Salah satu masalah paling utama bangsa kita adalah korupsi. Korupsi merupakan kejahatan luar biasa bagi kemanusiaan. Ada dua alasannya. Pertama, sebagaimana kerap disebutkan, korupsi itu menyengsarakan rakyat, ibarat tindakan holocaust perlahan-lahan. Kedua, yang nyaris tak pernah disinggung, kekejian tersebut sudah menjadi wabah pandemik kronis di negeri ini
Alangkah aneh apabila kita tidak bertanya-tanya, mengapa korupsi begitu subur di Indonesia? Tanpa pengenalan yang tepat akan sumber utama kejahatan korupsi, usaha penanggulangannya hanya akan berputar-putar dalam lingkaran setan belaka. Takkan mungkin terwujud hasil yang sungguh-sungguh diharapkan, yakni hilangnya korupsi dari bumi Indonesia. Dan bilamana itu yang terjadi, sampai kapan pun Indonesia tidak akan pernah bangkit dan beranjak maju.
Lantas, apa biang keladi terjadinya korupsi? Hampir semua pakar dan pemerhati menudingkan telunjuk pada sistem. Sistem yang salahlah yang telah memberi peluang tumbuh suburnya perilaku korup. Ada benarnya. Namun, pertanyaan yang perlu diajukan: sistem apa yang salah? Sistem politikkah? Ketatanegaraankah? Hukum dan penegakkannyakah? Ataukah sistem lainnya? Atau, semua (atau paling tidak, sebagian besar) sistem yang ada di Republik ini sudah salah? Seandainya benar demikian, itu salah siapa?
Siapa yang membuat sistem di negeri ini? Bisa dipastikan, jawaban yang keluar adalah: para pemimpin. Baik pemerintah serta para petinggi badan legislatif dan lembaga-lembaga tinggi lainnya yang ada di pusat maupun di daerah, maupun pemimpin-pemimpin dalam aspek lain, seperti pemimpin spiritual, pemimpin adat, para cendekiawan, dan para pemain besar dunia usaha. Mereka adalah manusia. Berarti, sistem bisa salah karena manusia pembuatnyalah yang menjadikannya salah! Kalau begitu, bukankah seharusnya yang harus dipersalahkan adalah manusianya?
Timbul lagi pertanyaan selanjutnya: kenapa orang-orang itu sampai bisa salah membentuk sistem? Sistem yang bobrok pastilah dihasilkan oleh para manusia yang bobrok juga. Jadi, dengan kata lain, pertanyaannya berikutnya: kenapa mereka sampai bisa menjadi orang-orang bobrok? Dengan pola pemikiran yang sama, kita akan kembali ke jawaban awal: mereka menjadi bobrok karena sistemnya salah. Nah, sistem apa lagi ini?! Sistem pendidikankah? Mengapa sistem pendidikan bisa salah? Siapa yang bertanggung-jawab atas kesalahan itu? Ya jelas, manusia juga, yaitu manusia-manusia yang hidup dalam generasi sebelumnya lagi! Dan teruslah kita berputar-putar di jalan gelap-gulita yang tidak kelihatan ujung-pangkalnya!
Apa memang sedemikian susah dan rumitnya memberantas korupsi, karena untuk mengidentifikasi akarnya saja sudah seperti itu memusingkannya? Nah, itulah intinya! Kita tak kunjung sadar-sadar juga bahwa semua penjelasan terasa bagaikan menghantam-hantam dan memutar-mutar kepala itu karena kita memulai dari titik yang sama sekali keliru! Kita mabok dan sakit kepala karena kita memikirkan hal-hal yang memang bukan urusan kita. Coba perhatikan! Bukankah selama ini yang kita cari adalah alasan “mengapa orang melakukan korupsi”? Dan bukankah “orang” di sini adalah orang lain, bukan diri kita sendiri? Padahal, tidak seorang pun mampu mengetahui dengan pasti isi hati orang lain, bukan?
Buat apa kita membahas perbuatan orang lain, berikut latar-belakang dan alasannya? Kita bisa tahu seratus persen apa hakekat perbuatan orang lain, apa alasannya, dan bagaimana latar-belakangnya, jika dan hanya jika Tuhan memberitahu kita! Karena, sekalipun orang itu sendiri yang memberitahu kita, kita tidak pernah bisa memastikan apakah dia berkata jujur ataukah berbohong.
Kepo adalah penyebab banyak sekali permasalahan yang menjadikan hidup kita sulit. Kita hanya mampu, berhak, wajib, dan bertanggung-jawab atas urusan diri kita sendiri saja, bukan urusan orang lain. Terhadap orang lain, kemampuan, kewajiban, dan tanggung jawab kita hanya sebatas peduli dan membantu (jika diminta, atau dalam keadaan darurat di mana sesama kita tidak memiliki daya lagi bahkan untuk meminta tolong sekalipun). Ada perbedaan yang jauh sekali antara “mengurusi” atau “mencampuri urusan” dengan “peduli dan menolong”. Jadi, pertanyaan yang seyogyanya kita lontarkan adalah: “Bagaimana aku menjaga diriku supaya tidak korup?”, yang ditujukan hanya semata-mata pada diri kita sendiri
Inilah ekses dari kegotong-royongan! Gotong-royong adalah kepribadian nasional bangsa kita. Sama sekali tidak ada yang salah dalam kegotong-royongan itu sendiri. Kesalahan terjadi pada cara kita mengaplikasikan dan mengimplimentasikannya. Gotong-royong mengimplikasikan perhatian, keprihatinan, kepedulian, dan empati terhadap sesama yang teramplifikasi kesucian dan intensitasnya. Cinta kasih dan welas asih adalah landasannya. Hal ini sama sekali tidaklah meniadakan batas-batas individual. Kepedulian yang sucinya “tingkat tinggi”, yang dilaksanakan terhadap siapapun tanpa pandang bulu, di manapun tanpa memandang tempat, dan kapanpun tak mengenal waktu dan tidak pernah beralasan “menunggu kesempatan baik”, yang didorong oleh kasih dan belas kasihan, niscaya selalu menghormati batas-batas. Baik batas diri sendiri maupun semua orang lain.
Itu kata kuncinya: “batas-batas”!
Setiap hal memiliki teritori masing-masing. Tuhan, umat manusia, kaum malaikat, dunia fauna, dan dunia flora, serta materi lainnya punya. Demikian pula dengan hal-hal non-material: dunia politik, dunia usaha, dunia seni, dan konsep-konsep laninnya. Dalam satu kelompok sejenis, setiap individu anggotanya pun ada teritorinya sendiri. Misalnya, dalam kehidupan umat manusia, tiap pribadi punya teritori khas yang unik dan eksklusif. Lalu, tiap teritori tentu punya “pagar” batas sendiri-sendiri.
Seperti sudah disebutkan di atas, tiap individu cuma memiliki hak sekaligus kewajiban, dan wewenang sekaligus tanggung jawab, atas segala sesuatu yang berada di dalam “pagar” batas wilayahnya sendiri belaka.
Yang sering menimbulkan problematika, banyak individu kurang bisa memandang dan membedakan dengan jelas “pagar-pagar” tersebut, mana “pagar” yang membatasi wilayah eksklusifnya sendiri dan mana “pagar” yang melingkari daerah individu lain. Ketika itu terjadi, maka mudah sekali individu itu berlaku seolah-olah memiliki otoritas atas wilayah hak individu lain, namun, pada saat bersamaan, acapkali justru tidak merasa dan tidak mau bertanggung jawab mengurusi segala hal yang sebetulnya ada di dalam wilayah kewajibannya sendiri.
Jikalau kekeliruan itu berlangsung kontinu dalam kurun yang lama dan dilakukan secara intens, maka perilaku mengambil apapun yang bukan haknya itu pun menjadi pola dan gaya hidup, yang kemudian mengkristal menjadi karakter. Bila sudah seperti itu, orang tersebut tidak lagi merasa, menyadari, dan berpikiran bahwa yang dilakukannya itu sesungguhnya tidak benar. Sebab, paradigma/mindset-nya memang sudah disfungsi. Dia tahunya, yang dilakukannya itu benar. Apalagi, bilamana mayoritas saudara-saudara selingkungannya juga melakukan yang sama! Akhirnya, kelaziman dijadikan standar kebenaran: “apa yang lumrah dilakukan, itulah yang benar”. Sesuatu yang salah total!
Simaklah contoh-contoh kasus berikut ini
- Anak ini baru saja menyelesaikan masa balitanya. Kini dia sudah pas berusia 5 tahun. Sudah mulai dapat gambaran perbedaan antara dirinya dengan segala sesuatu yang bukan dirinya dan berada di luar dirinya. Karena masih belajar, tentu si anak masih jauh dari mahir. Banyak kali belum mampu memisahkan mana yang menjadi haknya dan mana yang bukan. Jadi, sifat-sifat egosentris balitanya masih begitu kental. Ada barang, makanan, atau apapun yang merangsang hasratnya, dia langsung mengambil, tidak peduli itu punya siapa. Asal dia mau dan merasa tertarik akan tempat itu, main di manapun jadi, tak peduli kalau tempat itu adalah halaman rumah tetangga, yang hampir selalu menjadi kotor yang kadang juga rusak akibat ulahnya sewaktu bermain. Setiap jajan, bungkus kudapannya diempaskan begitu saja, di mana saja. Orangtuanya sama sekali membiarkannya, karena menyangka kalau itu wajar dilakukan anak kecil. Lagian, teman-teman sebayanya yang lain melakukan yang sama pula, berhubung orang-orangtua mereka pun punya pemikiran yang sama
- Tahun berganti. Anak ini sudah duduk di kelas 4 atau 5 SD. Satu dasawarsa sudah hidupnya. Akan tetapi, orangtuanya seperti tidak juga sadar kalau anaknya sudah besar. Masih berpikir dan memperlakukan anaknya dengan cara yang sama seperti lima tahun sebelumnya. Sekiranyapun ada yang diajarkan, hanya sedikit sekali saja. Itupun secara sambil lalu. Jangan salah! Ini bukan pemanjaan. Malah, tidak jarang orangtuanya berlaku keras dan cenderung kasar padanya. Hanya pembiaran saja yang terus mereka terapkan terhadap anaknya. Akibatnya, si anak, yang seharusnya sudah mulai terampil bertanggung-jawab, belum juga menampakkan tanda-tanda kesadaran dan tanggung jawab sosial. Dia sering berkelahi dengan kawan-kawan sekolah dan anak-anak seusia di lingkungan rumahnya. Pasalnya, ia tiap kali merampas apapun milik temannya yang dia inginkan. Anak ini juga cukup meresahkan para tetangga akibat ulahnya yang kerap bermain bola di depan rumah orang hingga tembok dan pagar rumah itu menimbulkan bunyi keras dan bahkan sampai sedikit rusak akibat terkena kencangnya bola yang ditendangannya. Dia juga berkali-kali mencoret-coret tembok luar rumah orang dengan cat semprot, pula melempari cecak, yang hinggap di dinding rumah tetangganya, dengan batu. Dan, tidak peduli tengah hari ataupun tengah malam, kalau dia mengamuk, teriakannya yang bagai halilintar digaungkannya ke udara. Sementara, orangtuanya tetap mendiamkannya. Karena, bagi mereka, “Biasa! Namanya juga anak-anak! Kalau tidak nakal, bisa jadi bodoh!”
- Sekian tahun berlalu. Anak ini sekarang sudah menjadi pemuda belasan tahun. Bergabung dengan geng motor, kebut-kebutan dengan sepeda motornya raya tanpa memakai helm, bukan cuma di tengah malam namun juga di siang bolong, dan bukan hanya di jalan raya tapi juga di jalan-jalan kecil perumahan penduduk. Knalpot motornya dibuatnya bodong, sehingga menimbulkan kebisingan hebat, terutama apabila dia memutar gas dengan keras. Soal lawan arus dan melanggar lampu merah, itu seolah telah menjadi keharusan yang membuat ia merasa berdosa kalau tidak melakukannya. Apalagi kalau cuma naik trotoar atau ambil jalur busway. Naik jembatan penyeberangan pakai motor saja hampir tiap hari dilakoninya! Reaksi orangtua? “Anak lelaki remaja kalau nakal itu sudah lumrah! Kalau tidak nakal, nanti mereka kuper?!” begitu jawab mereka selalu dengan ringan dan acuh.
- Sekarang remaja ini telah dewasa. Sudah bekerja dan berumah-tangga pula. Memang, syukurnya, dia bisa dibilang jadi orang baik-baik. Maksudnya, tidak pernah terlibat kriminalitas dan berbuat onar. Baik sekali! Kalau beberapa kali bawa pulang alat tulis, kertas HVS, map kabinet, klip kertas, tinta printer, doubel tape, atau yang lainnya dari kantor, yah, itu sih lumrah! Bukankah semua juga begitu?! Masih suka melanggar lampu merah, memarkir di kawasan terlarang, menerobos jalur busway, itu sih jamak! Ada yang sangat menggelikan baginya. Seorang tetangganya menegurnya karena dia dan isterinya setiap hari menaruh rak jemuran pakaian di depan rumah sang tetangga, juga karena ia cukup sering menaruh motor dan mobilnya di situ juga. Biasa aja kalee!! Apalagi Pak RW juga ikut-ikutan aneh, menegurnya karena ia dan isterinya sering sekali membuang sampah rumah-tangganya, yang dikumpulkan dalam kantong plastik besar, di kavling kosong dekat rumahnya atau ke sungai di bawah jembatan yang ada di mulut gang depan. Ya ampun!! Gitu aja diributin?!! Jamak aja, Pak!!
Sebetulnya, ada satu lagi riwayat orang ini. Tapi, tidak usah kita memasukkannya menjadi nomor 5. Sebab, ini sangat berkaitan dengan pembicaraan kita. Tindak pidana korupsi. Ya! Akhirnya, orang ini berhasil naik ke jenjang kehidupan yang lebih tinggi. Menjadi pengusaha besar, sekaligus lolos ke Senayan, Jakarta, menjadi wakil rakyat. Namun, entah mengapa, menurutnya, tahu-tahu dia diciduk KPK, dituding melakukan tindak pidana korupsi, gratifikasi, dan pencucian uang! Padahal, dia yakin dan berani bersumpah demi nama Tuhan, dirinya tidak melakukan tindakan-tindakan pidana itu! Apa yang sudah dikerjakannya selama ini dipikirnya adalah benar-benar saja. Ambil jalan pintas supaya dapat proyek dengan memberi uang dan barang mahal tanda saling pengertian kepada pejabat terkait, bersenang-senang dengan perempuan muda dan kemudian membalas “kebaikan” si perempuan dengan pemberian-pemberian mewah, itu semua ‘kan lumrah dikerjakan semua pejabat dan pengusaha?! Apa dan di mana salahnya?!
Barangsiapa setia dalam perkara kecil, ia akan setia juga dalam perkara besar. Tapi, barangsiapa tidak setia dalam perkara kecil, ia tidak akan setia juga dalam perkara besar. Selain itu, tidak ada sesuatu yang besar tanpa dimulai dari kecil terlebih dahulu. Mustahil orang mampu mengangkat beban seberat 1 kuintal di pundaknya apabila beras satu karung (25 kg) saja belum mampu dia pikul. Maka, tidak mungkin orang mampu dengan tenang dan lancar melakukan korupsi terhadap uang negara dalam jumlah besar kalau sebelumnya dia belum terbiasa mengambil apapun yang bukan haknya secara kecil-kecilan. Orang seperti itu juga pasti sudah terbiasa mengkorupsi hal-hal non-uang, seperti waktu dan tenaga. Bukankah banyak orang seperti itu di negeri ini, yang sudah masuk kerja terlambat, masih juga menggunakan jam kerjanya untuk menelepon, chatting, browsing, bermedia-sosial ria, mengobrol, makan dan merokok di luar ruangan, dan hal-hal lainnya yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan?
Segala kebiasaan tersebutlah cikal-bakal korupsi! Bahkan, beberapa di antaranya sebetulnya sudah merupakan korupsi dalam bentuk kecil! Tapi, sedihnya, bukankah itu sudah menjadi gaya hidup sebagaian besar rakyat negeri ini, sehingga sudah menjadi karakter dan budaya?
Lihat?! Bukan pemerintah. Bukan KPK. Bukan polisi, kejaksaan, pengadilan, dan penjara. Tapi, kita semualah yang mampu memberantas korupsi! Hanya kita yang punya kemampuan meredam sosok koruptor di dalam diri kita masing-masing agar tidak muncul dan binasa selama-lamanya! Namun, kita juga punya kewajiban dan kemampuan mendidik anak-anak kita agar mereka pun terlatih meredam sosok koruptor dalam diri mereka sendiri.
Semua berawal dari memperjelas kembali batas kita, menajamkan pandangan kita akan batas orang lain, dan kemudian menghormati dan menaati batas-batas tersebut!
Penulis : Samuel Edward