Kerusuhan 12-14 Mei 1998: Perspektif Fadli Zon

Menurut Fadli Zon, Direktur Eksekutif IPS (Institute for Policy Studies), Prabowo Subianto tidak bersalah atas kerusuhan 12-14 Mei 1998. Ia menjelaskan bahwa sebagai Pangkostrad, Prabowo tidak memiliki wewenang komando langsung. Dalam struktur komando, jika diperlukan, Pangkostrad harus menyerahkan pasukan cadangan kepada Kodam Jaya atau Kepolisian. Dengan demikian, garis komando berada di tangan Pangdam dan Polda, sementara yang tertinggi adalah Panglima ABRI. Posisi Kasad, Komandan Marinir, Kopassus, atau Kostrad tidak memungkinkan mereka memberi komando langsung.

Dalam sebuah konferensi pers, Fadli Zon menyatakan bahwa bantuan dari Kostrad hanya dapat dilakukan melalui Kodam. Pada saat kejadian, kendali berada di tangan Kepolisian. Namun, Fadli menyoroti hal yang menurutnya menarik: pada saat yang sangat kritis, Kepolisian justru menarik seratus kompi pasukannya. Padahal, keberadaan mereka sangat penting untuk mengamankan instalasi vital dan fasilitas lainnya. “Hal seperti inilah yang perlu dijernihkan oleh Kapolda Hamami Nata. Termasuk mengapa pada tanggal 14 Mei, Wiranto justru bersikeras membawa para jenderal ke Malang,” ujar Fadli.

Fadli juga menguraikan kronologi peristiwa yang memicu kerusuhan. Pada 12 Mei, terjadi penembakan mahasiswa di Kampus Trisakti. Malam harinya, kemarahan mulai menyebar. Pada 13 Mei, upacara pemakaman disusul dengan kerusuhan dan pembakaran di sekitar Kampus Trisakti, Grogol. Berdasarkan rangkaian peristiwa tersebut, Fadli menilai bahwa puncak kerusuhan pada 14 Mei sudah dapat diperkirakan sebelumnya. Namun, di saat situasi memanas, sejumlah pejabat militer malah menghadiri upacara seremonial peresmian Pasukan Pemukul Reaksi Cepat di Malang.

Menurut Fadli, Prabowo sempat menelepon Wiranto delapan kali untuk meminta acara tersebut ditunda. Namun, Wiranto bersikeras agar acara tetap berjalan. Selain Panglima TNI, pejabat yang pergi ke Malang termasuk Kasad, Pangkostrad, dan Danjen Kopassus. “Akibatnya, Jakarta sempat kosong dari kehadiran para petinggi militer. Sampai sekarang, hal ini tidak pernah dijelaskan dengan baik. TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) pun tidak mempertanyakan hal tersebut dan malah terkesan memojokkan Prabowo,” kata Fadli.

Baca juga :  Inilah Prabowo

Fadli juga menyinggung Buku Putih Prabowo sebagai upaya untuk meluruskan kesalahpahaman. Menurutnya, Prabowo telah menjadi target kambing hitam atas kesalahan-kesalahan institusional maupun individu di TNI. “Prabowo telah diperlakukan seperti keranjang sampah untuk menampung semua kesalahan. Ini adalah pembunuhan karakter yang harus diluruskan,” tegasnya.

Dalam pandangan Fadli, Prabowo sepenuhnya bersih dari tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Ia menyebut tuduhan-tuduhan tersebut sebagai fitnah dan upaya sistematis untuk menjatuhkan Prabowo. “Saya tahu saya melawan arus besar, tetapi saya yakin bangsa ini tidak akan maju jika tidak berani menghadapi kebenaran,” pungkas Fadli Zon.

Prabowo Berusaha Kembali Berperan di Pentas Politik

Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Mulyana W. Kusumah, mengungkapkan kepada pers bahwa mantan Pangkostrad Prabowo Subianto secara diam-diam telah membangun jaringan komunikasi politik dengan sejumlah tokoh penting di Indonesia, termasuk Ketua MPR Amien Rais dan Presiden Abdurrahman Wahid.

Mulyana menegaskan, meskipun Prabowo menjalin kontak dengan tokoh-tokoh tersebut, tidak ada jaminan bahwa hubungan ini akan meredakan tuntutan masyarakat terkait kasus penculikan dan kerusuhan Mei yang diduga melibatkan dirinya. Ia menambahkan, masyarakat masih menempatkan Prabowo dalam daftar orang yang harus diperiksa terkait kasus-kasus tersebut. Namun, pertemuannya dengan Amien Rais dan Gus Dur setidaknya dapat memberi perlindungan terhadap serangan publik yang mungkin datang. Apalagi, pertemuan tersebut sudah berlangsung beberapa kali, dan dampak politik dari relasi dengan para tokoh tersebut semakin menguat.

Baca juga :  Kerusuhan dan Pergolakan Mei 1998

Menurut analisis Mulyana, pertemuan tersebut tidak hanya menunjukkan perhatian Prabowo terhadap situasi politik di Indonesia, tetapi juga sebagai langkah untuk memuluskan niatnya kembali terlibat dalam kancah politik.

Mulyana berpendapat, pertemuan itu menggambarkan bahwa komunikasi politik Prabowo dengan elit politik nasional tetap terjalin dengan baik. Hal ini sekaligus mengoreksi pandangan yang mengatakan bahwa karier politik Prabowo akan terkubur setelah dirinya disisihkan oleh pemerintah Presiden Habibie.

Dari perspektif politik, Mulyana melihat pertemuan tersebut sebagai upaya Prabowo untuk memperbaiki citra dirinya di mata masyarakat. Meskipun ia terkait dengan kekuatan politik era Orde Baru, pertemuan tersebut menunjukkan bahwa Prabowo berusaha mendapatkan kembali penerimaan dari publik Indonesia.

Namun, Mulyana juga mengingatkan bahwa jalan Prabowo tidak akan mudah. Masyarakat mungkin belum sepenuhnya menerima kembalinya Prabowo, terutama terkait dengan berbagai kasus yang masih membelitnya. Setidaknya, Prabowo masih harus dimintai keterangan mengenai kasus-kasus penculikan yang melibatkan dirinya, ungkap Mulyana.

Sumber :

“Buku Putih” Prabowo [Kesaksian Tragedi Mei 1998]
Penerbit Majalah Berita Populer “TOTALITAS”, Cipayung, Ciputat, Tangerang. Dikutip dari Majalah Asiaweek edisi 3 Maret 2000.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *