Etnis Cina akrab dengan kegetirannya. Ditolak halus di Indonesia. Hingga saudara kita itu berkeluh: “Apa salahku beretnis Tiong Hoa? Tanya ini telah memenuhi udara Indonesia, bak polusi bagi yang mendengarnya. Ini sebuah ketakutan istimewa yang buatan Cina-Indonesia. Ketakutan yang dipabrik oleh pemerintah Indonesia, rakyat jadi terbawa-bawa, teranjak-anjak, merasa di atas awan.
Hingga, saya sendiri pernah saksikan ketakutan tanpa alasan itu. Saat saya bermain bola di Karebosi, Makassar. Aku tackling Cina itu, keras dan kasar. Yang aneh, aku yang salah, gak fair, tapi dia yang meminta-minta maaf padaku. Yang aneh lagi, mulai dari keeper hingga striker memukuli saudaraku itu. Apa emang dia bukan manusia?
Babak belur dia, dan saya hanya melihat-lihatnya, karena ketakutanku disebut pro Cina. Setelah mereka puas akan kebuasannya kepada korban. Saya sempatkan sekali memegang tangan Cina itu. Aku bimbing untuk berdiri. sedang se-etnisnya sudah pada raib.
Kuhantar dia ke mobil mewahnya, kusetiri, kuhantar ke rumahnya. Ayah-ibunya kaget bukan kepalang, tapi mereka tersenyum padaku, dan memaki kecil putranya dalam bahasa Tiong Hoa.
Jiwa medisku terpanggil, kubalut lukanya, bahkan kuisap darahnya yang masih mengucur. Karena kupaham, air liur memiliki anti-toksik terhadap kemungkinan infeksius agar tak terjadi rubor atau dolor. istilah medis: panas dan bengkak.
Aku ngobrol ringan, ia mengeluh kesakitan, tapi bukan keluhan sakitnya yang terekam di telingaku. Ia menggerutu: “Ini nasib pendatang”. Nyaris berulang-ulang ia berkata seperti itu. Kutahu ia ingin tegaskan padaku akan nasibnya, pedihnya dan lirih hidupnya sebagai ‘pendatang’.
Kunasehati dia: “Kamu juga keliru sih, suka-suka bilang, pendatang, pendatang, pendatang… “
“Nakke (saya) memang pendatang, saya Cina…..”
“Emang bumi ini punya siapa? Punya Indonesia, Cina, Jerman atau Arab?”
Dia sepertinya bingung.
“Kita ini pendatang semua. Gak ada yang bukan pendatang di bumi ini, Tuhan hanya menyebar kita, di kulit bumi ini. daratan Cina milik kita bersama, Makassar ini milik kita bersama. Jadi jangan ego, jangan kelewat merasa memiliki suatu pulau, laut, daratan, langit, gunung”, kalamku.
Dia mulai tersenyum dan berjanji takkan pernah berkata ‘pendatang’ lagi…..
Karena saudara tak mengenal batas geografis, pendatang, penduduk asli dan etnik-etnik………
Hemmmmm
Mungkin sekarang ia berteriak, aku minirotas….!!!!, beda kan, Bung Armand?
hehehe…senada sama kisah temanku — kalo sama aku jangan bingung ya, krn aku bugis – cina, …papa bugis – mama cina seruuu kaannn..
Minoritas?
Hemmmmmmmm
Yang penting itu perbuatan baiknya yang ‘mayoritas”
Untuk Mbak Josephin
wah bisa bahasa bugis dong 😀