Seorang pebisnis Indonesia yang kini berada di ujung usia 50-an, lelah dan jauh dari keluarganya, terus menerus dalam perjalanan. Namun, ada sisi lain dari dirinya; yang terlibat dalam penyiksaan orang-orang tak bersalah di Timor Timur, penculikan aktivis pro-demokrasi, menjadi otak kerusuhan dan perkosaan di Jakarta pada Mei 1998, serta menjadi konspirator dalam percobaan kudeta yang gagal dengan tujuan menyandera seorang presiden Indonesia.
Prabowo yang pertama adalah sosok manusia dengan darah dan daging, sementara sisi lainnya adalah gambaran yang dibentuk dari potongan berita dan rumor. Sosok Prabowo yang pertama kini hidup di luar Indonesia, terutama karena reputasinya yang telah menyertainya. Prabowo yang dijuluki perancang jahat lebih menarik perhatian para wartawan, menjadi lawan yang lebih mudah dibentuk bagi aktivis, dan menjadi kambing hitam yang lebih mudah untuk politisi. Sesekali, ada yang meminta Prabowo dipanggil pulang untuk diadili, namun pertanyaan muncul: apa sebenarnya yang lebih menghalangi jalan menuju keadilan di Indonesia: realitas atau mitos?
Untuk menggali realitas tersebut, jurnalis Asiaweek untuk Indonesia, Jose Manuel Tessoro, melakukan wawancara mendalam dengan Prabowo, yang merupakan wawancara pertama dengan publikasi internasional sejak Mei 1998. Tessoro juga melakukan investigasi, menghasilkan uraian yang penuh nuansa tentang peristiwa-peristiwa dramatis, di mana berbagai pihak memberikan pendapat dan argumentasi yang dipengaruhi oleh ambisi, kepentingan pribadi, loyalitas, dan ketakutan. Apakah Prabowo bersalah atas peristiwa 1998? Menurutnya, tidak! Namun, dia tidak menyebutkan siapa yang terlibat, meskipun melihat konflik antara Presiden Wahid dan Jenderal Wiranto belakangan ini, hal ini sering kali terlupakan.
Sekarang, muncul tuntutan untuk membuka kembali kasus-kasus lama: serangan, kekejaman, dan insiden dari masa lalu. Mungkin setelah beberapa dekade tanpa ada pertanggungjawaban dari para pemimpin, rakyat Indonesia ingin mengetahui kebenaran dan ingin mengendalikan urusan politik. Dengan menceritakan kisahnya, Prabowo, sadar atau tidak, sebenarnya membantu memulai proses itu.
Kambing Hitam?
Pada malam 21 Mei 1998, lusinan prajurit mengambil posisi di sekitar Istana Merdeka dan kediaman Presiden Habibie, yang baru dilantik sebagai presiden Indonesia kurang dari 24 jam sebelumnya. Pasukan ini dipimpin oleh Letnan Jenderal Prabowo Subianto yang terkenal dengan sikap agresifnya. Seminggu sebelumnya, ia sudah menyiapkan pasukan gelap, termasuk pasukan khusus rahasia, penjahat kota, dan kelompok radikal muslim, untuk melakukan tindakan kekerasan: membunuh, membakar, memperkosa, menjarah, dan menyebarkan kebencian etnis di Jakarta. Tujuan utama Prabowo adalah untuk merongrong rivalnya, Panglima ABRI Jenderal Wiranto, serta untuk memaksa mertuanya, Soeharto, mengangkatnya menjadi pimpinan Angkatan Darat – sebuah langkah yang, dalam situasi kacau, bisa mendekatkannya pada posisi presiden.
Namun, pengunduran diri Soeharto yang mendadak menggagalkan ambisi Prabowo. Marah karena kegagalan itu, Prabowo mengalihkan amarahnya kepada Habibie. Jika bukan karena perintah Wiranto yang membebaskan Prabowo dari komando, bencana besar bagi Indonesia – dan mimpi buruk bagi Asia Tenggara – mungkin saja terjadi. Dalam keadaan marah, Prabowo membawa pasukannya menuju halaman Istana dan mencoba mendobrak masuk ke kamar Habibie dengan senjata lengkap. Namun, ia akhirnya diperdaya. Percobaan kudetanya menjadi puncak dari peristiwa dramatis yang terjadi dalam sepuluh hari terakhir pemerintahan Soeharto.
Masalahnya, tidak semuanya benar. Bahkan, mungkin tak ada satupun dari tuduhan itu yang benar. Prabowo sendiri membantahnya. “Saya tidak pernah mengancam Habibie,” tegasnya. Apakah ia merencanakan kerusuhan Mei 1998 untuk menjatuhkan Wiranto atau Soeharto? “Saya tidak berada di balik kerusuhan itu. Itu bohong besar,” jawabnya tegas. “Saya tidak pernah mengkhianati Pak Harto. Saya tidak pernah mengkhianati Habibie. Saya tidak pernah mengkhianati tanah air saya.”
Prabowo, yang kini berusia 48 tahun, bukanlah sosok yang suci. Selama 24 tahun, ia setia menjadi anggota militer Indonesia yang selalu mematuhi perintah presiden. Ia memimpin Kopassus untuk memerangi pemberontakan dan terorisme domestik. Ia juga menikah dengan putri kedua Soeharto, menikmati kekayaan, kekuasaan, dan kebebasan dari tanggung jawab yang dinikmati oleh keluarga presiden. Prabowo mengakui bahwa ia terlibat dalam penculikan sembilan aktivis pada awal 1998, beberapa di antaranya mengalami penyiksaan. Sekitar 12 orang lainnya yang diduga diculik dalam operasi yang sama masih hilang hingga kini.
Namun, apakah Prabowo adalah sosok iblis? Pada Agustus 1998, Dewan Kehormatan Perwira (DKP) menyatakan bahwa Prabowo bersalah karena salah menafsirkan perintah dan merekomendasikan sanksi atau pengadilan militer. Ia kemudian dipecat.
Pada Oktober 1998, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) merekomendasikan agar Prabowo diperiksa mengenai keterlibatannya dalam kerusuhan Mei. Sejak itu, media Indonesia dan internasional sering mengaitkan namanya dengan istilah seperti “rencana jahat”, “kejam dan sembrono”, serta “seorang fanatik yang haus kekuasaan”. Beberapa media bahkan menyebutnya membenci orang Cina. Keyakinan bahwa ia yang memicu kerusuhan dan gagal mengendalikannya telah mengakar dalam sejarah. “Sayalah monster di balik semua ini,” kata Prabowo dengan ironi yang jelas.
Meski begitu, hampir dua tahun setelah Soeharto mundur, belum ada bukti yang jelas yang mengaitkan Prabowo dengan kerusuhan yang memicu pengunduran dirinya. Gambaran lengkap tentang hari-hari itu masih kabur oleh cerita yang saling bertentangan dan narasumber yang tidak diketahui identitasnya. Pada September 1998, Marzuki Darusman, yang saat itu menjabat Ketua TGPF dan kini menjadi Jaksa Agung, berbagi pandangannya dengan wartawan: “Saya rasa masalahnya bukan hanya Prabowo. Saya akui, dia adalah pemegang rahasia yang ketat. Mungkin dia hanya akan mengungkapkan sedikit jika terpaksa. Prabowo telah diadili oleh opini publik dan dianggap bersalah. Namun dia tidak pernah diberi kesempatan untuk memberikan kesaksiannya. Saat ini, ia menghabiskan waktunya di luar negeri, meski media lokal melaporkan bahwa ia sempat melakukan kunjungan singkat pada Januari lalu – kunjungan pertamanya dalam 15 bulan (istri dan anaknya tinggal di Indonesia).”
Apa yang muncul dari wawancara Prabowo sendiri, bersama dengan penyelidikan independen yang dilakukan oleh Asiaweek, adalah kisah yang jauh lebih rumit, lebih bernuansa, daripada penilaian umum yang selama ini diterima bahwa kejatuhan Soeharto adalah pertarungan antara kebaikan dan kejahatan, dan bahwa Prabowo adalah sang penjahat. Kisah ini mengungkapkan dinamika elite politik Indonesia, perubahan berbahaya yang terjadi, dan kompleksitas para pelaku di baliknya. Laporan ini menantang pandangan umum tentang Indonesia, militernya, keluarga penguasa yang lalu, dan sejarahnya. Apapun kesimpulan yang Anda ambil, Anda tidak akan lagi melihat kejatuhan Soeharto, atau kecaman dan konflik yang terjadi saat ini, dengan cara yang sama.
Sumber :
“Buku Putih” Prabowo [Kesaksian Tragedi Mei 1998]
Penerbit Majalah Berita Populer “TOTALITAS”, Cipayung, Ciputat, Tangerang. Dikutip dari Majalah Asiaweek edisi 3 Maret 2000.