KIM FOENG, sahabat Cinaku, tenggerkan pesan, bertanya: “Mengapa rumah tangga kerap bertengkar antara suami dan istri?”. Tak kujawab, sebab tiada cukup alinea untuk menuntaskan pertanyaan merakyat ini. Itu ‘sunnatullah’. Warisan perselisihan Kakek Adam dan Nenek Hawa. Kakek-nenek kita, kelewat tragis, hingga dilempar ke dunia, meninggalkan rumahnya, di surga.
Masihlah misteri, bagaimana cara Tuhan jika ‘jengkel’ kepada pasutri yang ribut melulu. Bolehkah dilempar dari dunia, tapi dilemparkan kemana? Ke laut, gak mungkin. Ke gunung, juga gak mungkin, ke awan, pun tak logis. Semua masih area dunia. Masih wilayah geografis manusia.
Lantas, di manakah sumbu yang sering kosrlet itu? Ini perkara kelistrikan manusia, yang jika salah mengelolanya, listrik manusia itu bisa bercahaya terang di ruang hati pasutri, pun bisa menggelapkan keduanya. Siapapun yang benar, siapapun yang salah. Bukan itu, parameternya. Bukan proses yang dipersoalkan di sini. Akibatlah yang ditimbulkan akan seringnya terjadi arus pendek itu.
Sederhana saja, keributan itu disebabkan oleh ketidakselarasan peran, ibu-ibu teori alamiahnya harus cerewet, bapak-bapak harus tidak resek. Ini juntrungnya, ini musababnya, ada beberapa rumahtangga, peran cerewet dan pemborong omongan dilakoni bapak-bapak. Jelas ini, penyerobotan wilayah sifat-sifat ibu. Rumahtangga ini tidak memiliki bapak. Ngomong banyak Vs Resek-resek, yah itu muatan listriknya sama. Muatan yang sama, tolak menolak. Tolak-menolak itu, pasti gak sinergis. Yang sinergis, hanyalah kegaduhan. Ini rumahtangga, dua ibu tanpa bapak. Bagiamana lagi dengan rumahtangga, dua bapak. Ini rumah tangga terhening di dunia, bak kuburan, sama-sama irit bicara. Inipun tak ideal.
***
Lalu, salah-benar, menjadi bahasan terulang-ulang lagi. Pasutri pun, lakukan kesalahan besar lagi. Apa itu? Yah karena mereka memperbincangkan kesalahan pasangannya. Mereka lupa, bahwa tiada orang yang mau disalahkan, itu rumus alamiahnya. Cara terbaik adalah belajar menerima kesalahan sendiri sebelum belajar menerima kesalahan pasangan. Jangan dibalik! itu kata tetanggaku yang sukses mencahayakan rumahtangganya. Terang-menyala.
Benarkah begitu?