Santri-santri itu bercengkrama, di kampungnya. Lagi liburan sepertinya. Enam santri berkumpul, berharap ngomongin kajian-kajian kitab suci, kajian peradaban Islamiah, kajian kekinian, soal pendidikan, soal moralitas. Ah, rupanya mereka ‘dipesantrenkan’, bukan masuk pesantren. Mereka ini putra-putra pejabat, anak-anak borjuis dan ada dua santri sedang rehabilitasi narkoba permanen hingga mereka ‘dipesantrenkan’.
“Kacau nih alamat pendidikan, ya mbok kalau mau rehab, yah di panti rehab toh”, seloroh seorang ahli pendidikan. Ini sih sebuah kenyataan bahwa mengobati, merehabilitasi atau memberi terapi itu kadang dihubung-hubungkan dengan pesantren. Emangnya pesantren itu orientasi pragmatistik? Emangnya balai pengobatan? Emangnya semacam RS Jiwa? Zona psikiatrik?
Pengaisan ilmu dan pemintalan pengetahuan keagamaan, perkara-perkara kultur, sosial, antropologi bahkan ‘hidup sesudah mati’, itu serentetan pembelajaran di pesantren. Lha, zaman ini keknya: “mati sebelum mati”. Apa pula maksud kalimat ini, ya mati jiwa sebelum sempat bangkit, mati fisik sebelum didera derita, tak bernutrisi dan terpanggang oleh terik-panasnya lingkungan buruk. Ditempa dan ditempa tetapi tempaan teknologi yang kian majal, kerontang dan buruk efek.
Lalu, seorang di antara santri itu, cekikikan, menonton gambar-gambar ‘dewasa’, teman-temannya pun bersahutan…… owei asik,,duh gede amat. Lantas, seseorang menghentikan langkah kakinya, memperhatikan dengan njelimet perilaku mereka. Ia beranikan diri ‘berteduh’ dan nimbrung walau ia bukanlah seorang santri, anak kampung, dididik tanpa kurikulum, hanya edukasi non formal dari ayah-ibunya. Tetapi, ia sanggup mematikan tontonan vulgar ala santri-santri yang sedang berlibur itu.
Diraihnya handphone yang sedang playing itu -tentu permisi- dan memegangnya, ia duduk dan seolah santri-santri didukung dan disempurnakan video erotik gaya anak dusun itu. Dan, anak ndeso itu berkata:
“Wah, bagus sekali video ini. dapat dari mana?”
“Dari temanku, dikirim pakai BB”.
“Oh yah, orang-orang dulu juga suka nonton ginian loh”
“Maksudmu?”
“Yah nonton ginian sudah kuno”
———-
Santri-santri itu saling melirik malu hati dan pelan-pelan bubaran. Anak kampun itu sukses melakukan advokasi psikologis yang tak sama caranya dengan orang-orang lain. Yang menggunakan teknik-teknik klasik dalam menghentikan pronoaksi bernama violensi, main kayu dan tebas-tebasan^^^
“Yah nonton ginian sudah kuno”
kalau nonton kuno bahaya dong, Bro? kalau gak mau kuno langsung praktik gitu? kacau dunia hihi