Kebaikan yang Bisa Kadaluarsa
Gawat dong kalau mau berbuat baik saja ada batas waktunya alias bisa kadaluarsa?
Saat seorang karyawan kebersihan di pabrik bersih-bersih di mess, saya tawari kopi. Kelihatannya dia ragu-ragu untuk menerima tawaran saya.
Untuk itu saya tanya lagi dengan tegas,”Mau gak nih?” saya lanjutkan dengan nada sedikit bercanda,”Ini mumpung saya lagi baik nih mau nawarin kopi. Sebelum saya berubah pikiran dan kebaikan saya keburu kadaluarsa gak bakal saya tawarin lagi, kalau mau saya sendokin kopi plus gulanya sekarang!”
Ia kelihatan bingung,”Masa sih berbuat baik itu ada kadaluarsanya segala boss?”
“Bisalah, namanya juga orang, bisa berubah-ubah hatinya. Hari ini baik, besok belum tentu lagi. Hari ini lagi senang, makanya saya baik sama kamu.”
Akhirnya jadi juga kawan ini bikin kopinya. Tapi dari pembicaraan yang ada bau-bau bercandanya itu saya jadi mikir. Ada benarnya juga kebaikan itu bisa kadaluarsa.
Khususnya bagi saya. Buktinya hari ini kalau lagi senang dan pikirannya lempang, bisa baik sama orang. Tapi besoknya giliran bete, boro-boro bisa baik. Maunya malah marah-marah atau uring-uringan.
Bisa juga, setelah berbuat baik pada seseorang tapi tidak disikapi dengan baik. Menyesallah sambil senewen,”Kalau gitu besok saya gak bakal baik lagi sama kamu. Cukup sekian kebaikan saya sama kamu!”
Itu namanya berbuat baik ada pamrih. Bukankah biasanya begitu? Walau pakai pamrih ada baiknya juga sih. Tapi kalau sampai ngambek tak mau berbuat baik lagi. Nah, itu dia. Cilaka namanya.
Coba kalau dalam hal kebaikan tak ada kadaluarsanya sepanjang hidup. Hari ini baik, besok tetap baik. Tetap berbuat baik walau tak diterima dengan baik. Pokoknya tetap baik tak mengharap pamrih. Ehm, kapan ya bisa seperti itu?
kalo sudah jadi Gandhi??