
Admin KetikKetik tertekan psikologik. Ia wajib benahi sistem, nukikkan power mesin blognya. Siapakah pemicu segala itu? Merekalah para user, mesin pengguna blog rame-rame ini. Walau masih ada ‘cat’ yang mencemaskan di sana, namanya: RSS Error: WP HTTP Error: Operation timed out after 10000 milliseconds with 99912 out of 202384 bytes received.
Ini hadirkan kekhawatiran. Sungguh!. Semisal jelang pesta pernikahan, helatannya diancam cuaca, black-out, dan secutiry. Jangan sampai sang mantan hadir kacaukan pesta, akibat sikon patah hati dan putus asa. Wkwkwkwkwk.
Dan saya matur nuwun kepada Admin KK tersayang telah dengan penuh responsibilty mempermak performa blog ini. De Javu Admin ketikKetik. Mereka berada di sini tapi seolah-olah kejadian error dan error pernah dialaminya di sebuah blog yang sangat famous dan kerap kecewakan warganya. Dan tahukah Anda bahwa ada persamaan antara pembuatan Blog dengan penyelenggaraan Pesta Pernikahan? Keduanya takkan pernah sempurna, di pesta pernikahan, ada-ada saja kerancuan-kerancuan, akan terlupa merica di pasar, baju pesta yang tak matching dan rombongan mempelai pria selalu ingkar janji.
Kala pengumuman resmi akan migrasi ke mesin baru, saya tetap nekat melayangkan esai-esaiku. Dan ‘alhadulillah’, ketiga artikelku itu, mengapung walau akhirnya tenggelam dan raib tanpa jejak. Stres jadinya sebab kebiasaan burukmu adalah: Menulis Directly, tak punya back up. Saya akan tumbuhkan kebiasaan buruk ini dengan argumen pokok: “menang waktu”.
* * *
Saat galau-galaunya, saya terhibur oleh perkelahian dua ekor kucing. Ya iya, pasti dualah ekor kucing. Mana bisa berkelahi kalau hanay se-ekor. Kompensasi ‘kekesalan’ terwujud. Kuarahkan langkah ke sumber suara meong-meong itu. Hemmmmm, pas di depan pagarku, kedua kucing itu benar-benar tak peka, mereka benar-benar berbudaya Indonesia. Bayangin, saya sudah di berjarak 20 centimeter, mereka tidak menghormati kedatanganku. Perang psikologi, masih saja dilanjutkan.
“Hei, apa masalah kaliankah hingga bertengkar begitu”, ucapku lembut. Tak dihiraukan pula. Saya berburuksangka, ini mungkin penampilanku yang tak sangar hingga mereka tak peduli denganku. Sarung yang kupakai, tak beralas kaki, tak berbaju. Ini pasti faktornya, sampai mereka tak meras tergubris.
Saya ganti penampilanku. Segera ke kamar, pakai celana panjang, berbaju batik, pakai kopiah. Dan keluarg lagi menjumpai sasana itu. Nampaknya ada perubahan. Mereka bergeser 50 centimeter. Saya puas sekali, setidaknya ada apresiasi dari kedua kucing ini. Mereka jeda dua menit dan kembali saling mengancam, suara tambah melengking.
Sebagai manusia, saya wajib berprinsip bahwa martabat manusia tak boleh dicakar-cakar oleh kedua kucing ini, mereka wajib hormati manusia jika mereka juga mau dihormati. “Pergi dari sini!”, bentakku. Ah salah sekucing darinya, beranjak pelan-pelan dan pergi. Tapi yang satunya, konsisten pendiriannya, tak mau tinggalkan arena. Kupastikan, sisa-sisa emosinya masih tersisa hingga perasaannya tak karuan. Sayapun mengancam dengan tepuk-tepukkan botol mineral kosong di lantai. Hemmm, ia tersudut dan berlari kecil, 5 meter jaraknya. Ia menolehku, memastikan aman atau tak aman.
Entah apa maksudnya menolehku dengan sinis begitu, saya melangkah lagi. Ia berlari kecil lagi, berlari tak sepenuh hati, ibarat penyeberang jalan yang merasa tak terancam serius oleh pengendara. Kudekati lagi, ia berlari lagi. Begitu berulang-ulang hingga kucing itu belok kanan, di sudut kompleks. Dia pasti merasa aman, dan dia juga pasti berjaga-jaga. Firasatnya benar, saya ikut belok dan ternyata ia menungguiku di sana. Menoleh dengan rasa kesalnya, sinistis lagi padaku.
Ah sepertinya perburuan ini harus terhenti. Saya balik ke rumah, seorang anak bertanya:
“Kenapa kucingnya Om?”
“Berkelahi Nak. dan sinis pada Om. Ia berpuluh-puluh kali menoleh dengan mata marah”
“Oh mungkin kucingnya suka pada Om”
“Ah kamu ada-ada saja Nak!”
“Dua kemungkinan Om. Menurut kucing itu, Om kelewat cakep atau kelewat jelek. Om pilih yang mana?”
“Om tidak pilih keduanya. Om pilih matikan televisimu. Karena ucapanmu adalah efek lawakan di televisi”
Anak kelas dua SMP itu, minta maaf. Saya berkata padanya: “Televisilah yang harus minta maaf”. ia diam, dan tertunduk, melangkah ke ruang keluarga dan mematikan acara fesbuker^^^