Ikut memilih atau mencoblos pada pemilu adalah hak seorang warga negara. Warga negara yang baik
boleh ikut memilih, boleh juga tidak ikut memilih.
Adapun semboyan yang mengatakan bahwa : ‘warga negara yang baik selalu menggunakan hak pilihnya’,
sebenarnya termasuk semboyan yang menyesatkan. Secara tidak langsung semboyan ini mengatakan
bahwa warga negara yang tak ikut memilih adalah warga negara yang tidak baik. Padahal bisa saja
orang memilih untuk tidak memilih, karena menganggap calon-calon yang bakal dipilih itu tak ada yang
bagus. Tidak ada yang benar-benar akan memperjuangkan aspirasi rakyat. Paling cuma ingin berkuasa.
Dan kemudian memanfaatkan kekuasaannya itu untuk kepentingan pribadi dan golongan.
Golongan putih, kemudian dikenal sebagai golput, adalah julukan bagi mereka yang tidak ikut pemilu
karena berbagai alasan.
Setidaknya ada tiga alasan seseorang menjadi golput.
Alasan pertama adalah alasan teknis, misalnya karena berhalangan, sedang ke luar daerah, sangat sibuk
dan sebagainya. Alasan kedua adalah alasan administratif, biasanya karena tidak terdaftar sebagai
pemilih. Alasan terakhir adalah alasan idealis, tidak mau ikut memilih karena merasa sistim politik yang
diberlakukan tidak baik atau tidak sesuai dengan harapan si calon pemilih.
Dari hasil beberapa pemilu terakhir, didapati bahwa angka golput sangatlah tinggi. Hampir 40% rakyat
Indonesia termasuk golput.
Jika merujuk kepada klaim KPU yang mengatakan bahwa semua pemilih potensial sudah terdaftar,
kecuali beberapa orang saja yang tidak, maka dapat dikatakan bahwa golput idealis jumlahnya adalah
yang terbesar.
Golput idealis ini sejatinya berisikan orang-orang yang tidak mau ikut mencoblos waktu pemilu karena
merasa kecewa. Kecewa dengan kinerja para penguasa yang dulu pernah dipilihnya.
Kekecewaan ini menimbulkan sikap apatis. Sebuah perlawanan dalam diam. Pemberontakan tanpa suara terhadap pembohongan yang dilakukan oleh para penguasa.
Golput idealis anggotanya adalah mereka yang hatinya sudah mangkel, melihat aksi kerakusan dan
keserakahan para politikus di panggung publik.
Berderet-deretnya para politikus yang korupsi lalu ditangkap KPK, digadaikannya aset-aset bangsa
kepada pihak asing oleh penguasa, sistim politik biaya tinggi, runtuhnya kepercayaan publik terhadap
pihak penyelenggara pemilu, sampai tidak adanya calon pemimpin yang potensial untuk membawa bangsa ini menjauhi kebangkrutan, adalah serangkai alasan bertambah besarnya angka golput.
Ya, golput bisa dikatakan sebagai ahimsa gaya baru. Dan ketika golput sudah mencapai puncaknya,
maka kredibilitas penguasa pun menjadi tak punya nilai lagi, karena sejatinya ia tak didukung rakyat.
Dan dapatlah dikatakan bahwa golput adalah bentuk riil perlawanan rakyat terhadap sebuah sistim politik
yang dianggap korup dan tak melahirkan sebuah kepemimpinan.
Sebagai catatan penutup, kami katakan bahwa menjadi golput juga adalah sebuah pilihan. Dan tak boleh
ada satu pihak pun yang boleh menyudutkan para golput. Golput adalah juga salah satu cara untuk
memperjuangkan aspirasi rakyat. Agar penguasa tahu, bahwa rakyat sudah tak mempercayai mereka.
Jika demokrasi itu bebas, maka setiap orang bebas untuk ikut memilih, atau tidak ikut memilih.
Terakhir, tulisan ini bukanlah sebuah ajakan untuk menjadi golput. Tulisan ini hanya ingin mempertegas,
bahwa memilih itu adalah hak rakyat, dan tak memilih itu juga adalah hak rakyat. Ikut mencoblos bukanlah
sebuah kewajiban.
wah saya udah dua periode golput nih dalam pemilihan presiden, kalau pemilihan caleg perasaan golput terus pilihan saya, soalnya calegnya gak ada yang kenal, Bang hehehe
Saya justru bakalan golput karena terlalu banyaknya kenalan/saudara yang ikutan nyaleg. Tetangga saja ada 3 orang dari 3 parpol berbeda.
Halah… pening, mending golput.
Hehehe, salaman dengan mas Katedrarajawen.