Jika sedang tak menulis, biasanya saya habiskan waktu dengan membaca atau melakukan pekerjaan tangan alias hobby. Kadang – kadang saya juga travelling. Bisa jauh, bisa dekat. Tergantung waktu, budget, kesempatan, rejeki dan faktor lain. Barangkali orang akan berkomentar, ‘Enak bener idup loe,…’ Dan saya akan jawab, ‘Loe gak tau gue udah ngliwatin apa aje? Dan loe gak tau kan kalo besok gue siap – siap terjun ke jurang yang mane?’ Sebagai sebutir pasir di kehidupan ini saya mencoba menikmati ‘jatah’ saya untuk berbahagia. Sesederhana apapun, saya ingin mencecapnya! Saya belum mampu melakukan tour ke tanah suci atau tour Eropah. Ya, nggak mengapa. Orang lain ada yang jajan sate rame – rame sekeluarga diwarung depan rumah juga udah serasa wisata kuliner yang top markotop. Saya coba belajar ilmu – ilmu sederhana semacam itu, yuk mareee?…. #wink#
Saat ini saya sedang akrab bersahabat dengan seorang teman wanita dan suaminya. Kami bertiga sedikit memiliki latar belakang yang sama : ‘broken home.’ Tapi bentuk broken home-nya macam – macam. Untungnya kami semua tidak ada yang mengalami kekerasan, paling banter ya ‘makan hati’. Tanpa menyepelekan kaum pria, tapi kebetulan kami bertiga sedikit kecewa dengan figur ayah dalam kehidupan kami. Yang sudah berlalu, sudahlah berlalu. Setelah ibu tiada, sekarang saya mulai berpikir tentang ayah. Paling tidak saya harus berusaha menjumpainya. Okay, this is great. Tapi selama 30 tahun saya tidak pernah berjumpa dengan ayah saya. Beliau sudah menikah lagi dan beranak cucu. What can I say? Have a wonderful life, dad? Ya, anak – anak kalau masih kecil hanya akan bingung dan sedih ketika kedua orang tuanya berpisah. Namun setelah dewasa mereka bisa jadi super ‘sengak’ seperti saya? Hati – hati para orang tua. Bisa jadi Anda yang kualat pada anak – anak Anda,…
Mungkin saya sudah memaafkan ayah? Mungkin ayah yang segan pada saya? Kadang saya berkata ketus dan menohok pada ayah melalui telepon. Kadang saya nggak mengerti jalan pikiran dan pendapat ayah. Ini seperti dua orang asing berjumpa lalu diperkenalkan. “Hei,..kalian ayah dan anak! Silahkan menjalin hubungan seperti layaknya ayah dan anak ya,...monggo...” Apa bisa semacam itu? Beliau diam saja dan tak berani membantah. Kasihan ayah. Kadang saya yang bersikap begitu arogan dan kesal. Teman – teman saya yang dua orang itu memiliki perihal yang sama tentang ayah mereka. Yang wanita bahkan berpikir seharusnya ayah pergi menjauh dari kehidupan mereka. Yang pria berjumpa dengan ayahnya untuk pertama kali diusia 35 tahun, itupun ayahnya seolah malu mengakuinya sebagai anak! Edan,.. Okay, saya pegang rekor. Saya berbicara hanya kira – kira 10 x melalui telepon dalam 30 tahun masa tidak berjumpa ayah. Dan saya satu – satunya yang belum menyempatkan waktu menjumpai ayah. Pernah saking kesalnya saya berkata pada ayah, “Papi enak sekali ya, punya anak tiba – tiba sudah dewasa. Bahkan semua beres dan selalu beres karena saya sudah mengurus semuanya. Papi cuma terima beres!… Enak beneeeer…” Ia terdiam, malu. Ya, kalau saya diberi label ‘Marni Kundang’ mungkin cocok juga.
Bertiga dengan sahabat – sahabat saya, kami sering berdiskusi masalah kehidupan. Lalu tiba – tiba saya tersadar, “Wah seharusnya kami bersyukur. Kami bertiga dalam keadaan broken home. Dibesarkan dalam rumah tangga yang amburadul. Tiga – tiganya terbilang normal, bahkan boleh dikatakan sangat normal. Ini adalah anugrah kehidupan bukan? Kenapa harus selalu kesal pada orang tua dan masa lalu?” Lalu saya mulai berpikir bahwa tahun lalu ibu sudah tiada dan yang tersisa hanyalah ayah (dan mamah, istrinya yang baru). Mungkin saya harus berjumpa dengannya, melihat wajahnya. Walau saya nggak yakin apakah saya akan nyambung dengan ‘Papi’ dan ‘Mamah’. Teman – teman saya juga berpendapat sama. Masalah memaafkan atau tidak sebenarnya akan larut dalam waktu dan kesadaran, bahwa bagaimanapun juga itu adalah ayah. Tanpa dirinya, tidak ada dirimu di dunia ini. Semalam saya membaca artikel psikologi. Kebetulan saya sangat gemar bacaan psikologi dan filsafat, tetapi bukan dikedalaman ilmu yang memabukkan. Saya hanya baca naskah – naskah yang ringan, menyentuh dan mudah dimengerti.
Artikel yang saya baca dari web psychology today. Saya lupa judulnya apa. Tetapi inti dari tulisan itu menyebutkan sesungguhnya setiap orang diberi kesulitan dalam hidup untuk dimatangkan sebagai suatu pribadi. Karena dari kesulitan dan kegagalan itu orang yang mampu bangkit biasanya akan menjadi beberapa kali lebih kuat. Artinya semakin banyak yang mampu dihadapi dari segenap permasalahan, seseorang akan makin kuat dan diperkaya dalam kehidupannya. Maka akan sangat berbeda sikap dari orang – orang yang ‘selalu enak’ dan orang – orang yang sering bergelut dengan kesulitan hidup. Yang selalu enak tidak punya gagasan tidak enak itu seperti apa dan menjadi tidak siap ketika yang tidak enak datangnya menghantam bertubi – tubi. Sebaliknya orang yang ‘biasa susah’ akan mengerti bagaimana caranya mengemudikan biduk dalam kehidupannya. Itu juga hal yang dikatakan oleh sahabat – sahabat saya ketika saya kadang mengeluh, “Win, diberi masalah dalam hidup artinya kamu justru diberi kemahiran. Kamu diberi kesempatan untuk belajar dan terus belajar. Seharusnya kamu senang dan justru makin mumpuni.” Jadi kalau kadang saya travelling atau apa, belum tentu juga misinya hanya senang – senang. Ada kalanya misi rohaniah. Seperti target kali ini ke Batam,.. bertemu ayah. Kapan ya? Budget berapa lagi? Ealah, sambil menyelam tenggelam…swimming, snorkling, diving, parasailing, banana boat,…komplet beneeeerrrr… #wink#
foto: www.wikihow.com
Tiga – tiganya terbilang normal, bahkan boleh dikatakan sangat normal. Tahu dari mana normal Ci Jo? hahha
Saya pernah dengar Khotbahnya Steven Tong bahwa kita harus bersyukur dengan penderitaan karena itu ada bara yang akan membuat hidup kita bergelora dan teruji. Penderitaan atau kesulitan itu adalah bagaikan nutrisi untuk memperkaya hidup.
mau tauuuu ajahhhh,…emang perlu lapor situuhhh 😀 ..ya biasanya kotbah pak pendeta sll baik dan benar yaaa…kalo sampe nggak baik dan ngga benar artinya kejadian luar biasa…