Aku berdiri mematung di depan jendela kamarku. Kupandangi hujan yang turun deras diluar sana dengan pikiran gamang. Haruskah aku berangkat dengan kondisi cuaca seperti ini? Hujan sama sekali tak memberi jeda dengan menurunkan gerimis agar aku bisa segera keluar dari rumah. Aku makin cemas sementara jam tanganku menunjukkan pukul sepuluh pagi. Bertahan sejak tadi ternyata tidak ada perubahan. Hujan masih saja deras dengan sambaran kilat berkali-kali.
Hapeku berdering.
“Udah di mana, Ky?” suara lembut kak Lisa terdengar.
“Masih di rumah, kak.” Jawabku sambil tetap memandangi hujan yang tak kunjung reda.
“Kok belum berangkat juga? Hari ini test wawancara.” Suara kakakku terdengar khawatir.
“Hujan masih deras, kak.”
“Kamu naik taksi. Meski test wawancara jam dua belas, lebih baik jika kamu hadir lebih awal. Aku sudah menghubungi temanku, jadi jangan nggak hadir ya. Susah loh masuk ke sana.”
“Baiklah, aku pesan taksi sekarang.” Kataku mengakhiri pembicaraan.
Setelah memesan taksi, aku bergegas keluar kamar mencari ibu. Ibu tengah sibuk di dapur. Kuraih jemarinya lalu mencium punggung tangannya.
“Aku berangkat, bu. Doakan agar aku diterima bekerja.” Kataku. Mata ibu berbinar-binar. Aku bahagia melihatnya.
“Ibu doakan, nak. Sejak dulu ibu selalu mendoakanmu.”
Setelah berpamitan aku melangkah menuju teras lalu duduk menunggu. Kulihat jam tanganku, jam sepuluh lebih dua puluh menit. Perasaan cemas kini menghantuiku. Semoga aku lulus dalam tes wawancara ini. Entah mengapa kali ini aku sangat berharap bisa di terima bekerja.
Suara klakson taksi terdengar memberi kode, aku berlari menembus hujan lalu membuka pintu mobil. Menghempaskan tubuhku di kursi tepat di belakang sopir.
“PT. Mutiara Cemerlang, pak. Jalan Ahmad Yani.” Aku menyebutkan tujuanku.
Taksi kemudian melaju menyusuri perumahan. Seperti biasa untuk mengusir kejenuhan jika aku berada dalam taksi, handphone menjadi satu-satunya teman yang bisa aku andalkan. Bercanda dengan teman di grup BBM atau mendengarkan musik melalui headset. Namun kali ini aku tidak berniat untuk menyentuh benda itu. Aku cemas memikirkan test wawancara nanti. Ini pertama kali aku melamar kerja dan belum pernah mengikuti test apapun.
Semalam kak Lisa memberiku beberapa tips saat mengikuti wawancara. Walau kak Lisa memintaku bersikap tenang namun tetap saja jantungku berdetak kencang. Mungkin seperti inilah rasanya jika kita benar-benar berharap akan sesuatu. Kutarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Berulang-ulang hingga perasaanku tak lagi cemas.
Apa yang aku alami hari ini membuatku merenungkan banyak hal. Aku ingat ayah. Sejak ayah meninggal setahun yang lalu, Kak Lisa yang paling gencar mendorongku bekerja. Setiap hari nasehatnya yang semakin lama terdengar seperti omelan memenuhi kepalaku. Awalnya aku marah dan memilih pergi meninggalkan rumah, ikut bergabung di pantai bersama teman-teman.
Namun semakin lama kehilangan ayah makin terasa membebani diriku. Ibu hanya menerima pensiun dan hanya cukup untuk membiayai kebutuhan kami sehari-hari, sementara kak Lisa sama sekali tidak ingin memanjakanku. Setiap kali aku meminta uang, hanya omelan yang aku terima.
“Sadar Ky, umurmu sekarang udah 25 tahun. Kuliah nggak mau, kerja nggak mau. Kamu nggak mungkin seperti ini terus. Suatu saat kamu akan bertemu dengan seorang gadis, jatuh cinta dan kemungkinan menikah. Mau dikasih makan apa tuh anak orang kalau kamu nggak punya pekerjaan? Aku nggak mau membiayai hidupmu, urus diri sendiri.”
Saat itu aku hanya bisa geram mendengar kata-kata kak Lisa. Ingin rasanya aku berteriak memakinya, namun bayang wajah ayah seolah hadir dipelupuk mataku. Ayah yang sangat memanjakanku. Ayah yang tidak pernah marah padaku. Ayah yang menuruti semua keinginanku. Ayah bahkan tak pernah memaksaku untuk bekerja. Tapi aku aku sama sekali tak menghargai itu. Aku malah sibuk dengan aktivitas yang tak jelas arahnya.
Hingga kecelakaan tragis merenggut nyawa ayah, seolah ada palu godam yang menghantam kepalaku. Pening dan membuatku limbung. Aku tersadar dari tidur panjang. Ayah tak ada lagi bersama kami. Aku tak tahu hendak melangkah kemana. Hidupku benar-benar hampa.
Makin lama aku tak tega melihat tatapan ibu saat menatapku. Helaan nafasnya terdengar seperti deru pesawat. Tak ada nasehat atau omelan seperti kak Lisa, tapi tatapannya menghujam hingga ke ulu hati. Sorot mata ibu menyiratkan ribuan harapan, pesan yang tak terucapkan. Aku terenyuh hingga tak sadar menitikkan air mata. Malam itu pertama kalinya aku tidak ikut begadang bersama teman-teman.
Aku memilih tidur di rumah. Saat subuh aku refleks terbangun ketika kudengar adzan subuh berkumandang dari mesjid. Bergegas aku bangun lalu melaksanakan sholat subuh. Aku lupa kapan terakhir melaksanakan sholat lima waktu. Aku berdoa sambil menangis. Tanganku yang menengadah bergetar karena isakku.
Maafkan hambamu ini Ya Allah, ampuni segala dosa-dosaku….
Aku bersujud, menangis hingga sajadahku basah dengan airmata.
Pagi itu mungkin menjadi sarapan yang tak akan terlupakan bagi ibu dan kak Lisa. Saat aku menghampiri keduanya yang tengah menikmati nasi goreng buatan ibu.
“Kak, aku ingin bekerja. Apa lowongan kerja tempo hari masih berlaku?”
Ibu dan kak Lisa seolah tak percaya dengan ucapanku. Keduanya menatapku.
“Benar kamu ingin bekerja?” aku mengangguk. Ibu tersenyum sementara kak Lisa buru-buru menyelesaikan sarapannya lalu menelpon seseorang.
Ini menjadi titik awal perubahanku. Aku ingin menjadi orang yang berguna tidak hanya menjadi beban bagi ibu dan kak Lisa. Aku merasakan rumahku bukan lagi tempat yang membosankan. Aku betah berlama-lama di rumah membantu ibu sambil menunggu panggilan test wawancara.
Dan hari yang aku tunggu akhirnya tiba. Panggilan test wawancara itu benar-benar datang. Kupandangi kemeja dan celana panjang hitam yang beberapa hari ini tergantung di depan lemariku. Setiap malam aku melihatnya, rasanya tak percaya aku akan memakainya.
“Sudah tiba mas.” Suara sopir membuyarkan lamunanku. Aku menengok keluar jendela melihat nama kantor tersebut. Setelah yakin aku lalu membayar ongkos taksi kemudian keluar dari taksi.
Aku berdiri sejenak sebelum menghampiri security yang tersenyum ramah.
“Selamat siang, mas. Ada yang bisa kami bantu?” sambutnya.
“Siang, pak. Saya ada panggilan wawancara..”
“Silahkan, mas. Langsung saja naik ke lantai dua, test wawancara disana.”
“Makasih, pak..”
Aku bergegas naik ke lantai dua menggunakan lift.
Kupandangi orang-orang yang ada dalam lift. Aku menebak mereka tentu pegawai di perusahaan ini. Penampilan mereka keren-keren. Ada sesal dalam hatiku. Mengapa aku terlambat berpikir untuk mencari pekerjaan? Seandainya aku mengikuti saran ayah tentu aku tidak akan tertinggal seperti sekarang ini. Seandainya dulu aku kuliah…
Lift berhenti di lantai dua. Kupikir hanya aku seorang yang akan turun, ternyata semua yang ada dalam lift juga ikut bersamaku. Mungkin ruang kerja mereka di lantai dua, pikirku. Tapi aku mulai curiga ketika mereka berhenti di depan ruang test. Iseng-iseng aku bertanya pada salah seorang di antara mereka. Aku tertawa dalam hati, ternyata mereka sama sepertiku. Sama-sama memenuhi panggilan wawancara!
“Kalian yang ikut test wawancara?” tanya seorang bapak yang menghampiri kami.
“Iya, pak.”
Bapak tersebut lalu membuka pintu dan mempersilahkan kami masuk ke dalam ruangan. Tersedia beberapa kursi yang mengelilingi meja besar berukuran persegi panjang. Aku langsung duduk di deretan kursi dekat pintu. Tempat terdekat yang mudah aku jangkau.
Handphoneku bergetar dalam tas. Aku mengambil handphone dan memandang layar yang hanya berisi nomor. Siapa yang iseng menelponku saat kondisi genting sekarang ini? Aku malas menerimanya. Kuletakkan kembali dalam tas. Namun kembali benda kecil itu bergetar. Kali ini aku terpaksa menerimanya.
“Hallo..”
“Saudara Eky Firmawan?” aku tertegun demi mendengar suara yang sangat lembut dari seberang. Tak sadar aku mengangguk, aku lupa jika orang itu tak melihatku.
“Benar, saya Eky.”
“Saya teman mbak Lisa, mas Eky sekarang dimana?”
Mendengar dia menyebut nama kakakku, aku langsung teringat dengan ucapan kak Lisa jika temannya tengah menungguku di kantor ini.
“Saya lagi test wawancara, mbak.”
“Oh, syukurlah. Saya kira mas Eky batal hadir.” Kembali suara merdunya menggetarkan perasaanku.
“Baiklah mas Eky, silahkan mengikuti testnya, semoga mas Eky diterima bekerja di perusahaan ini.”
“Makasih, mbak.”
“Sama-sama.”
Pemilik suara lembut itu menutup telpon. Aku hanya bengong menatap layar hape yang kini redup. Aku memasukkannya kembali ke dalam tas. Beberapa saat menunggu aku hanya diam sambil melihat-lihat ruangan. Pintu kemudian terbuka lalu masuk seorang wanita yang membuatku tercengang. Kecantikannya seolah menghipnotisku. Aku yakin semua yang ada di dalam ruangan ini terpesona. Cantik luar biasa, mirip Aiswarya Ray.
Dia tersenyum lalu duduk di depan kami.
“Selamat siang, saudara-saudara. Terima kasih sudah memenuhi panggilan kami. Hari ini test wawancara. Sebelumnya saya cek dulu nama-namanya ya..” ucapnya seraya membuka map yang ada didepannya lalu mulai mengabsen kami satu persatu. Setelah mengabsen wanita cantik itu kemudian keluar dari ruangan. Nafasku serasa terhenti saat melihatnya melangkah. Ternyata benar-benar ada bidadari di dunia ini, batinku takjub.
Lalu bergiliran dari kami memasuki ruangan yang lain untuk test wawancara hingga tiba giliranku. Aku yang paling terakhir. Kesabaranku benar-benar tengah diuji. Aku membaca basmalah lalu beranjak berdiri. Sambil berjalan aku terus berdoa. Aku tertegun ketika masuk ke dalam ruangan. Aiswarya Rai yang tadi kutemui ternyata ada di dalam ruangan ini.
“Mas Eky, ya?” tegurnya sambil tersenyum, serasa kupu-kupu menari di atas kepalaku. Aku terhenyak, sadar telah terbawa lamunan. Aku harus fokus, fokus,fokus, batinku. Sekarang bukan saatnya terpesona, aku harus konsentrasi menjawab pertanyaan. Dengan isyarat tangan dia mempersilahkan aku masuk. Aku lalu duduk di kursi yang ada dihadapannya.
Wanita itu masih menunduk membaca berkas yang ada di atas meja. Aku terbuai lagi. Kupandangi wajahnya yang cantik. Sejenak aku lupa jika saat ini aku sedang mengikuti test wawancara. Namun kembali aku tersadar. Kutarik nafas lalu menghembuskannya perlahan. Lumayan untuk menenangkan diri.
Dua puluh menit mengikuti sesi tanya jawab, aku kemudian keluar. Aku bernafas lega, selama berada di dalam nafasku terasa sesak. Kurasa bukan pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan wanita itu yang membuatku gugup melainkan karena pesonanya yang nyaris mengganggu konsentrasi.
Hapeku berdering, aku menerimanya.
“Bagaimana testnya?” suara kak Lisa dari seberang terdengar penuh semangat.
“Baru saja selesai kak..”
“Kamu bisa menjawabnya kan?”
“Iya.”
“Sudah bertemu dengan teman kakak?”
“Belum, tadi teman kakak cuma nelpon.”
“Lho kok bisa? Tadi dia menelpon kakak, katanya sudah bertemu denganmu?”
“Sejak tiba di kantor ini, karyawan yang aku ajak bicara hanya tiga orang. Security, pegawai bapak-bapak, dan seorang lagi wanita yang cantik mirip Aiswarya Rai.”
“Nah, itu dia teman kakak. Aiswarya Rai itu! Kakak lupa memberitahu semalam jika wajahnya mirip Aiswarya Rai..”
Aku tak mendengar lagi suara kak Lisa dari seberang. Berita yang disampaikannya membuat lenganku lemah terkulai. Jadi bidadari cantik itu yang tadi menelponku! Suara dan wajahnya sama cantiknya!
“Halooooooo…. Ekyyyyyyy..” suara nyaring kak Lisa menyadarkanku jika dia masih menelpon.
“Iya, kak.”
“Kamu kenapa sih? Diajak bicara kok hilang?”
Aku tak menjawab hanya berdehem.
“Kata temanku, kita tunggu saja hasilnya. Bagaimanapun keputusan kamu diterima atau tidak berdasarkan nilai dari hasil testmu.”
“Iya, kak. Semoga aku diterima.” Kataku lalu melanjutkan dalam hati, aku bakal melihat si Aiswarya Rai setiap hari. Perasaanku kini berbunga-bunga. Apakah ini cinta ataukah hanya terpesona oleh kecantikannya?
*****
Namun perasaan berbunga-bunga itu kemudian mengendap dan tenggelam ke dasar bumi yang paling jauh.
“Namanya Calista. Dia sudah menikah dan anaknya dua. Suaminya direktur perusahaan.” Singkat, padat dan jelas jawaban dari kak Lisa ketika aku menanyakan tentang wanita cantik berwajah Aiswarya Rai.
Serasa tubuhku terlempar jauh ke samudra. Mengapa aku bisa lengah seperti ini? Sekarang aku tak boleh memikirkan wanita itu lagi. Aku memiliki mimpi yang nyata dan mimpiku bukan puing, aku berdiri membangun mimpi di atas mimpi. Seharusnya saat ini aku memikirkan diriku. Menata hidupku agar aku bisa menjadi manusia yang memiliki masa depan, bukan malah menghayalkan wanita yang sudah menikah.
***
Seminggu kemudian, aku menerima telpon yang mengabarkan jika aku diterima bekerja. Aku berteriak kegirangan. Kupeluk ibu lalu mengangkatnya, berputar-putar, kami menari bersama. Ibu hanya tertawa melihat tingkahku. Syukurlah akhirnya aku benar-benar diterima bekerja. Aku melakukan sujud syukur lalu mengunjungi makam ayah. Aku bersimpuh dan berdoa di makam ayah. Aku minta maaf karena selama hidupnya tak pernah membuatnya bahagia.
“Aku akan membuatmu tersenyum bahagia di alam sana ayah, jangan cemaskan ibu dan kak Lisa. Aku akan menjaga mereka. Percayalah, ayah akan bangga padaku.” Kataku sembari menyentuh nisan ayah, berharap ayah mendengarnya.
================================
Desa Rangkat adalah komunitas yang terbentuk berdasarkan kesamaan minat dalam dunia tulis menulis fiksi. Jika berkenan silahkan berkunjung, berkenalan, dan bermain peran dan fiksi bersama kami di Desa Rangkat
Manstaf Asih #Copas isilah Pak Edy
Makasih mbak Kim 🙂
ekyyyy.. eike jombloo lho…. hahahahahhahahaha :genit:
Sering nongol cik, ntar si Eky liat 🙂
Manstaf 🙂
makasih mas Edy 🙂
kerennn Asih…..daftar dimana bu,sdh ku cari ga nemu??…:(
nyari apanya mbak Ranti?
Makasih……….