Kekasihku ternyata…(part 2)

riau24.com
riau24.com

Suasana malam ini sangat lengang. Teman-teman kos yang baru aja buyar nonton tivi di rumah induk langsung menuju ke kamar masing-masing. Tak ketinggalan, aku pun melakukan hal yang sama. Kurebahkan tubuhku di atas kasur yang berukuran pas dengan diriku. Pandanganku menerawang, mengingat kembali kejadian seminggu yang lalu. Tak kusangka, kang Asep yang begitu santun harus tewas karena timah panas polisi. Ada 4 luka tembak di tubuhnya. Satu di betis kanan, satu lagi di lengan kiri, sedangkan dua yang paling fatal menembus dadanya. Aku tak habis pikir. Aku sendiri seperti orang linglung, tak mengerti juga dengan yang aku rasakan. Antara sedih, kecewa, penasaran, semua bercampur menjadi satu. Baru hari ini aku beranikan diri keluar kamar, bercengkerama dengan teman-teman. Tapi tetap saja aku tak bisa menyembunyikan duka di hatiku. Ketika ada teman melucu pun aku belum bisa tertawa lepas. Masih terbayang semua kenangan indah bersama kang Asep. Semua masih jelas tergambar. Bahkan semakin jelas saat kupejamkan mata. Dan, seminggu ini mimpi buruk selalu menyelimuti resah tidurku. Hati dan raga ini seakan masih kaget dengan kepergiannya.  Ingin sekali aku tertidur lelap tanpa perasaan was-was seolah semua kejadian tentang kang Asep baru saja terjadi.

Ketika kesadaranku hampir saja hilang, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarku.

“Di…ini ibu. Buka pintunya,” suara bu kost membuatku terbangun.

“Ya, Bu,” jawabku malas. Aku beranjak dari tempat tidur menuju pintu. Tanpa perlu mengintip lewat jendela, langsung saja kubuka pintu dan alangkah terkejutnya aku. Betapa tubuhku gemetar luar biasa. Dadaku berdegup dengan kencang, melihat 4 orang pria bertubuh kekar dengan senjata laras panjang di tangan mereka masing-masing. “A….ada apa ini?” tanyaku terbata.

“Mereka ingin menggeledah rumah ini, terutama kamarmu,” jawab bu Kos dengan suara bergetar.

“Kami dari satreskrim Polda Bali membawa surat penggeledahan atas tempat tinggal saudari Diah Pitaloka dengan alamat disini,” kata seorang pria yang berdiri disamping bu kos sambil menyodorkan sebuah surat. Kelihatannya dia adalah pemimpinnya.

Baca juga :  Tak Bosan

Tanpa kubaca, ku terima saja surat itu. Pasti ini ada hubungannya dengan kang Asep, kataku dalam hati. Sekilas kulihat beberapa teman kosku bergerombol di kamar seberang. Mereka saling berbisik dengan pandangan nyinyir terhadapku.

Aku merasa tubuhku sedikit limbung. Dan tanpa kata-kata, aku menggeser tubuhku dari tempatku berdiri untuk mempersilahkan mereka masuk ke kamarku.

“Anda disini menyewa 2 kamar?” tanya pria yang lain lagi.

“Iya. Ada di sebelah,” jawabku sambil menunjuk kamar sebelah. Memang, disini aku menyewa dua kamar, satu untuk tidur, satu lagi aku gunakan sebagai ruang belajar. Aku tidak suka tidur dengan melihat tumpukan buku dan kertas di sekelilingku. “Masuk saja, tidak saya kunci.”

Dua orang dari pria-pria itu keluar dari kamarku menuju ruang belajarku. Aku menggamit lengan bu kos mengajaknya pindah tempat, berdiri di antara kedua kamarku. Kubiarkan mereka mengobrak-abrik kedua ruangan itu. Walau aku merasa lemas, tapi pandanganku lekat memperhatikan apa saja yang mereka perbuat. Mereka buka semua laci meja, lemari baju, tas, bahkan buku-buku pun dibolak-balik dengan tujuan yang tak kumengerti. Tak luput, mereka periksa kolong meja dan tempat tidur. Sukses  mereka memporakporandakan kamarku yang selalu kujaga rapi.

Akhirnya, seorang di antara mereka keluar dari ruang belajarku dengan menenteng sebuah ransel hitam. Deg! Jantungku seketika berhenti. Itu ransel kang Asep yang dititpkan padaku sebulan yang lalu. Aku tak pernah tahu apa isinya karena memang aku tak pernah membukanya.

“Apa ini ransel anda?”

Aku tak segera menjawab. “Bukan,” jawabku lirih.

“Ransel siapa?”

“Kang Asep,” aku merasa mataku mulai berkaca-kaca.

“Mari kita lihat apa isinya.”

“Di ruang tengah saja.” Bu kos mempersilahkan mereka untuk menuju ruang tengah di rumah induk.

Akhirnya kami semua berjalan beriringan. Aku masih bungkam, tak tahu harus berkata apa. Menanyakan identitas merekapun aku tak sanggup.

Baca juga :  Hasrat

Ransel itu diletakkan di atas meja. Aku dan bu kos berdiri dekat meja sambil memperhatikan ransel itu dibuka.

Satu persatu, isinya dikeluarkan. Alangkah terkejutnya aku setelah tahu apa isi ransel itu. Sepuluh buah magazin dengan peluru penuh. Dua box peluru. Satu pistol revolver dengan gagang yang berukir huruf A. Beberapa lembar catatan yang aku tak jelas apa isinya. Semua barang itu diletakkan berjajar di atas meja.

Aku bahkan seperti patung, tak mampu bergerak. Bu kos merangkulku dengan erat. Setengah berbisik dia berkata, “Aku tidak yakin kamu mampu melakukan ini, Di.” Terdengar dia sesenggukan tak kuasa menahan tangis.

Sejurus kemudian, seorang lagi meletakkan handphone-ku di atas meja. Juga buku diaryku.

“Saudari Diah Pitaloka, benda-benda ini sudah cukup dijadikan sebagai barang bukti untuk membawa anda bersama kami. Anda kami tangkap sebagai kaki tangan Asep Dinata.”

Aku tak menjawab. Bu kos menangis semakin keras. “Tidak, Di…kamu tidak melakukan apa-apa kan?” Dia memelukku semakin erat.

“Tidak, Bu.” Hanya itu yang terucap lirih sebelum akhirnya aku pasrah digelandang para polisi itu.

Setelah mengambil beberapa pakaian ganti, aku digiring keluar rumah. Teman-teman yang menyaksikan kejadian ini pun tak mampu berkata-kata.

Aku semakin tak mengerti dengan apa yang aku rasakan. Otak dan hatiku kosong, tak mampu berpikir ataupun merasakan apapun. Airmata yang tadi sempat menggantung, kini lenyap. Untuk menangis pun aku sudah tak mampu. Kang Asep, mengapa aku harus ikut menanggung semua ini? Tak cukupkah dengan sakit karena kehilangan dirimu? Apakah ini buah dari cintaku padamu?

Aku pasrah dengan apa yang menimpa diriku. Semua kejadian ini pasti sudah tersurat dalam lembaran rencana Tuhan untukku. Dan siapa yang kuasa untuk menolak kehendak-Nya? Aku hanya yakin, bahwa Dia tak akan memberikan beban yang melebihi kemampuanku.

 ***

Respon (2)

    1. gak perlu sedih…semua orang punya jatah soal ujiannya masing-masing kan…???
      makasih mas Jansori.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *