Kebahagiaan Sendiri Atau Berdua

Kebahagiaan Sendiri

Kebahagiaan Sendiri Atau Berdua

Kadang – kadang terlintas dalam benak saya bahwa tidak semua manusia ditakdirkan hidup berdua. Memang pada kenyataannya iya, ada orang yang tidak berpasangan hingga akhir hayatnya. Ada yang menikah ketika muda usia. Kembali pada takdir dan kisah hidup masing – masing orang. Tapi yang melandasi sebenarnya bukan sekedar masalah takdir. Saya pikir yang melandasi adalah ego. Tiap orang tingkat “ego”nya tidak sama. Ada yang luas, sangat luas dan lebar. Ada yang sempit, sangat sempit dan seuprit. Ego sangat berpengaruh pada pernikahan. Mau menikah dengan siapa saja tidak masalah, sepanjang mampu mengenali “ego” sendiri dan “ego” pasangannya.

Tingkat “ego” ini mempengaruhi kemampuan individu untuk membina hubungan dengan orang lain. Maka ada orang yang menikah namun seperti di dalam neraka. Bertengkar terus, saling teriak dan bersahut – sahutan. Burung Kukuk dan Perkutut aja kalah ramenya! Kerabat dan anak – anak yang ada di sekitar mereka mungkin berpikir untuk menyumbat telinga agar hidup terasa lebih tenang dan damai. Tapi kedua orang ini tetap saja saling tarik – urat karena telanjur sudah dipersatukan dalam pernikahan.

Yang lainnya berbeda lagi. Ada yang sama – sama pendiam dan acuh. Yang satu ke kanan dan yang lain ke kiri. Lalu masing – masing sibuk sendiri. Yang penting tidak mengganggu kesibukan yang lainnya. Sehingga tidak perlu ada perselisihan yang menguras emosi atau segala drama – drama lainnya. Namun disisi lain juga tidak ada keterikatan untuk mempertahankan pernikahan itu sendiri. Komunikasi jarang dan malas. Lama – lama hubungan keduanya dingin dan membeku. Tapi terpaksa masih bersama, karena telanjur ‘menikah.’

Sebelum menikah, tanyakan pertanyaan ini pada diri kita. Sebenarnya yang ingin menikah apakah diri sendiri, atau masyarakat atau keluarga besar masing – masing pasangan? Pernikahan seolah divonis sebagai satu episode kehidupan. Asalkan sudah selesai sekolah, memiliki pekerjaan, jangan sampai telat menikah yaaa,….nanti masuk angin! Atau entahlah alasan apa yang diajukan oleh segala norma sosial kemasyarakatan yang ada disekeliling kita. Berdasarkan itu, orang – orang lalu menikah.

Menikah itu benar – benar mengikis “ego”. Jika memungkinkan malah meniadakannya hingga tuntas menjadi nol. Jika mampu melakukannya, luar biasa! Saya kenal teman – teman lama yang pada masa remajanya cantik jelita. Kini ukurannya sudah double L, anak dua hingga lebih lagi. Rambut acak – acakan, bergaun daster pagi dan sore, keluar masuk dapur buka pintu oven dan menyalakan kompor another pagi dan sore. Terus dilakukannya demi suami, demi anak – anak dan tentu demi ikatan pernikahan atas nama kebahagiaan hidup berdua itu. Kalau memang bahagia, amin! Artinya ego diri sudah mampu ditaklukkan oleh keinginan hidup berpasangan itu dengan segala konsekwensinya. Jika tidak bahagia? Apakah menikah lalu diam – diam menjadi duri dalam daging? Lama – lama tumbuh penyakit? Hati – hati sebelum menikah. Mikirnya seratus kali atau tepatnya seratus ribu kali.

Baca juga :  Jangankan Membunuh Manusia, Membunuh Tuhan pun Dilakukan

Pernikahan tidak lagi hanya bicara cinta. Pernikahan akan bicara segalanya dari cinta, harta, nyawa, cita-cita dan segala rahasia yang tadinya tak terungkap. Pernikahan yang sudah berjalan lima belas tahun tidak lalu membuat saya merasa yakin bahwa, “Oh,.. saya sudah agak ‘mumpuni’ nih dalam pernikahan. Mungkin bisa memberi nasihat kepada orang lain.” Tidak juga! Setiap detik, setiap masa dari pernikahan itu adalah ujian yang terus – menerus. Seperti sekolah kehidupan yang tak pernah usai. Sebuah buku yang baru – baru ini saya baca (dan belum selesai). Mengungkapkan sebuah kenyataan pahit. Pernikahan bukanlah untuk membahagiakan namun justru menjadi ujian yang tak henti untuk menyempurnakan diri pada masing – masing pasangan. Ya, kalau yang tidak disukai adalah orang lain atau sekedar teman. Ketika rasa tak suka memuncak tak ada alasan untuk terus berdekatan. Nah, jika yang tidak disukai adalah pasangan alias suami atau istri sendiri apakah akan delcon?  Atau unfriend? Yang sedang trend sih, unmarried.

Perselisihan pertama saya dengan suami (ketika itu belum, tetapi akan …menjadi suami) adalah ketika saya ingin membeli CD rack kayu dengan hiasan bebek diatasnya. Menurut saya CD rack itu unik dan lucu. Tetapi menurut suami itu adalah pemborosan yang tak perlu, sehingga tidak seharusnya kami membeli CD rack semacam itu. Setiap kali pergi jalan dan meliwati toko yang kami maksudkan, saya selalu merengek karena ingin membelinya. Ketika itu saya berpikir, jika saja saya masih sendiri. Tidak perlu minta pendapat siapapun juga. Mau beli CD rack saja kok repot! Reseh bener! Tetapi karena menghormati pasangan, terpaksa beli CD rack saja rembugan. Akhirnya kami membeli yang sama persis dengan keinginan saya namun tanpa hiasan bebek diatasnya, sebagai jalan tengah! Alasannya, harga sedikit lebih murah. Benar – benar konyol. Tetapi begitulah, hingga hari ini pernikahan dibangun berdasarkan kompromi – kompromi besar dan kecil. Dimana saya dan pasangan sama – sama tidak bisa 100% memenuhi keinginan sendiri atau “ego” pribadi. Lha, namanya hidup berdua. Masakan hanya satu orang yang memaksakan kehendak? Yang lain lama – lama akan “makan hati.”…

Baca juga :  Hati Hati Scammer Indonesia Mengaku Pelaut

Jadi bagi yang masih belum menikah. Ya hati – hati saja, bisa jadi “makan hati” doang setiap hari. Bisa hati ampela atau sambel goreng hati. Pokoknya tidak bisa memaksakan kehendak 100%! Harus beradaptasi dengan keinginan atau keputusan pasangan. Lebih parah lagi jika sudah memiliki anak – anak. Akan lebih banyak ‘kepala’ yang memberikan pendapat. Pernah suatu ketika saya mengagumi sepatu gunung yang mirip boots dan sol dibawahnya bergerigi. Saya sedang berpikir sepatu itu terlihat kokoh nyaman untuk jalan jauh atau tracking. Saya ingin serius menjelajah alam dan mengambil foto – foto. Ini cita-cita mulia berasal dari mimpi seolah saya anggota komunitas National Geographic, padahal hanya ibu – ibu PKK setempat! Warnanya coklat gelap, model sepatu pencinta alam atau wanalana seperti itu. Yang saya tanyakan adalah pendapat suami, apakah sepatu semacam itu kuat dan awet. Tiba – tiba saja putri saya nyletuk, “Ih, … Mami sudah nggak pantas pakai sepatu kayak gitu! Bergaya,…kayak anak gunung aja!”… Saya lalu tertegun, cemberut dan sewot. Jadi seperti tradisi lama, kalau mami – mami harus pakai daster yang kayak karung goni, rambut rol – rolan dan salonpas di jidat? Jyaaaaaahhh…. Masih ingin menikah? Syukurlah, …manusia tak jadi punah spesiesnya!

foto: www.goodreads.com

Responses (2)

  1. Katanya menikah itu dua jiwa jadi satu, tapi kok susah ya menyatunya biar bisa seiring dan sekata hhehe

    1. sampe aki nini namanya manusia ya, dua kepala…cara mikirnya tetep butuh banyak kompromi seumur hidup…bedanya ada yang cepat menyerah, ada yg lama – lama menyerah, ada yg belum apa – apa menyerah…ada yang sampe mati ya sudah pasrah terima nasib… hehehe http://ketikketik.com/wp-content/plugins/wp-monalisa/icons/wpml_scratch.gif

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *