Ceritanya, Ko Ahok yang seorang pejabat di Jakarta bersahabat dengan seorang anggota dewan. Haji Lulung namanya. Kalau bertemu mereka suka berpelukan. Sebagai tanda keakraban.
Tapi seiring berjalannya waktu karena kepentingan yang berbeda keduanya berseteru. Terjadi perang panas dingin dengan kata-kata.
Ko Ahok yang sifatnya keras dan temperamen rajin melontarkan kata-kata pedas. Dipastikan pedasnya bisa lebih pedas dari sambal balado dari Padang.
Indikasi Ko Ahok bahwa ada preman yang bermain di Tanah Abang yang membuat kisruh adalah anggota dewan membuat ada yang tersindir.
Membaca lontaran kata Ko Ahok di media, Haji Lulung tentu tak terima dibilang preman dan sedikit naik darah. Dibalaslah dengan mengatai Ko Ahok itu perlu diperiksa kesehatan jiwanya. Barangkali sakit jiwa benaran.
“Eh, Ahok, ente jangan bilang ane preman dong! Jangan macam-macam ente,” semprot Haji Lulung via telepon.
“Loh, loh, bukannya benar Pak Lulung itu preman seperti yang saya kenal dulunya? sahut Ko Ahok santai.
“Halooooo, sekali lagi ente jangan sembarangan kalau kagak mau ane turunin jabatannya. Tolong catat ye, ane ini preman bukan sembarang preman,” Haji Lulung semakin berapi bicaranya.
“Maksudnya apa nih?” Ko Ahok bingung.
“Ane ini preman terverifikasi catat itu!” jelas Haji Lulung.
Suasana memanas sampai sampai ada demo segala. Maklum, yang satu pejabat nomor dua di Jakarta yang satu lagi penguasa nomor dua di Tanah Abang. Ramailah.
Namanya sahabat, kalau ada ribut-ribut ya ada sadarnya juga. Kalau sahabat berseteru terus tidak seru ceritanya.
Akhirnya Ko Ahok berinisiatif menelepon sahabatnya,”Halo, ini Ahok. Apakabar Pak Haji?”
Haji Lulung yang menerima telepon menahan nafas,”Ya, ada apa, Hok?”
“Begini deh Pak Haji. Ini suasananya kan udah panas nih. Kita ademin deh. Saya undang Pak haji ngopi-ngopi gitu bahas masalah ini,” Ko Ahok mengutarakan maksudnya.
“Ngopi? Ente kayak tau ane lagi puasa? Enak aja ngopi,” Haji sedikit sewot.
“Maaf, maaf Pak Haji,” Ko Ahok menyadari tata bahasanya kurang pas,”Maksudnya ngopinya nanti malam setelah buka gitu. Sekalian buka bersama dengan anak-anak. Saya ke markas Pak Haji ya?!”
“Ya oke boleh. Tapi jangan lupa sekalian bawa ang pao buat THR anak-anak.”
Begitulah dua sahabat lama ini bertemu di tempat yang dijanjikan. Benar saja begitu bertemu Ko Ahok dan Haji Lulung berpelukan akrab.
Makan digelar. Kopi disuguhkan. Suasana ramai tanpa ada ketegangan. Sudah diawali salam-salam.
“Eh, ente kalau ngomong itu yang diatur dong Ko Ahok. Jangan bacot seenaknya. Masak sih bawa komunis, emak lu, nenek moyang. Tuh pada bikin gerah aja. Ane tau karakter ente memang keras dan ceplos-ceplos. Tapi sekarang ente kan pejabat publik,” Haji Lulung mulai menegur.
Mendengar itu Ko Ahok tertawa dan geleng-geleng kepala sambil membetulkan kaca matanya.
“Jangan salah Pak Haji. Gara-gara saya ngomong gitu kan jadi heboh. Jakarta jadi bergairah. Ok, saya akan halus deh nanti ngomongnya. Mau copot pejabat bilangnya disekolahkan. Kalau ada PKL yang masih melanggar akan disekolahkan juga gitu.”
“Kayak ente emang perlu disekolahin lagi juga nih….ha ha ha…” Haji Lulung tertawa menyindir.
“Baiklah Pak Haji, karena ini suasana puasa dan sebentar lagi mau Lebaran sekalian deh saya minta maaf soal yang udah-udah. Gimana?” Ko Ahok mengulurkan tangannya dalam posisi duduk berhadapan dengan Haji Lulung.
“OK, ane terima. Ane juga minta maaf kalau begitu. Yang namanya ribut itu kagak enak. Apalagi kita masih saudara. Kan nenek moyang kita sama.” Haji Lulung menyambut uluran tangan Ko Ahok.
“Tapi kalau soal penertiban PKL saya tetap komit dan tegas. Setelah Lebaran semua harus pindah. Ini demi ketertiban dan kenyamanan warga Jakarta juga.”
“Sip. Pokoknya saya dukung seribu persen deh kalau soal ini. Perdanya kan ane yang bikin. Jadi ane wajib dong menegakkan.”
Pertemuan malam itu usai dengan acara berpelukan dan maaf-maafkan. Semua yang hadir bertepuk tangan.
Yel yel bergema: Hidup Ko Ahok, hidup Ko Ahok, Wagub Jakarta yang oke punya.
Dalam hati Ko Ahok berdesis,”Iyalah gua hidup. Kalau mati kagak ada di sini!”