Tak heran lagi. Dunia medsos, sukses luapkan sejagat perasaan, usernya tak segan-segan cuatkan tetek bengek perasaannya. Dikendalikan dan diselonjorkan bilik-bilik hatinya, dan semua berkata: “Guna medsos memang begitu, tempat meletupkan segala rasa, tanpa kecuali, tanpa pandang status sosial, level pendidikan, jenis kelamin”.
Ini penciri bahwa konsumen medsos telah takluk di hadapan jejaring sosial. Yang dulunya pendiam, jadilah manusia-manusia cerewet, yang dulunya tak hobi gosipi orang lain, jadilah penghantar cibiran yang sempurna. Berkembang dan berlanjut. Hingga satu tanya yang teramat alot dijawabnya: “Apakah untungnya aku memublikasi semua ini? Memamerkan perihal privacy-ku? Apa gunanya?”.
Tak ada jawaban, tak ada respon, bahkan tak ada rasa ‘sayang’ sama sekali hingga hal isi dapur rumah tangga, isi percakapan suami-istri, terkuak di hadapan khalayak. Termat jamak kesedihan terpaparkan, hingga orang lain nimrung. Mengapa orang lain turut menyatakan kesedihan? Sebab yang bersangkutan mengundangnya secara sengaja ataupun tanpa maksud mengundangnya, Pastinya, di setiap ungkapan di medsos, itu sudah bukan bagian dari kita, dia sudah milik publik, dan jika harapan untuk dikasihani tak terkabul, jangan pernah kelirukan mereka-mereka. Kitalah yang tak sanggup kendalikan medsos, dan terbaliklah: “medsos yang menggembala kita bak kambing congek, memenuhi jagat rambu-rambu medsos”.
Tiada terkirakan lagi, kita telah menjual kesedihan, dan itu yang senyata-nyata disebut Industri Kesedihan. Entah apa manfaatnya melakukannya setiap detik, menit ke menit dan dari hari ke hari, sedang umbar-umbaran aib, sungguh awal malapetak atas nama martabat diri, dan atas nama kekerdilan diri^^^
Duuuh membaca tulisan ini saya jadi makan tak enak dan agak sedikit pusing juga, bagaimana ya..
kenapa Pak Kate jadi ngga enak?? lagi sensi yaaa.. Bang Armand : ada industri lebay ngga? tulis dong… :Peace: