Tadinya saya begitu naif menyikapi hidup ini dengan hitam dan putih. Seolah abu – abu bukanlah warna. Saya juga berpikir semua orang akan berlaku jujur dan benar. Sebab ketika kaidah agama diungkap apapun agamanya, para penganut akan mengangguk keras – keras, gagah dan yakin. Bahwa agama adalah penuntun utama di kehidupan. Nyatanya tidak tuh! Penuntun utama dikehidupan kabarnya adalah ‘perut.’ Asal perut bisa kenyang maka apa saja akan dilakukan termasuk menghalalkan segala cara. Abis gimana? Kalau perut lapar, matilah awak!
Saya tertarik menuliskan judul dagangan tempe gembus. Karena banyak yang berlaku demikian di masa sekarang ini. Tempe gembus sesungguhnya adalah ‘ampas’ sisa pembuatan tahu. Rasanya gurih dan baunya agak menyengat. Kasarnya tempe busuk. Dengan tehnik memasak yang mumpuni tentu akan jadi hidangan lezat yang asyik untuk menemani bersantap nasi. Tapi apa iya sih, dikehidupan ini pula kita harus mengelola tempe gembus dan menjadikannya komoditi? Yang penting jadi duit?
Ini terkait dengan maraknya kejadian – kejadian yang menimbulkan gejolak emosi, pergeseran moralitas dan pola pikir yang kurang cerdas. Kebebasan bersosial media kadang disikapi keterlaluan dengan konteks ‘tanpa batas’nya. Yang benar – benar tidak memiliki batasan. Tidak tahu sopan, tidak mengedukasi dan selalu memantik kericuhan. Dulu saya berpikir bahwa orang – orang yang suka berdebat kasar itu sikapnya nggak waras, nggak logis dan barbarian.
On the second thought, saya pikir bisa jadi orang – orang tersebut adalah ‘penulis bayaran.’ Dalam arti dibayar untuk membuat huru – hara dan kericuhan. Memeriahkan suatu wacana di sosial media dengan mercon dan kembang api. Melacurkan diri tak hanya dalam wujud fisik bisa jadi dalam wujud kata – kata dan konteks bahasa. Yang penting dibayar! Saya, yang tahu pasti bahwa saya tidak mendapat penghasilan apapun dengan ikut memanen kontroversi hanya mampu tertawa kecil. Engga deh, terima kasih! Kalau memang saya harus menjadi ‘penulis bayaran’ saya akan memakai nama ‘Joko Dandanggulo’ dan memajang foto Buto Cakil. O please..
Apakah Anda sering membaca berita mengenai selebriti yang tak jelas prestasinya apa, namun selalu wara – wiri di kolom berita? Dan kisahnya kadang – kadang sangat bombastis, tak masuk akal. Ucapan – ucapannya radikal, kontroversial. Bagus lagi jika ada adegan yang menguras air mata atau memancing emosi jiwa. Penonton akan lebih serius memantau jika ada adegan tampar – tamparan atau sedikit kekerasan. Lalu beberapa orang lainnya akan berusaha menyabarkan, pasang muka bingung, linglung dan kosong. Terus saja masyarakat kita di didik tidak hanya dengan sinetron yang termehe – mehe namun juga reality show yang terkampul – kampul. Belum lagi aneka tulisan opini yang ngaco dengan niat perang – perangan kata. Hah? Kapan pinternya kita?
Masyarakat negara lain sudah menyiarkan channel – channel bermutu yang menampakkan perihal seperti pengelolaan sampah terpadu. Proses fabrikasi yang kompleks dan modern namun ramah lingkungan. Perilaku hewan – hewan liar yang menarik. Bahkan tips masak – memasak yang sehat. Lalu ada lagi perjalanan menuju daerah pedalaman yang eksotis, penangkaran buaya, mengamati camar laut. Masyarakat kita sebagian besar masih saja asyik mengamati si goyang merica – merica atau goyang sambel terasi. Waduh, kapan mentasnya bangsa ini? Prihatin, dagang tempe gembus kok hobby banget ya…..Pagi sore – siang malem, sepanjang segala waktu…
Belum lagi kecurangan – kecurangan yang dilakukan pada narasumber, yang membuat mereka terlihat konyol dan menggelikan. Entah sengaja atau tidak. Yang tadinya berniat jujur dan membuat klarifikasi, dipancing dengan umpan tepat agar memunculkan gejolak emosi. Lalu drama – drama tempe gembus lagi – lagi dijual, yang penting rating naik dan sebagian besar masyarakat melotot di depan televisi. Ide – ide sederhana yang mendidik dan menyentuh nilai – nilai positif sudah tidak laku dijual. Biarpun ‘ampas’ yang penting gurih, maknyus dan laku. Jika terus begini, hari ini mungkin belum terlihat, tapi esok lusa, masa depan… Adakah setitik tanya?
Bagaimana tanggung-jawab moral media penyiaran jika dagangan tempe gembus selalu disajikan dalam porsi terbesar? Jangan pandangi saya, pandangi anak Anda, keponakan, anak tetangga, bayi yang baru lahir. Anda tega memberinya tempe gembus terus – terusan? Mendidiknya menjadi anak alay yang acuh, kosong jiwanya, mudah melakukan tindak kriminal, mudah jatuh cinta, perilaku seks bebas dan berakhir dengan tawuran serta kelewang di tangan? Manusia dicekoki dengan berita kawin – cerai, bunuh – bunuhan, perilaku menyimpang dll. Astaga,…Bukan lagi masalah ‘perut’ tapi Anda membuat punah bangsa Anda sendiri dengan menafikan nilai – nilai luhur dan suri tauladan baik….. Anda tetap nekad demi ‘perut’?
foto: www.amanichannel.com
Bagaimana tanggung-jawab moral media penyiaran jika dagangan tempe gembus selalu disajikan dalam porsi terbesar?
______________________________________________________________________________
mungkin saja apa yang dilakukan seakan sedang buang ingus saja, boro2 memikirkan tanggung jawab moralnya..saya kadang berpikir gini loh Ci Jo, apakah bos2 yang kaya bisa hidup enak dengan punya pabrik itu gimana tangggung jawabnya. Sementara karyawannya kerja keras di pabrik yang penuh bahan kimia, sedangkan jaminan kesehatan tidak ada. Ngeri rasanya…
Tidak semua orang berpikir ‘konsep surga’ ya… kebanyakan konsep dunia saja…ngeri…