Kerusuhan dan Pergolakan Mei 1998

Awal Tragedi

Drama dimulai pada Selasa, 12 Mei 1998, ketika Prabowo Subianto menerima kabar duka. Beberapa mahasiswa Universitas Trisakti tertembak mati dalam demonstrasi. Reaksi awal Prabowo adalah menyalahkan pasukan keamanan. “Kadang-kadang polisi dan prajurit kami begitu tidak profesional. Ya Tuhan, ini konyol. Itulah yang pertama kali saya pikirkan,” katanya.

Menyadari situasi darurat, Prabowo segera menuju Markas Kostrad di Lapangan Merdeka. Sebagai Pangkostrad, ia bertugas menyiagakan pasukan dan peralatan. “Pasukan saya selalu berada di bawah kendali operasional komandan garnisun. Kapasitas saya hanya sebagai penasihat. Saya tidak memiliki wewenang langsung,” jelasnya. Setelah bekerja hingga larut malam, ia pulang ke rumah namun kembali ke Markas Kostrad keesokan paginya, 13 Mei.

Saat itu, kerusuhan meluas dengan penjarahan dan pembakaran di banyak tempat. Sepanjang hari, Prabowo berusaha mengatur pergerakan batalyon-batalyonnya. Kekhawatiran lain muncul: Wiranto, Panglima ABRI, dijadwalkan memimpin upacara angkatan darat di Malang, 650 km dari Jakarta. Prabowo berulang kali mencoba membujuk Wiranto untuk membatalkan acara tersebut. “Delapan kali saya menelepon kantornya, namun jawabannya tetap sama: upacara tetap dilaksanakan,” ungkapnya.

Baca juga :  Jokowi VS Prabowo

Ketegangan di Tengah Krisis

Pada malam 20 Mei, situasi politik semakin panas. Empat belas menteri mengundurkan diri dari kabinet, dan upaya Soeharto membentuk “Komite Reformasi” gagal karena penolakan tokoh-tokoh yang diundangnya.

Prabowo bertemu Habibie malam itu dan memperingatkannya: “Pak, kemungkinan besar, Pak Tua akan turun. Apakah Bapak sudah siap?” Habibie menjawab dengan keyakinan bahwa dirinya telah siap. Setelah itu, Prabowo menuju kediaman Soeharto di Cendana, berharap mendapat apresiasi atas keberhasilannya menjaga disiplin pasukan tanpa korban jiwa. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.

Di ruang keluarga Cendana, Prabowo menghadapi penghinaan. Putri bungsu Soeharto, Siti Hutami Endang Adiningsih, menudingnya sebagai pengkhianat. “Mamiek menunjuk saya hanya beberapa sentimeter dari hidung sambil berkata: ‘Pengkhianat! Jangan injakkan kakimu di rumah ini lagi!’” kenang Prabowo. Istrinya menangis, dan Prabowo pun meninggalkan rumah tersebut.

Pengunduran Diri Soeharto

Pada pagi 21 Mei 1998, pukul 09.05, Soeharto resmi mengundurkan diri setelah 32 tahun memimpin Indonesia. Pidato singkatnya disiarkan ke seluruh negeri. Meski telah dihina semalam sebelumnya, Prabowo tetap menghadiri upacara pelantikan Habibie sebagai bentuk dukungan moral kepada presiden baru.

Baca juga :  Menggugat KPU, Mengapa Meloloskan Prabowo?

Setelah Habibie mengucap sumpah, Wiranto berjanji akan melindungi Soeharto dan keluarganya. Prabowo ikut mengantar keluarga Soeharto kembali ke Cendana. Meski situasi di antara dirinya dan keluarga Soeharto tetap tegang, ia menegaskan bahwa tuduhan dirinya bersekongkol untuk menjatuhkan Soeharto tidak benar. “Saya memang bertemu Habibie, Gus Dur, Amien Rais, dan Buyung Nasution. Tapi kami hanya membahas cara terbaik meredakan kekerasan,” katanya.

Soeharto tidak memberikan tanggapan atas pernyataan-pernyataan Prabowo ketika dimintai konfirmasi oleh Asiaweek.

Akhir Sebuah Babak

Kerusuhan Mei 1998 dan pengunduran diri Soeharto menandai berakhirnya sebuah era. Prabowo, sebagai tokoh kunci dalam dinamika ini, menyaksikan langsung kompleksitas transisi kekuasaan yang dipenuhi intrik dan tekanan dari berbagai pihak.

Sumber :

“Buku Putih” Prabowo [Kesaksian Tragedi Mei 1998]
Penerbit Majalah Berita Populer “TOTALITAS”, Cipayung, Ciputat, Tangerang. Dikutip dari Majalah Asiaweek edisi 3 Maret 2000.

Baca kisah selanjutnya : Sang Mastermind

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *