Apa iya saya harus bersombong-sombong. Karena beberapa mahasiswi mengenali wajahku di sebuah perkuliahan di sini, Universitas Tadulako. Mestinya, wajah tak sepopuler begini. Karena merepotkan, membuat rusak konsentrasi mengajar dan berdiskusi. Sebab saya ingin dikenal bukan sebagai esais tetapi sebagai akademis murni saja. Tak perlu membagi fokus, cukup satu area pengenalan saja. Apa itu? Ya akademisi thok.
Mestinya mereka tak tambahkan embel-embel lain, cukup satu profesi saja yang mereka kenali. Itu saja. Sebab, manusia itu ‘tunggal’, peran-peran yang plural.
Lalu, siapakah yang pertama-pertama yang merasa dipopulerkan dengan berbagai identitas bak lencana-lencana di pakaian safari atau militer. Ini dia juga anehnya, kerena masyarakat sering membangga-banggakan seseorang dengan beragam peran -rangkap jabatan, profesi ganda, dan lain-lain- hingga kultur ini memanjakan sekalai. Tak salah jika tumbuh subur doubel jib di negeri ini, sebab toh rakyat merestui dan menyanjung-nyanjungnya.
Lalu, siapakah sebetulnya yang harus menerima ganda-gandanya pekerjaan, tanggungjawab dan job-job?
Lalu apanya yang dinilai? Banyaknya jabatan atau produksitifitas? Sulit rasanya manusia melakukan itu sebab ia harus bersekutu dengan manusia lain. Rangkap jabatan yang wajib dimiliki oleh setiap manusia yakni rangkap jabatan untuk urusan interaksi.
Tapi bro, banyak pula yang memang bangga dengan embel2 yang melekat pada dirinya daripada dirinya sebagaimana adanya
Itulah fakta orang lebih bangga menjadi “apa” bukan karena menjadi “siapa”.