‘Kampung Naga’ yang berada di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya menimbulkan anggapan pasti ada semacam legenda tentang naga penunggu kampung atau hal – hal semacam itu. Ternyata salah besar! Kampung Naga hanya kependekan nama. Alkisah kampung yang sederhana ini dikelilingi oleh perbukitan tebing tinggi. Dalam bahasa Sunda, tebing disebut ‘gawir.’ Nah, dikenal sebagai kampung yang dikelilingi oleh tebing, jadilah sebutan ‘kampung na’ gawir,..’ alias ‘kampung di tebing’ dipendekkan menjadi ‘Kampung Naga.’
Kampung Naga adalah citra penduduk Sunda peralihan Hindu ke Islam. Sejarahnya sedikit kabur karena pada masa lalu banyak dokumen di Kampung Naga terbakar ketika dibumi-hanguskan oleh pemberontakan DI/TII Kartosoewiryo tahun 1956. Hidup di antara keindahan alam parahyangan sangat memanjakan mata dan menentramkan jiwa. Banyak gunung, bukit, tebing, hutan dan sawah yang hijau mengelilingi. Kami disambut oleh pemandu lokal yang tak lain adalah salah satu penduduk dan kepala keluarga di Kampung Naga, namanya Mang Endut. Padahal orangnya nggak gendut lho! Rupanya waktu kecil, Mang Endut cukup gemuk makanya dijuluki demikian.
Kami diajak menyusuri tangga yang panjang menurun. Saat berjalan, mata sudah dimanjakan dengan indahnya alam dan hijau persawahan. Luar biasa! Jadi teringat komentar suami yang sedikit menyebalkan, “Halah, … mau liat sawah aja kok bangga sih! Saya menghabiskan masa kecil di desa, pernah juga kaki saya berlumpur karena nyemplung sawah untuk menanam padi.” Saya cuma melirik sebal dan dalam hati bergumam, ‘Ternyata dia lebih sangat ndeso daripada saya!..’ Bodo’ amatlah, sekarang saatnya kembali menyelami kehidupan desa!
jalan menuju kampungSetelah melalui persawahan kira – kira sepanjang tiga puluh meter, kami mulai tiba di perkampungan. Di sebelah kanan ada sungai yang cukup besar yaitu sungai Ciwulan dengan bebatuan sungai yang bertonjolan disana – sini, mirip area rafting. Saya suka sungai semacam ini dan ingin sekali coba berjalan di antara batu – batu sambil melompat menyebrangi sungai. Tapi kalau nyuci engga mau, nanti saya dikira Eva Arnaz lagi shooting pelem thn 80-an! Ha-ha! Namun ternyata dilarang, diberitahukan bahwa sungai tersebut cukup dalam dan deras. Berjalan melalui batu itu licin dan jika terpeleset terpelanting masuk sungai serta terbawa arus, siap – siap saja jadi bahan pemberitaan di detik. Ups! He-he, alam ternyata harus sangat dikenali, tidak boleh sembarang dijelajahi tanpa pengetahuan yang memadai.
Masuk perumahan di kanan – kiri ada kandang kambing dan tempat menumbuk padi. Lucunya semua terletak di tepian semacam empang atau kolam ikan. Dan ikan yang berenang di dalam kolam, gede – gede banget sebesar lengannya ‘The Rock’, Hollywood Star yang badannya guwede. Pokoknya ikannya super gede – gede! Selain itu, di tepian kolam juga banyak toilet bambu! Dapat Anda bayangkan? Semua ‘sisa’ dari kandang kambing, toilet bambu dan pondok menumbuk padi dialihkan langsung ke kolam tempat ikan – ikan besar itu berenang dengan leluasa. Jadi? Simpulkan sendiri daur makanan yang sedang terjadi. Tapi efisien sih!
Kami lalu mulai memasuki perkampungan yang sangat sederhana dan bersahaja. Penduduk Kampung Naga sama sekali tidak menggunakan listrik. Ada sekitar 100 kepala keluarga lebih dan jumlah penduduk sekitar 300 orang. Semuanya menolak menggunakan listrik, karena memang mempertahankan budaya adat yang sudah ada sejak turun temurun. Mereka mengerti tentang listrik, bahkan beberapa menggunakan handphone. Namun untuk memenuhi kebutuhan arus listrik mereka harus naik keluar kampung dan menggunakan sarana listrik yang ada diluar perkampungan.
Penduduk juga memelihara ayam didepan rumah dengan wadah keranjang bambu, gunanya sebagai tempat ayam bertelur dan mengeram, menetaskan anak – anak ayam. Tidak ada kandang. Hanya wadah bambu seperti keranjang itu yang digantung di depan rumah. Ayam akan terbang kesitu untuk bertelur dan nanti setelah menetas anak – anak ayam juga akan terbang turun dari keranjang bambu. Sungguh hal yang menarik! Sentuhan tradisional lain adalah sumber cahaya yang dimanfaatkan. Putri saya terpesona melihat lampu petromax dan lampu – lampu teplok bersumbu. Soalnya dia baru melihat bahwa ada lampu yang sangat terang dengan menggunakan seliter bahan bakar minyak. Cara menyalakannya dipompa dulu. Saatnya ngomel, “Tuh liat masih ada anak – anak yang belajar menggunakan lampu petromax. Kamu udah memiliki banyak gadget dan menggunakan aneka lampu listrik, belajarnya masih malas pula!” Byuh,…
Mang Endut menjelaskan tentang struktur kemasyarakatan Kampung Naga. Rupanya ada dua struktur yaitu struktur budaya dan struktur pemerintahan. Struktur pemerintahan sama seperti biasa ada keluarahan, RT dan RW. Yang menarik adalah struktur kemasyarakatan secara budaya. Pemimpin kampung disebut Kuncen, bertugas sebagai pemangku adat dan memimpin upacara adat dalam berziarah. Pemangku adat berikutnya disebut Punduh lebih bertugas mengurus masalah religi. Yang terakhir adalah Lebe yang bertugas mengurusi pemakaman jenazah dari awal sampai akhir sesuai dengan syariat Islam. Ketiga pemimpin budaya ini diteruskan turun – temurun kepada anak lelaki berikutnya, jadi berdasarkan garis keturunan.
kampung naga terlihat dari atasKami semua diundang masuk ke dalam rumah Mang Endut dan melihat – lihat suasana rumah yang sederhana dan menyenangkan. Mereka menggunakan perapian tradisional tungku yang harus ditiup dan menyetrika dengan menggunakan setrika arang, oye! Putri saya tercengang, seumur hidup belum tahu bahwa ada barang yang namanya setrika arang. Rasain! Hihi… Di dinding ada foto Kuncen, pemimpin kampung dimasa lalu yang telah tiada. Kebetulan adalah bapak mertua Mang Endut. Sementara saat ini Kuncen sudah digantikan oleh putranya. Mang Endut mengatakan bahwa banyak kaum muda yang keluar kampung, menempuh pendidikan tinggi dan tidak kembali lagi. Bahkan banyak masyarakat suku adat yang sama dengan penduduk Kampung Naga yang tinggal diluar kampung. Artinya mereka hidup modern dengan menggunakan listrik dan sebagainya. Namun pada masa – masa upacara adat tertentu semua berdatangan dan berkumpul ke Kampung Naga. Saat ini hanya ada tiga orang kaum muda yang tengah melanjutkan kuliah, dari tiga ratus orang penduduk Kampung Naga.
Rumah – rumah Kampung Naga beratapkan ijuk dan rumbia, kombinasi daun kelapa kering rumbia dan jalinan ijuk yang menggumpal hitam padat. Saya bertanya kepada Mang Endut, “Apakah tidak bocor?” Menurutnya tidak bocor karena semua air luruh jatuh ke bawah dan bahkan suara air hujan deras menimbulkan hasrat tidur yang nyenyak. Derasnya air yang menimpa atap mirip dengan suara air terjun. Wouw! Para mahasiswa yang membuat thesis tentang Kampung Naga diijinkan menginap dirumah penduduk, dengan catatan tidur lesehan di bagian depan rumah yang merangkap ruang tamu sederhana (tanpa kursi tamu). Dalam rumah Mang Endut semuanya serba lesehan, tidak ada sofa atau kursi – kursi yang nampak. Mahasiswa juga tidak diijinkan bermain gitar atau membuat keributan lain, karena kampung ini memelihara suasana yang tenang dan menjauhi modernisasi.
sungai ciwulanSelain dari bercocok tanam, memelihara hewan, penduduk Kampung Naga juga membuat kerajinan sederhana dari bambu. Ada piring anyam, telenan, topi kipas, dan beberapa alat musik seperti suling. Yang menarik adalah alat musik yang mampu menimbulkan bunyi seperti suara alam namanya Krinding. Dibuat dari bambu yang dikeringkan dan diproses selama tiga tahun. Instrumen ini kecil, mirip seruling pendek tetapi cara memainkannya agak mirip harmonika. Disentuhkan di bibir dan ditepuk – tepuk perlahan. Okay, harmonika nggak ditepuk ya? He-he! Bunyi yang dikeluarkan mirip flute tapi bersuara rendah dengan nada – nada yang sangat sederhana. Puas melihat – lihat rumah Mang Endut, beberapa dari kami berbelanja kerajinan. Sangat mengharukan bahwa masih ada masyarakat yang sungguh sederhana dan menolak modernisasi. Kehidupan mereka memang bersahaja, seputar sungai Ciwulan, sawah, ayam dan kambing. Sayangnya wilayah kampung ini tidak boleh diperluas. Hanya sebesar 1,5 hektar. Jadi hanya seluas itu saja yang boleh disebut Kampung Naga. Bagaimana, Anda tertarik menjadi penduduk kampung Naga?
foto – foto : doc. pri
Tertarik banget…., dan gak ada yang nanam buah naga juga ya Jeng?Keren…
hyuu kapan kapan janjian yuuu mba anita..lagi pengen ke pantai sawarna 🙂 engga ada buah naga, penduduk kampung naga kebanyakan nanam pagi 🙂