Harus berapa kali orang diingatkan bahwa ketiga kata ini adalah kata – kata ajaib di dunia? MAAF – TOLONG dan TERIMA KASIH? Beberapa waktu lalu saya dihubungi oleh seorang penerbit. Dia tidak meminta naskah jadi, tetapi meminta saya menuliskan naskah ‘sesuai pesanan’. Menurut saya penerbit itu pasti sudah membaca bolak – balik tulisan saya dan seharusnya sudah mengerti cara saya menulis. Saya bukan RADITYA DIKA, saya bukan DEWI LESTARI, saya bukan AYU UTAMI. Cara saya menulis atau cara Mba Lizz, Aurora (fiksi) menulis pasti punya gaya tersendiri. Bahkan puisi-nya Mas Doni – pun pasti ‘bau’ Mas Doni. Kalau Mas Doni dipaksa nulis gaya Sithok Srengenge apa bisa? Kalau saya dipaksa merubah gaya menulis, tanpa kursus, tanpa tutoring yang jelas, kalang – kabutlah saya. Awalnya saya MENOLAK. Tetapi beliau MEMAKSA.
Sejak mula, saya kurang ‘sreg’ diminta menulis tanpa kontrak. Lagipula, model tulisan yang bukan gaya saya atau apapun istilahnya, yang jelas saya tidak biasa dengan materi tersebut dan dengan gaya menulis tersebut. Saya suka belajar, apalagi perihal menulis yang merupakan hobby. Saya pikir kalau ‘misi’-nya sekaligus saya belajar, why not? Saya buat semampu saya, silahkan di-edit sehingga saya juga bisa mempelajari apa kesalahan atau kekurangan saya dalam penulisan tersebut. Bahkan saya diminta menuliskan dengan deadline yang mampu saya tepati. Artinya tidak melewati tenggat waktu kesepakatan. Dari beliau tidak ada jaminan apapun kecuali ‘saya diminta nulis. ‘ Setelah tulisan selesai, subuh buta saya kirimkan. Jelas – jelas dalam email saya bilang, “Ini naskah, saya sendiri kurang yakin tapi semampu saya telah dituliskan, mohon diedit saja.” Tidak dijawab! Saya SMS menanyakan dengan sopan tidak dijawab lama. Beberapa hari saya email kemudian dijawab, “Maaf BB rusak, tulisan kamu sedang diantrikan, sabar ya!” Okay, ‘momen makjlebs’ pertama!
Abis itu dua bulan saya sama sekali tidak dihubungi. Sebenernya saya menunggu kalau memang ditolak kenapa, kalau memang saya yang harus perbaiki, berikan instruksi perbaikannya seperti apa. Ini tidak! Sama sekali tidak ada komunikasi selama dua bulan. Saya juga segan bertanya bolak – balik nanti dikira saya ngeyel atau terlalu memaksakan kehendak. Padahal ketika ‘meminta orang menulis’ sadarilah bahwa orang tersebut berusaha dan bekerja. Apalagi saya tidak diberikan kontrak atau kepastian apapun. Semangat saya cuma menulis dan belajar menulis, itu saja! Tanpa komunikasi selama dua bulan ini adalah ‘momen makjlebs’ kedua! Saya sudah mulai merasa kurang nyaman dengan keadaan ini. Jadi pada bulan ketiga ini, saya tanyakan ‘nasib’ naskah saya.
Saya kirim pesan dengan sangat sopan, menyapa di pagi hari dan bertanya dengan baik – baik. Secara ini penerbit ya? Apakah mungkin penulis harus sujud menyembah kakinya, supaya lebih terkesan lagi? Jawaban yang saya terima sangat pendek dan menjadi ‘momen makjlebs’ saya yang ketiga. Jawaban ini adalah sebagai berikut, “WADUH! EDITOR MABOK DAN ANGKAT TANGAN! SEMUANYA HARUS DITULIS ULANG.” Lalu mulailah deretan ‘dosa’ saya dipajang. Dimana saya kurang belajar, dimana saya nggak ngerti apa yang diminta, dimana seharusnya saya kasi sample yang sudah benar, dimana saya harus ini dan itu, dimana tulisan saya lebay, dimana tulisan saya terlalu bahasa gaul. Dan itu semua padahal SAYA DIMINTA MENULIS lho (bukan saya mengajukan tulisan!), tanpa KONTRAK, tanpa perjanjian apapun! Saya mengerjakannya berusaha dengan suka cita, semangat ingin rendah hati dan terus belajar serta menyerap banyak hal yang belum saya pahami. Dan saya sempat menolak karena tak yakin dengan penugasannya!
Saya mengerti arti rendah hati, tetapi kemudian jika kerendahatian memberi celah kepada orang lain untuk bertindak sesukanya. Bertindak bagaikan dewa, bahkan cenderung abbusive (menyerang), apakah hal ini dibenarkan? Jika Anda, melihat seorang anak belajar menggambar. Lalu Anda berkata, “Gambarnya jelek, warnanya kurang terang. Garisnya mencong – mencong,…” Sementara Anda sendiri bukan pelukis terkenal? Hellouw…?! Tidakkah lebih baik jika Anda berlaku sebaliknya, “Gambar adik bagus, coba mataharinya diwarna kuning ya! Terus garis jalanannya digaris yang lebih rapi lagi agar terlihat lebih baik,…” Saya sungguh geleng – geleng kepala melihat perilaku arogan yang dipelihara sebagai kunci kesuksesan. Masih jaman ya?? Dalam hati, saya bukan pegawainya? Saya tidak mendapatkan jaminan apapun atas ‘permintaan’ menulis dari dia. Masih pula saya dicela?? Saya malas panjang berdebat. Lalu saya hanya menjawab pendek, “Saya itu senang belajar. Tapi bukan berarti saya akan membiarkan orang lain seenaknya mengoreksi saya, dengan cara yang membuat seolah saya ini SUPER BODOH,…” Dengan sopan saya tarik naskah saya, lebih baik saya buang ke tong sampah! Please, ingatlah jika minta tolong, katakan ‘tolong’, jika sudah ditolong jawab ‘terima-kasih’ dan jika ada yang tidak benar atau salah, katakan ‘maaf’. Semoga kita semua masih mengamalkan tiga kata ajaib kehidupan ini dan selamat dunia – akherat,….!
Padahal tinggal bilang, “Maaf, naskah Anda ternyata belum sesuai dengan ketentuan SOP penulisan kami…” gitu ‘kan lebih enak ya Mbak meski intinya sama. Btw, kalo bukunya udah terbit tolong kabar-kabari ya, biar aku bisa bilang, “Penulisnya temanku nih” 🙂
hmmm mas Ryann, aku kan bukan karyawannya? SOP mau diberlakukan dari mana?? Kalo ada kontrak/perjanjian sebelumnya masih ada kejelasan -.. kalo cuma mau bilang “Penulisnya temanku nih” — beli aja bukunya Mba Gana..
Aaah,, saya juga mau bilang gitu ah Mas ke teman-teman saya…
Ediaaannn… Aku jadi ikutan esmosi!!
# abis minum aer puteh dua galooonnn #
Soal tiga kata itu maaf sudah mendahului Ci Jo http://edukasi.kompasiana.com/2012/07/15/apa-susahnya-mengajarkan-hal-hal-yang-sederhana-471596.html
Ya soal gaya penulisan, seharusnya penerbit itu menghargai gaya menulis seseorang tidak perlu memaksakan maunya gaya penerbitan, harusnya penerbit juga paham setiap penulis itu punya kelebihan masing2…tapi ya begitulah, kalau melakukan sesuatu yang gak nyaman hasilnya pasti kurang memuaskan
Sebenernya semua org yang terbuka pikirannya akan dengan senang hati menerima kritik membangun/saran dan koreksi, karena itu demi perbaikan. Tetapi kemudian kalo cara – caranya ‘bengis’ lagak kaya mau ‘mlonco’ , hobby ‘mapras’ dan superior gitu kok, memuakkan sekali yaaa…bagi saya! Pak Kate benar ttg ini ==> “Sesuatu yang kita memiliki insting tidak nyaman dan ragu, JANGAN DITERUSKAN!..” dari awal saya ragu, cuman saya pikir – ini tantangan untuk bekerja kreatif.. jadi dicoba, apa salahnya?
Seperti kata Mbak Lizz… ikut emosi bacanya. Seperti saya pernah cerita sama Mbak Wind, saya belum jadi penulis yang baik, tapi saya juga bisa memahamai, rasanya kurang lepas kalo menulis itu ada banyak batasan ini dan itu, tapi juga bukan berarti tanpa kejelasan sama sekali tentang apa yang kita tulis…pun ditambahakan dengan sikap tak menghargai sedemikian rupa.
“saya bukan RADITYA DIKA, saya bukan DEWI LESTARI, saya bukan AYU UTAMI”..tulisannya Mbak Winda ya gayanya Mbak Winda… 🙂
Btw, Tiga kata judul diatas itu juga kata-kata ampuh Suhu saya Tai Chi Mbak… 🙂
Thanks for sharing.. 🙂
jadi sambil nulis mengamalkan prinsip taichi yaa Gitt.. bwahahaha.. :2thumbup
Mbak,, meski jarang nongol disini,, saya kirimkan pertemanan sama Mbak Winda lho disini… 🙂
oh ya..hihihi maaf Gita disini notif pertemanan ngga muncul bwahahah..harus sll cek, saya juga suka lupa nanti saya accept yahh… :peluk