “Di kampung kita nanti, kakak akan aspal semua jalan. Listrik-listrik akan menyala di setiap dusun, pasar-pasar tradisional akan dibuatkan ruko, buku-buku sekolah akan dikerjasamakan dengan proyek, dan………”.
“Stop Kakak”, cegatku.
“Kenapa Adek?”.
“Bicara kakak itu gak ada tanda-tanda caleg. Itu gaya bicara kontaktor kak. Kakak ini kok lancang. Sudah memutuskan sesuatu tanpa libatkan rakyat. Kakak ini aneh, mau jadi kontraktor, ngakunya mau jadi caleg”.
Hemmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
mungkin…maunya jadi caleg sekaligus kontraktor gitu…
salam Ketik’ers…
hehehehe
keknya modus aja Mbak 😀