Masa Menjelang Peristiwa Kerusuhan Mei 1998

Di Jakarta, banyak cerita yang beredar tentang Prabowo. Dalam narasi yang berkembang tentang kejatuhan Soeharto, mantan perwira pasukan khusus ini sering digambarkan sebagai otak di baliknya: seorang jenius jahat yang, jika ia mau menjelaskannya, bisa menunjukkan bagaimana seluruh rangkaian peristiwa yang terjadi adalah hasil konspirasi cerdik namun cacat fatal. Namun, pada akhir kekuasaan Soeharto, Prabowo bukan satu-satunya tokoh kunci.

Ada banyak pelaku lain dengan beragam motif dan manuver. Di tengah kerusuhan sosial dan krisis ekonomi, para elite di Jakarta sudah menyadari jauh sebelum Mei 1998, bahwa masalah utama bukan apakah presiden akan turun, melainkan kapan. Bagi mereka, yang terpenting adalah bertahan hidup atau bahkan meraih keuntungan. Ini berarti memainkan permainan yang sangat rumit: tetap setia pada Soeharto secara tampak, namun pada saat yang sama bergerak menuju posisi yang lebih menguntungkan untuk masa depan tanpa Soeharto.

Meskipun para mahasiswa dan rakyat yang beroposisi mendapat sorotan besar, mereka adalah kekuatan yang paling lemah. Keputusan-keputusan utama diambil di sekitar presiden yang semakin rapuh itu. Ada anak-anak Soeharto, Wakil Presiden Habibie, menteri-menteri, pimpinan MPR/DPR, serta angkatan bersenjata dengan dua jenderal utama, Wiranto dan Prabowo.

Menjelang bulan Mei, Prabowo berada di posisi yang cukup strategis. Pada Maret 1998, ia dipromosikan dari komandan Kopassus menjadi pimpinan Kostrad, yang menjadikannya jenderal berbintang tiga. Rekan seangkatannya dari Kopassus, Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin, telah menjabat sebagai komandan garnisun Jakarta sejak September 1997 (Pangdam Jaya), sementara mantan atasannya di Kopassus, Jenderal Subagyo Hadisiswoyo, menjadi Kasad. Teman-teman lain, termasuk bos Kopassus Mayjen Muchdi Purwopranjono, turut mendukung posisi Prabowo.

Baca juga :  Sengketa HKTI: Prabowo Ngotot, Ada Apa?

Satu-satunya jenderal yang tidak sejalan dengan Prabowo adalah atasannya, Wiranto. “Kami berdua tidak pernah sejalan,” kata Prabowo. “Kami tidak pernah bertugas dalam kesatuan yang sama, dan kami berasal dari latar belakang yang berbeda.” Wiranto dibesarkan di Jawa Tengah yang lebih tradisional, sementara Prabowo tumbuh di luar negeri, di ibu kota-ibu kota Eropa dan Asia. Prabowo memiliki pengalaman dalam tugas lapangan dan tempur, sedangkan Wiranto lebih banyak bertugas dalam jabatan staf dan komando teritorial. Setelah empat tahun menjadi ajudan Soeharto, Wiranto dengan cepat naik dari Panglima Kodam Jaya menjadi Panglima Kostrad, dan pada 1997 ia diangkat sebagai Kasad. Pada Mei 1998, Soeharto mengangkatnya menjadi Panglima ABRI dan Menhan.

Prabowo dan Wiranto berada pada posisi yang setara, namun pada Maret 1998, ketika MPR kembali memilih Soeharto dan menunjuk Habibie sebagai Wakil Presiden, Prabowo tampaknya memperoleh langkah yang lebih tinggi. Ia adalah sahabat lama Habibie, yang memiliki temperamen Barat dan visi teknologi tinggi yang menginspirasi Prabowo. “Saya tertarik dengan visi teknologi tinggi Habibie,” kata Prabowo. “Itu sangat menarik bagi saya. Ia selalu berkata: ‘Kita akan tunjukkan bahwa Indonesia bisa besar.’” Mereka sering bertemu, dan bagi rekan-rekan seangkatannya, Prabowo adalah pembela Habibie yang paling bersemangat.

Melihat kondisi kesehatan Soeharto yang menurun – terkena stroke ringan pada Desember 1997 – kesempatan Habibie untuk menggantikan posisi presiden semakin nyata. Bagi Prabowo, kenaikan Habibie berarti peluang untuk memegang kendali militer: “Beberapa kali dia berkata: ‘Jika saya menjadi presiden, Anda akan menjadi panglima ABRI, Anda akan menjadi bintang empat.’” Ini menunjukkan adanya rencana suksesi yang teratur.

Baca juga :  Kerusuhan 12-14 Mei 1998: Perspektif Fadli Zon

Namun, keruntuhan rupiah yang dimulai pada Oktober 1997 telah menciptakan gelombang keresahan sosial di seluruh Indonesia. Pada Januari 1998, sebuah bom meledak di sebuah apartemen di Jakarta yang dihuni anggota PRD terlarang. Militer menghadapi keras demonstrasi mahasiswa yang vokal, dan beberapa aktivis hilang secara misterius.

Pada 27 April 1998, Pius Lustrilanang mengungkapkan kepada publik tentang penculikan dan penyiksaan yang dialaminya selama dua bulan, yang pertama kali disampaikan oleh para aktivis yang diculik. Meskipun Wiranto membantah bahwa penculikan tersebut bukan kebijakan militer, kecurigaan rakyat tetap tertuju pada militer, terutama Kopassus yang pada waktu itu masih terkait dengan Prabowo.

Meski dikenal sebagai sosok yang setia kepada Soeharto, Prabowo juga menjalin hubungan dengan banyak kritikus rezim “Orde Baru”. Dari Jenderal Nasution yang merasa dikhianati, hingga Adnan Buyung Nasution yang mendirikan Lembaga Bantuan Hukum untuk membantu aktivis anti-Soeharto.

Prabowo juga membina hubungan dengan tokoh-tokoh Islam yang merasa tertindas oleh dominasi militer yang dianggap dipengaruhi oleh Kristen dan ketidakadilan ekonomi yang menguntungkan etnis Cina. Di antaranya adalah Amein Rais, seorang profesor dari Yogyakarta yang awalnya mengkritik dominasi modal Cina dan kekuatan Kristen, hingga kemudian melancarkan kecaman terbuka terhadap Soeharto. Hubungan-hubungan tidak konvensional Prabowo dan kedekatannya dengan Habibie membuatnya berbeda dibandingkan dengan orang-orang lain yang mengelilingi Soeharto.

Sumber :

“Buku Putih” Prabowo [Kesaksian Tragedi Mei 1998]
Penerbit Majalah Berita Populer “TOTALITAS”, Cipayung, Ciputat, Tangerang. Dikutip dari Majalah Asiaweek edisi 3 Maret 2000.

Baca kisah selanjutnya : Kerusuhan dan Pergolakan Mei 1998

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *