
Siang ini tak seperti biasanya. Mendung menggantung di atas sana. Seakan tahu hatiku yang sedang murung. Kang Asep masih disampingku, masih menggenggam jemariku.
“Di…jangan begitu ah! Aku pergi nggak akan lama. Seperti biasa, paling cuma beberapa hari,” kang Asep meyakinkanku.
“Iya. Nggak pa-pa, Kang,” jawabku tak bergeming. Sedari tadi ku sandarkan kepalaku di pelukannya. “Aku cuma masih kangen aja.”
“Besok lah, sepulangku dari Jakarta kita puasin jalan-jalan.”
Aku hanya mengangguk.
“Mau berangkat jam berapa?” tanyaku sambil mengangkat kepalaku dari dada bidangnya.
“Nanti malem, nunggu Wawan menjemput,” jawabnya sambil menatap mataku. Kami beradu pandang. “Aku sayang kamu, Di,” katanya sambil mengecup keningku.
Aku tak menolak. Kembali kusandarkan kepalaku di dadanya.
“Hati-hati ya, Kang!” Kupeluk dia erat-erat, tak rela melepasnya.
“Kamu ini kenapa? Tak biasanya memelukku seperti ini?”
“Emang nggak boleh?” Aku balik bertanya. Kulepaskan pelukanku.
Dia ambil kopi cangkir yang kusediakan dari tadi dan diteguknya sampai habis.
“Aku pulang dulu ya? Mau siap-siap.”
“Ntar dulu!” Ku merajuk.
“Oke…,” senyumnya mengembang. Senyum yang selalu membayangi setiap gerak langkahku. “Kamu ini aneh. Biasanya aku mau pergi nggak manja-manja gitu banget,” katanya sambil mengacak rambutku.
Aku hanya mengangkat bahuku.
Tak terasa kami ngobrol begitu lama hingga jam berdentang tiga kali. Jam 3 sore.
“Aku pulang dulu ya?” sekali lagi kang Asep berpamitan.
“He-eh. Hati-hati ya, Kang!”
“Pasti lah. Jaga diri,” katanya sambil berjalan menuju pintu depan.
“Ntar kalo mau berangkat, telfon ya?”
“Beres, diajeng.”
Kutatap punggung kang Asep hingga sampai di balik pagar. Dia lambaikan tangannya sebelum akhirnya benar-benar berlalu dari pandanganku dengan sepeda motornya. Aku kembali duduk di tempat dudukku tadi. Entah kenapa aku seperti orang linglung.
Dia adalah kekasih terkalem yang pernah aku punya. Orangnya sopan, bersahaja, tidak neko-neko. Kalau dibilang tajir, enggak juga. Dia ‘punya’ karena kerja keras. Setahuku, dia punya showroom jual beli motor bekas. Dan kelihatannya usahanya cukup bagus. Saat ini pun, dia pamit ke Jakarta untuk mencari motor dagangan. Sudah biasa dia lakukan.
Aku sangat mencintainya. Dan sangat bisa kurasakan bahwa dia juga mencintaiku. Angan-angan untuk menikah dengannya sering melintas, tapi belum untuk waktu dekat. Aku masih harus menyelesaikan kuliahku.
Seakan tersentak dari lamunan, ku bergegas masuk ke dalam rumah, membawa cangkir kopi kosong.
***
“Aku rindu, setengah mati kepadamu, sungguh kuingin kau tahu…aku…” hp ku berdering keras sekali, membangunkanku yang masih terlelap. Huuuh! Sapa sih, pagi-pagi gini nelpon, batinku.
“Halooo,” kuangkat hp dengan malas tanpa melihat nomor di layarnya.
“Kang Asep ditangkap polisi,” suara di seberang sana mengagetkanku. Spontan ku terduduk. Mata yang sedari tadi lengket, kini membelalak. Jantungku serasa mau copot.
“Halo! Siapa ini? Kang Asep kenapa?” tanyaku masih tidak percaya dengan pendengaranku. Aku merasa asing dengan suara itu.
“Kang Asep ditangkap polisi.”
“Dimana? Kenapa?” tanyaku setengah berteriak.
“Di Poltabes Denpasar. Kamu segera kesana!”
“Ini sia…”
Tut…tut…tut…
Belum selesai pertanyaanku, sambungan sudah putus. Aku masih terbengong-bengong. Ada apa kang Asep? Kenapa di Denpasar? Bukankah kemarin lusa pamit ke Jakarta? Keringat dingin membasahi tubuhku. Jantungku serasa berdegup lebih kencang.
Kucoba menelpon balik nomor tadi, tapi nihil, selalu dijawab dengan ‘telepon yang anda tuju sedang tidak aktif atau sedang berada di luar jangkauan, cobalah beberapa saat lagi’.
Kucoba telpon nomor kang Asep. Jawaban yang sama. Kucoba nomor Wawan. Sama juga. Seketika, ketakutan yang luar biasa menyergapku. Aku bingung, campur takut, campur…apalah namanya tak bisa kusebutkan. Aku harus bertanya pada siapa lagi? Kucoba telpon nomor Ujang, adik kang Asep. Jawabannya sama juga, tidak bisa dihubungi. Aduh, aku harus gimana? Berangkat ke Denpasar? Aku belum pernah kesana. Tapi aku harus segera bertindak untuk tahu hal yang sebenarnya. Kulihat jam dinding, masih jam 6 lewat.
Tidak sampai satu jam aku sudah siap untuk berangkat. Nekat.
Aku pamit pada bu kos akan pergi keluar kota untuk beberapa hari.
Segera kupacu motorku menuju Bandara Juanda. Berharap dapat tiket ke Denpasar sesegera mungkin. Dan, syukur, ada penerbangan ke Denpasar satu jam lagi.
***
Keluar Bandara Ngurah Rai tepat jam sebelas. Dengan taksi aku menuju Poltabes Denpasar.
Ku terdiam. Pikiranku kalut tak karuan. Tak sempat kuperhatikan pemandangan di sepanjang jalan. Beribu tanya berkecamuk di otakku. Apa yang akan kuhadapi di sana nanti?
Sampai di Poltabes, dengan ragu-ragu, bingung, tapi harus kulakukan, kulangkahkan kakiku menuju pos jaga. Ada dua orang petugas di sana.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya salah satu polisi yang masih muda.
“E…anu…e…saya mau tanya,” seketika aku menjadi gagap. Tak biasa menghadapi polisi.
“Tanya apa, Mbak?”
“Apa ada tahanan bernama Asep Dinata?”
Seketika dua orang tersebut berubah sikap. Yang semula ramah, kini terlihat agak tegang.
“Sebentar ya,” jawab polisi satunya. Diangkatnya telepon di samping mejanya. Terdengar dia memberitahu kedatangan saya. Lalu berbalik kepadaku. “Silahkan ke ruang Kasat Reskrim di lantai dua gedung tengah itu,” katanya sambil menunjuk gedung berlantai tiga di sebelah selatan pos jaga. “Anda ditunggu bapak I Gusti Danarjati.”
“Terima kasih,” jawabku sambil berbalik, berjalan menuju gedung yang dia tunjuk tadi. Kenapa ke Kasat Reskrim? Kejahatan apa yang sudah dilakukan kang Asep? Ah, nggak tau lah! Aku bingung sendiri dengan pikiranku. Rasa yang kurasakan tidak karuan.
Sampai di depan ruang Kasat Reskrim, aku masih celingukan. Ternyata sudah ada dua orang petugas yang menyambutku.
“Silahkan masuk, anda sudah ditunggu pak Gusti,” kata seorang petugas di meja dekat pintu.
Tanpa menjawab aku masuk ke ruangan itu. Setelah dipersilahkan, aku duduk di depan pak Gusti. Setelah basa basi menanyakan nama, tempat tinggal dan identitasku yang lain, dia menanyakan hubunganku dengan kang Asep. Dia tanyakan juga tentang kegiatan kang Asep sehari-hari. Setelah kujawab sesuai yang kutahu, di sodorkannya sebuah foto kepadaku.
“Apa Asep ini yang anda cari?”
“Betul,” jawabku singkat. “Ada apa dengannya?” aku ganti bertanya.
Pak Gusti manggut-manggut sambil tersenyum kecut, seakan mengejekku.
“Dia kami tangkap kemarin dini hari di pelabuhan Gilimanuk bersama 6 orang rekannya.”
“Atas tuduhan apa?” aku semakin penasaran.
“Jadi anda sama sekali tidak tahu siapa kekasih anda itu?”
“Maksudnya?” aku mengernyitkan dahiku.
Dia sodorkan sebuah surat penangkapan atas Asep Dinata alias Budi alias Hartono alias Hermanto alias Winata dengan tuduhan pasal 365 KUHP yaitu pencurian dengan kekerasan ….bla…bla…bla….
Aku terkesiap membaca surat itu. Tidak mungkin! Mana mungkin kang Asep yang kalem itu melakukan semua itu? Bahkan membunuh nyamuk pun seakan dia tak mampu.
“Dia, Asep Dinata dengan banyak nama alias itu sudah 10 tahun ini menjadi buronan seluruh Polda se-Jawa-Bali. Media menyebutnya ‘raja rampok’. Dia pimpinan perampok kelas kakap negeri ini,” pak Gusti mulai menjelaskan.
Aku terdiam, tak mampu berucap. Jangankan untuk bergerak, untuk sekedar mengedipkan mata pun, aku tak sanggup.
“10 tahun yang lalu, dia melakukan perampokan bersenjata api pada seorang nasabah bank di tol Jagorawi, dan berhasil membawa uang 1 M dengan korban meninggal sebanyak 4 orang. Sejak saat itu dia menjadi buronan polisi. Namun dia tidak peduli. Dia tetap melakukan aksinya di kota-kota lain di pulau Jawa dengan modus operandi perampokan nasabah bank, toko emas dan permata, dan pencurian sepeda motor. Nama aslinya Asep Dinata. Tapi di Jakarta dia bernama Budi, di Jogja – Tono, di Semarang – Hermanto, di Surabaya – Asep.”
Pak Gusti menghela nafas sebentar. Begitu banyak yang ingin kutanyakan, tapi tercekat di tenggorokan. Lidahku kelu. Otakku beku. Seakan membaca pikiranku, pak Gusti meneruskan penjelasannya.
“Dia ditangkap disini karena sebulan yang lalu melakukan perampokan seorang nasabah bank dan berhasil membawa uang sebanyak 150 juta rupiah. Korbannya 2 orang, suami istri. Yang wanita meninggal, yang pria cacat seumur hidup. Semua akibat senjata api. TKP ada di tengah kota Denpasar, di jalan Semangka. Dia beraksi bersama 3 orang temannya dengan naik sepeda motor.”
Aku semakin tak mampu bergerak. Terhenyak oleh cerita pak Gusti. Tapi apakah memang benar begitu? Aku harus bertemu kang Asep sendiri.
“Bisakah saya bertemu dengannya?” akhirnya keluar juga kata-kataku.
“Tunggu sebentar ya! Kita tunggu pihak keluarga Asep yang akan ikut mengidentifikasi jenazahnya. Kita berangkat bersama-sama,” kata pak Gusti lebih mengagetkanku lagi.
“Je…na…zah…???” spontan mataku membelalak dan setengah berteriak.
“Dia terpaksa kami tembak karena berusaha melarikan diri, dan meninggal dalam perjalanan kembali.”
Mengapa, Kang? Mengapa? Teganyakau lakukan ini padaku? Mengapa Kang? Mengapa? Hanya itu tanya yang terus berputar-putar di otakku. Hatiku, entah apa rasanya. Akhirnya, tumpahlah air mata yang sedari tadi kutahan. Aku tak sanggup menguasai diriku lagi. Tiba-tiba gelap menyelubungi seluruh pandanganku. Tubuhku limbung, dan aku tak tahu apa-apa lagi.
***