“Hah! Apa lo bilang?”
“Emang beneran ada ya?”
Aku mengangguk pasti. “Iya, Philopobia namanya,”
Dira mendesah frustasi dan Tania menggeleng- geleng kepala.
“Sakit jiwa dong namanya, Nes!”
Aku mengangkat bahu.
“Terus gimana dong, Nes?” Tanya Tania.
“Ke dokter jiwa gitu,” ucap Dira tak sabar.
Aku menggeleng perlahan, “Kembali ke diri dia sendiri,”
Kuhela nafas berat, “Dari yang gue baca, seorang philopobic harus enjoy dan relax terhadap diri sendiri terutama ketika memulai menjalin hubungan. Melupakan masa lalu yang kelam, bangkit untuk kebahagiannya sendiri,”
“Ah, susaaaahhh Nes,”ucap Dira semakin frustasi.
“Gue makin benci deh sama Anton, sumpah ya!” sahut Tania.
Aku menganggukkan kepala. “Anton memang salah, tapi Sita juga harus mulai berusaha menyembuhkan phobianya,”
Keduanya mengangguk bersamaan.
Sita, satu diantara kami. Entah sejak kapan ia mengalami yang namanya Philopobia. Istilah kerennya takut jatuh cinta. Sialnya, kami para sahabat baru menyadari hal ini. Setiap lelaki yang kami kenalkan padanya tak pernah ditanggapinya, bukan kriteriaku, alasannya saat itu. Selain itu kesibukan pekerjaanpun dijadikan dalih untuk menolak lamaran beberapa orang. Namun lama kelaman barulah aku menyadari ada yang tak beres dengannya.
“Hey girls, udah lama nunggu?” tiba- tiba sebuah suara menyapa kami. Ah, ini orang yang sedang kami khawatirkan selama ini.
“Nggak papa Ta, baru pulang kerja?” Tania membuka suara menyapanya.
Ia tersenyum. “Halah kayak nggak tahu gue aja,”
“Lo kurus banget sih Ta, udah berapa lama kita nggak ketemu ya?” tanya Dira.
Sita tertawa, “Hahha,, udah lama banget ya, Ra.”
“Lo kenapa sih? Sibuk banget sampai jarang ngumpul sama kita?” ucapku penasaran.
Sita menggeleng perlahan, “Gue nggak papa, guys!”
Kutatap wajahnya, kusadari bukan hanya aku namun Dira dan Taniapun memandang wajahnya.
“Wait, wait girls. Ada apa ini!”
“Ta, kenapa lo nggak cerita ke kita sih?” suara Tania terdengar parau. Ya Tuhan, Tania mellow, batinku.
“Ini pasti gara- gara Anton ya Ta!” histeris Dira.
Sita menatapku, yang kutahu sebagai pertanyaan kenapa dengan mereka?
Kuhembuskan nafas perlahan. “Lo takut jatuh cinta kan Sita Pramesti? Makanya lo tolak semua cowok yang deket sama lo, lo sibukkan diri lo ke pekerjaan. Memangnya apa diperbuat Anton sampai lo takut jatuh cinta, Ta?”
Sita menggeleng, “Gue nggak papa, guys!”
Tania berhambur memeluk Sita, “Cerita Ta, sampai kapan lo nyimpen sendiri? Kita sahabat lo, pasti dukung lo Ta.”
Sita menunduk. Satu… Dua… Ti..
Kudengar isakan perlahan, Sita melepaskan pelukan Tania. Air mata sudah membasahi pipinya.
“Gue nggak tahu kenapa gue enggan memulai hubungan dengan lelaki manapun, gue trauma, kalian tahukan sudah berapa kali gue ditinggalin laki- laki. Anton yang terakhir, tapi dia bilang gue adalah cewek yang nggak akan bikin bahagia lelaki manapun. Dan entah kenapa kata- kata itu membuat gue takut memulai hubungan dengan siapapun, gue takut kalau jatuh cinta gue bakal ditinggalin lagi, gue bakal ngerasain diselingkuhin lagi, dan gue patah hati lagi.”
Kuraih tisu dan kuberikan padanya, “Nggak semua lelaki kayak gitu Ta, pasti ada lelaki yang bakal mencintai lo seumur hidup lo,”
“Bullshit, Nes. Udah berapa kali gue diselingkuhin, termasuk Anton. Nggak ada cowok yang bahagia jadi pacar gue kan buktinya,”
Aku menggeleng, “Gara- gara lelaki bajingan model mereka lo harus kehilangan banyak waktu Ta,”
“Ta, gue kasih tahu ya, lo harus memulai memaafkan diri lo sendiri. Bukan lagi mikirin omongan Anton playboy cap ikan teri satu itu, lo lupain mantan- mantan lo yang kampungan semua yang nggak bisa menghargai cewek, lo harus bangkit Ta. Raih kebahagian lo, gue yakin ada lelaki yang tulus mencintai lo,” ucap Dira emosi.
Sita menggeleng, “Gue……
“Bunnndaaaaaaaa……….”
Serentak kami menoleh ke sumber suara. Aku tersenyum. “Sini sayang,”
Seorang gadis cilik sedang menuntun dua anak kembar menghampiri kami.
“Loh, ada tante Sita!”sapanya riang. “Kok, bunda nggak bilang ada tante Sita,” tanyanya pada Dira.
“Iya mam,” kali ini salah satu dari anak kembarku yang berkata.
Aku tersenyum, “Pada kangen ya sama tante Sita,”
“Tante Sita sombong nggak pernah main ke rumah lagi,” ucap Kendra, salah satu putra kembarku sambil melipat kedua tangannya di dada.
“Iya,” sahut Kenzio,kembarannya.
“Iya tante Sita sombong,” Duh, yang ini suara Vanesa, putri Dira.
Sita tertawa. “Oke, oke my boys and you princess, sorry. Maafin tante ya jarang main ke rumah kalian, ada yang bisa kasih tahu tante harus gimana nih supaya permintaan maaf diterima,”
Kulihat ketiganya berkumpul dan berbisik. Ah, anak- anak.
“Lo nggak pengen punya anak?”celetuk Dira tiba- tiba.
“Gue udah satu, Nesha kembar dan Tania lagi hamil,”
“Seru ya kalau ada anak?” ucap Sita pelan tanpa mengalihkan pandangan dari ketiga anak- anak kami yang masih berbisik.
“Semua dimulai dari diri lo sendiri, Ta. Kita pasti dukung,”
Sita mengangguk, “Kalian pasti bantu kan?”
Kuanggukkan kepala dan kuyakin kedua sahabatku yang lain pun melakukannya.
“Jalan- jalan ke Dufan ya Tan!” seru Vanesa.
“Boleh,” Sita mengacungkan jempol pada ketiganya.
“Kalau ajak temen- temen TK Kendra, boleh Tan?”
Aku mendelik, “Hey honey, Kamu buat tante Sita miskin itu!!”
Tawa riang kudengar dari Sita, “Anak ini ya benar- benar ya mirip ibunya,”
Mirip ibunya? Hahhh, gue dong. Sial. 🙂
(ISL)
Bandung, 20 Januari 2014