No. 4 Imas Siti Liawati
Fatimah namanya. Nama yang cukup sederhana, namun bermakna luar biasa. “Supaya seperti putri nabi. Wanita bersahaja dan sholehah,” harap sang ibunda saat menamakannya. Fatimah kecil bercita- cita menjadi guru.
“Mengapa guru?” tanyaku saat itu.
“Guru kan hebat, mencerdaskan anak bangsa,” sahutnya dengan senyum ceria.
Aku tersenyum mengingatnya. Fatimah benar- benar berbeda dari anak- anak sekampungnya. Dia gadis yang mandiri, berani dan tak mudah putus asa. Aku mengenalnya ketika aku sedang mengunjungi kakekku di usia 7 tahun. Fatimah dan kakekku tinggal di desa yang sama. Kuingat hari dimana Fatimah menyapaku
“Hai,” sapa seorang gadis riang saatku berada di beranda rumah kakek.
Aku mendongak dan mendapati seorang gadis sebayaku.
Aku mengernyitkan dahi.
Kulihat ia tersenyum sembari mengulurkan tangan kanannya.
“Aku Fatimah,”
Dengan ragu kuulurkan tanganku pula. “Indira,” ucapku singkat dan segera melepaskan jabatan.
“Kamu cucunya pak lurah yang dari kota kan?” tanyanya kembali.
Aku mengangguk. “Iya,”
“Yuk, kita main daripada bosan dirumah terus!” ajaknya tanpa basa- basi.
Aku menatapnya ragu. Aku belum mengenalnya tetapi aku memang ingin bermain. Jenuh rasanya di rumah saja.
“Nggak apa- apa nduk kalau mau main sama Fatimah!” sebuah suara tiba- tiba menjawab keraguanku.
“Eyang,” ucapku kaget menyadari kedatangan eyang.
Eyang tersenyum. “Yo wis, sana maen. Fatimah anaknya baik kok.”
Aku memandang eyang dan Fatimah bergantian.
“Ya udah yuk!” ajak Fatimah.
“Pulangnya jangan sore- sore ya!” pesan Eyang
Kami berduapun kompak mengangguk. Dan tak lama sudah kuikuti langkahnya.
Sejak itulah persahabatan kami dimulai. Sejak itu pula setiap liburan sekolah, aku merengek pada ayah bunda untuk berlibur di desa kakek. Karena dengan begitu aku akan bertemu Fatimah, sahabatku.
“Kota itu gimana ya, Ndi?” tanyanya suatu ketika saat kami sedang bermain di sungai.
“Ramai, macet, komplit pokoknya.” sahutku. Aku menoleh. “Kamu belum pernah ke kota?”
Ia menggeleng.
“Dari lahir?” tanyaku tak percaya.
Ia mengangguk.
“Nanti kalau SMA aku ingin pindah ke kota, Ndi. Disini kan cuma ada SMP.”
“Ooh,” aku menganggukkan kepala.
“Anak- anak disini jarang yang melanjutkan sekolah. Sudah lulus Tsanawiyah saja sudah bersyukur. Yang perempuan mentok dinikahin. Aku nggak mau, Ndi. Aku mau jadi guru. Aku mau meraih cita- citaku, Ndi.” katanya membuatku kagum.
Aku bukan tak tahu tentang kehidupan penduduk di kampung ini. Ayahku pernah bercerita, bahwa hanya segelintir orang kampung yang mau melanjutkan pendidikan di kota. Ayahku beruntung karena Kakek yang sangat mementingkan pendidikan. Semua anaknya dikirim ke kota untuk melanjutkan sekolah. Beberapa diantaranya setelah lulus tetap tinggal di kota dan membentuk keluarga, termasuk ayahku.
“Rencanamu bagaimana, Mah?” tanyaku.
“Tahun depan setelah lulus Tsanawiyah aku mau ke kota, Ndi. Mau lanjut sekolah,” celotehnya riang.
Aku tersenyum. “Nanti kalau ke kota, hubungin aku ya! Nanti kuajak kau keliling kota.”
Ia mengangguk mantap. “Janji?” sahutnya mengulurkan jari kelingking padaku.
“Janji!” Kutautkan kelingkingku bukti aku akan memenuhi janjiku.
Janji tinggalah janji. Karena aku tak dapat menepatinya. Setelah kelulusan, kudapati kabar ia menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya. Segera setelah pernikahan, ia dibawa sang suami. Aku merutuki nasib Fatimah, namun apa daya tak ada yang dapat kuperbuat.
Sepuluh tahun berlalu, aku sudah tidak pernah mengetahui kabar Fatimah. Seiring kematian kakek dan nenek membuatku enggan mengunjungi kampung tersebut. Hingga suatu ketika,
“Indira!” sahut sebuah suara mengagetkanku.
Aku menatap orang yang memanggil namaku. Kupandangi ia lekat- lekat. Wajahnya terasa familliar, tapi…
“Kamu lupa sama aku ya?” tanyanya lirih.
Aku mengernyitkan dahi. Mencoba mengingat- ingat dimana pernah bertemu dengannya.
“Kampung Rawasari, Ndi!” ucapnya mengingatkan.
Rawasari, Ndi…..
“Fa..Fatimah?” ucapku ragu.
Ia mengangguk.
“Ya Allah, Fatimah!” teriakku tak percaya, segera ku berdiri dan memeluknya.
“Kok ada disini?” tanyaku seraya melepaskan pelukan. Ia tersenyum lembut. Kupandangi ia, pakaiannya…
“Kerja disini?” lagi- lagi mulutku gatal untuk bertanya.
Ia mengangguk. “Nanti ceritanya ya, Ndi. Aku masih kerja.”
Kupandangi ia. Terlihat berkali- kali menoleh kekanan kiri.
“Oh ya udah, nanti kita ketemuan aja! Bagi nomor hape ya?” jawabku. Kurasa ia mulai tak enak dengan rekan- rekannya.
Tak lama ia menyebutkan beberapa angka, segera setelah itu ia berbalik meninggalkanku kembali melanjutkan pekerjaannya. Sesuai dengan yang dijanjikan, kami pun akhirnya bertemu.
“Setelah ujian kelulusan aku diberitahu bapak dan ibu bahwa aku akan dinikahkan. Jelas aku tidak mau, Ndi. Kamu masih ingatkan cita- citaku dulu?” katanya memulai obrolan.
Aku mengangguk.
“Namun aku bisa apa, Ndi. Karena ternyata selama ini bapak berhutang banyak pada keluarga Yanuardi, suamiku. Utang Bapak yang bertumpuk juga untuk menyekolahkanku juga adik- adikku ternyata. Mau tidak mau sebagai anak aku harus menolong kedua orang tuaku, maka akhirnya kabar pernikahankulah yang kau dengar. Namun bukan kebahagiaan yang kuterima, Ndi!”
Akhirnya mengalirlah kisah hidupnya sepuluh terakhir ini. Pernikahan itu hanya membawa duka baginya. Suaminya tak sebaik yang ia kira. Kekerasan fisik nyaris mewarnai kehidupan rumah tangganya. Bahkan tak segan sang suami menyuruhnya menjual diri untuk memenuhi kehidupan ekonomi mereka yang terpuruk.
“Suamiku benar- benar bajingan, Ndi. Dia rela menjual tubuhku untuk kesenangan pribadinya sendiri.” Ucapnya disela isak tangisnya.
Aku ternganga tak percaya mendengarnya. Sungguh, berat hidupnya. Akupun tak kuasa menahan air mata.
“Hingga setahun yang lalu, aku memutuskan kabur dari dirinya, kubulatkan tekad mencari kehidupan yang lebih layak. Hingga akhirnya saat ini aku bertemu denganmu di kota ini,” katanya.
Kupeluk dirinya. Menguatkan.
“Orang tuamu tahu?” tanyaku.
Ia menggeleng melepaskan pelukanku. “Mereka sudah tiada, namun Galih tahu aku disini!” jawabnya dengan menyebutkan nama salah satu adiknya.
“Aku ingin menata kehidupanku, Ndi. Aku tidak mau terjerumus dalam lembah nista.”
“Kamu pasti bisa, Fat. Kalau ada apa- apa jangan sungkan meminta bantuanku.” Aku menyakinkannya. “Kita tetap sahabat, bukan!”
Ia mengangguk mantap.
Benarlah setelah pertemuan kami, aku menjadi saksi perjuangannya bangkit dari keterpurukan. Perlahan tetapi pasti ia mulai meraih mimpi- mimpinya. Di sela pekerjaannya sebagai seorang pelayan, ia mencoba belajar kembali. Ia mengejar ketinggalan dengan mengikuti Paket C. Selanjutnya ia melanjutkan kuliah dengan mengambil kuliah kelas malam. Bukan mudah tentunya, tetapi tekadnya yanng kuat yang membuatnya terus berusaha.
“Ndi, ada yang melamarku!” ucapnya sehari menjelang wisuda kelulusannya. Sungguh perjuangannya selama beberapa tahun akhirnya membuahkan hasil.
“Alhamdulillah, “ sahutku riang.
Ia menunduk. Membuatku tak mengerti, ada yang tidak beres.
Kusentuh bahunya. “Fat, katakan ada apa?”
“Aku kotor, Ndi.” Ujarnya terisak.
“Fat, jangan berkata seperti itu,” pelukku.
Kurasakan bahuku terguncang oleh tangisannya. “Ndi, kamu tahu aku dulu…..”
“Fat, itu masa lalu,” sergahku melepaskan pelukannya.
“Ndi, yang lalu-lalu juga begitu kan.”
Aku menghembuskan nafas dalam- dalam mengingat hal tersebut. Fatimah memang masih muda, namun status jandanya terkadang menjadikan masalah. Selanjutnya masa lalu nya juga yang menjadikan dirinya susah mendapatkan pasangan hidup. Selama beberapa tahun ini sudah beberapa pria yang mendekatinya, namun mundur secara teratur karena mengetahui masa lalu Fatimah. Sungguh, Fatimah hanya korban.
Kuusap lengannya. “ Fat, berdoalah pada Allah. Mintalah petunjuk dari Nya,”
Ia mengangguk.
“Mari beri tepuk tangan yang meriah untuk ibu Fatimmmahhhh,” suara MC berkumandang di ballroom sebuah hotel. Aku tersenyum memandang sosok yang berdiri di podium. Ia tersenyum meraih penghargaan yang diberikan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan.
“Puji syukur ke hadirat ALLAH SWT untuk semua nikmat yang telah ia berikan. Terima kasih pula untuk semua pihak yang telah membantu saya selama ini. Kepada suami saya, anak- anak saya, sahabat- sahabat, para guru dan relawan di Indonesia Cerdas. Penghargaan ini untuk kalian. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih, bukan hal mudah tentunya yang telah saya lalui hingga akhirnya saya dapat berdiri di tempat ini. Terutama untuk sahabat saya, Indira. Terima kasih.”
Aku tak kuasa menahan air mataku. Ya, didepan podium sahabatku Fatimah mendapat pencapaian luar biasa dalam hidupnya. Ia dinobatkan tokoh perempuan penggerak pendidikan. Hidupnya berubah lebih baik. Ia mampu bangkit. Perlahan tetapi pasti, ia tak melupakan mimpi kecilnya menjadi guru. Di tengah kesibukan bekerjanya, ia mengajar di beberapa anak jalanan dan tidak mampu yang tidak dapat sekolah. Dimulai dari mengajar di kolong jembatan, hingga akhirnya atas bantuan beberapa teman ia berhasil mendirikan rumah belajar. Tidak sampai disitu, ia bergerak mengumpulkan para relawan dan guru yang ia sebar ke berbagai kota di Indonesia dengan tujuan memberikan pendidikan yang layak bagi seluruh anak- anak yang tidak mampu. Kerja kerasnya membawanya meraih penghargaan oleh kementerian. Tak hanya itu ia pun akhirnya menemukan suami yang menerima ia apa adanya hingga saat ini telah dikaruniai dua anak yang sangat manis. Aku menangis haru mengingat perjuangan dalam hidupnya.
“Akhirnya kamu bisa, Fat!” gumamku pelan memeluknya sesaat setelah ia turun podium.
Ia mengangguk, “Ada banyak air mata dan pengorbanan hingga aku menjadi yang sekarang, namun semua akan indah pada waktunya dan mimpiku bukan puing, aku berdiri membangun mimpi di atas mimpi, Ndi. ”
Aku mengangguk dan memeluk erat sahabatku.
(ISL) Bandung, 8 Januari 2014
Desa Rangkat adalah komunitas yang terbentuk berdasarkan kesamaan minat dalam dunia tulis menulis fiksi. Jika berkenan silahkan berkunjung, berkenalan, dan bermain peran dan fiksi bersama kami di Desa Rangkat, klik logo kami.
Bagus ceritanya Mba Imas…
Salam buat Fatimah dan Indira.
makasihh mbak Fris, maaf baru online. 🙂
Sependapat dengan Afriska, bagus mbak Imas.
makasih cici kim 🙂
beneran imas, bagus 😀
say thanks yo Da
Berusaha memperbaiki diri, inspiratif Imas 🙂
makasih mbak, 🙂
siiip… siipp….
aku suka ama alur ceritanya..
makasih mas Hans,
Wuiiiiih…. Cakeeeep, Mbak Imas….
tengkyuuu mbak Ra,,,
kerennn… kisah nyata kah ?
