Gaya  

Kekerasan Agama

Indonesia memiliki keunikan, corak, kadang paradoksal. Yang anjurkan dilarang merokok, eh malah perokok sejati. Yang anjurkan untuk diet, walah yang mengatakan itu justru orang gendut. Nyuruh anaknya sholat, lha ayah itu sendiri gak sholat-sholat. Suami buat aturan agar istrinya gak boros dalam berbelanja, harus hemat, gak boleh sembarang beli. Dan suami ketika beli asesoris mobil, lalu dia jawab: Ini hobi. Sama aja. Apa itu bukan pemborosan?

Dan soal kekerasan atas nama agama di tanah air, belum juga reda sempurna. Letupannya siap-siap menganga, menghajar dan memborbardir susunan tata surya sosial. Aktifitas violensi ini. lalu mendapat banyak penilaian.

Dan ada orang cerdas itu, atau mengaku bijaksana, memberi komentar atas tindak-tanduk pemeluk agama. Atas namakan agama untuk agresif, atas nama Tuhan untuk mencabik-cabik tempat maksiat, rumah ibadah dan komplek pelacuran. Dan jerih payah pemeluk agama seperti ini justru mendapat kecaman dari masyarakat. termasuk orang cerdas itu.

“Saya sungguh heran, mengapa ada saja pemeluk agama senang menghancurkan fasilitas sosial, memakai atribut agama dan Tuhan. Apa orang-orang ini tak punya otak? Apa orang ini sudah pada gila? Apa orang ini tidak waras? Apa orang ini bermental binatang semisal babi, anjing dan serigala? Kalau memang mereka pemberani, kita head to head, satu lawan satu, jangan main massa, main borongan. Pemeluk agama sialan. Semoga Tuhan mengazabmu dan go to hell”.

Hancur sudah pranata budaya? Kenapa? Lha orang waras aja ngomongnya seperti ini. Katanya gak punya otak. Trus apa bedanya dengan komentar orang cerdas ini dengan pelaku anarkis? Sama-sama menggunakan nama agama dan Tuhan. Demi Tuhan, mereka ini sama saja. Gendheng dan gak beres. Sama aja, bukan? Loh kok penulis pun ikut-ikut berkata kasar!!!

Respon (2)

  1. Ketika Dalai Lama ditanya harus memilih atara agama dan belas kasih, maka Dalai Lama memilih belas kasih

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *