Kok Tidak Sedih?
Malam itu, kami sekeluarga, saya, istri dan si dede setia menunggu salah satu keluarga kami yang sedang kritis di rumah sakit. Harapan hidup semakin tipis, karena penyakit yang diderita sudah menjalar dan dokter yang menangani pun sudah angkat tangan. Yang terbaik adalah mendoakan, agar yang sakit ada rasa damai ketika harus ‘pergi’..
Kami semua berdiri mengelilingi sambil berdoa dan akhirnya saudara kami menghembuskan nafas terakhirnya dengan tenang. Sebagian besar saudara yang berkumpul tak kuasa menitikkan air mata. Termasuk si dede.
Setelah kami di rumah si dede bertanya,”Pi, kok suaminya tante gak kelihatan sedih ya? Dede aja sampai nangis. Tapi Oom-nya gak nangis.”
Saya berusaha menanggapi,”Bukannya gak sedih. Pasti sedihlah. Cuma saking sedihnya sampai gak kelihatan sedihnya dan gak bisa nangis lagi.”
“Kok bisa gitu ya?”
“Bisalah, dalam hatinya pasti sedih dan nangis. Cuma gak kelihatan aja. Namanya juga suaminya.”
Kebenarannya jelas, apa yang kita lihat belum tentu itu kebenarannya. Dalam kasus sedih ini, si dede melihat tidak ada kesedihan pada saudara kami yang ditinggal istrinya. Padahal saya bisa melihat jauh ke dalam hatinya ada kesedihan yang luar biasa. Tapi tak diekspesikan.
Di lain kesempatan, ada yang kelihatan begitu gembira dan tertawa. Apakah sedang bahagia? Tak tahunya jauh di dalam hatinya menyimpan kesedihan yang mendalam.
Ada juga yang penampilannya perlente dan keren tak tahunya malah kere. Sebaliknya ada yang kelihatan orang susah, ternyata orang kaya.
Kebenarannya, seringkali penampilan menipu kita. Tapi tetap saja kita suka menilai penampilan luar seseorang dan itu tak jarang membuat kita jatuh dalam kesalahan.
Kan ada pepatah “Jangan menilai buku hanya dari sampulnya” Bung Kate….kita baca dulu baru berkomentar, tapi susah ya? kita memang lebih senang menilai yang kasat mata
Ya Mbak Anita, teorinya sih mudah banget tapi kok susah ya dijalankan hehhe
salaman
yaa benar sekaliii..jadi ingat ketika mamiku wafat.. :mewek