Asih Rangkat
No. Urut : 11
Ku mulai kisahku. Kisah yang selama ini menjadi rahasia dan hanya tersimpan dalam hatiku. Kisah yang berulangkali ingin kututup dengan gembok terbesar tapi tetap saja jika kerinduan hadir, aku akan melihatnya diam-diam sekedar mengobati rasa rindu padanya. Rindu yang sekian lama tak pernah hilang meski disisiku telah ada gadis yang sangat mencintaiku. Gadis yang selama ini menjadi tumpuan rasa bersalahku karena terus memikirkan seseorang yang tak semestinya aku ingat lagi.
Gadis itu bernama Risa sebelum aku tahu jika namanya adalah Raisha.
“Belum pulang?” tegurku seraya menghampirinya. Saat itu hujan deras dan suasana kampus sangat sepi karena hari beranjak sore. Gadis itu masih berdiri di pelataran kampus. Tubuhnya menggigil kedinginan dalam balutan sweeter tipis. Kulit wajahnya yang putih tampak pucat dan bibirnya yang gemetaran tanpa polesan lipstik makin menggetarkan hatiku. Dia tersenyum sambil menggiyakkan.
“Nunggu jemputan ya?” tanyaku lagi. Sebenarnya aku berharap dia menjawab tidak. Aku bahkan berdoa demi mendengar jawaban itu.
“Iya.” Suara lembutnya nyaris menghancurkan harapanku.
“Di jemput pacar ya?” aku menunggu jawabannya dengan harap-harap cemas karena dia tak kunjung mengangguk atau menggeleng.
“Bukan. Sepupu….” akhirnya meluncur jawaban yang membuatku lega. Risa mengalihkan pandangan ke arah pintu gerbang. Sesaat aku terpesona melihat matanya yang indah dengan bulu mata hitam lentik tanpa bantuan maskara. Aku mengikuti arah tatapannya. Sebuah mobil avanza putih perlahan mendekati gedung lalu berhenti beberapa meter dari tempat kami berdiri.
“Maaf, aku duluan ya..” pamitnya tak lupa memamerkan senyumnya yang indah lalu berlari menerobos hujan menuju mobil avanza. Gadis impianku telah berlalu, tinggal aku sendiri terpaku di pelataran kampus. Menghirup dalam-dalam aroma parfumnya yang masih membekas. Anganku tentangnya kian melambung.
Sore itu adalah pertemuan pertama yang menurutku berhasil karena aku berbicara dengannya. Di antara puluhan rencana dalam kepalaku, akhirnya aku bisa mendengar suaranya. Berbagai ide timbul tenggelam demi mendekatinya. Kadang rencana yang telah tersusun matang, berantakan di tengah jalan. Aku nyaris putus asa.
Namun sejak pertemuan mengesankan hari itu, aku jarang melihatnya. Berhari-hari aku terus mencari sosoknya namun Risa seperti hilang ditelan bumi. Aku mulai cemas, apakah gadis itu sakit ataukah dia tidak kuliah lagi? Hatiku benar-benar hampa. Daya tarik untuk ke kampus tak ada lagi. Entah bagaimana caranya memulihkan semangatku yang terlanjur drop karena kehilangannya.
Hingga suatu hari…
“Mau ikut aku, Al?” ajak sepupuku, Firham. Dia keluar dari kamarnya dengan tampilan yang Istimewa. Aku berdecak kagum. Aku tahu Firham sangat peduli dengan penampilannya. Sepupuku itu selalu berusaha tampil sempurna setiap hari. Namun kali ini terasa berbeda dan aku tak sanggup menahan rasa ingin tahu yang hadir dalam pikiranku.
“Kemana? Tumben kali ini kamu rapi bener?”
“Pacarku ulang tahun..” aku tergelak.
“Akhirnya, kamu punya pacar juga.. ckckckckck.. aku jadi penasaran, seperti apa gadis yang bisa menaklukkan hatimu. Standarmu kan tinggi banget hehehehehehe..”
Firham acuh mendengar ocehanku.
“Mau ikut tidak? Aku jamin banyak gadis cantik disana yang akan membuatmu melupakan Risa.”
“Tidak akan! Risa yang terbaik, She is the best..” kataku bersemangat sambil beranjak berdiri. Kuputuskan untuk ikut kali ini daripada bengong sendirian di rumah Firham dan hanya memikirkan Risa. Kepalaku nyaris pecah karena terus membayangkan dirinya.
Tiba di rumah kekasih Firham, suasana sangat ramai. Beberapa mobil telah terparkir di halaman. Aku berdecak kagum. Pilihan sepupuku memang tidak salah. Saat dia memutuskan mempunyai kekasih maka gadis itu tentu bukan orang sembarangan. Tidak sia-sia dia menjomblo selama ini. Posturnya yang tegap serta wajahnya yang tampan bahkan sempat meragukanku. Aku sempat khawatir dia bukan pria tulen. Maafkan aku Firham, peace…
Kami berdua masuk ke dalam rumah. Aku merasa grogi karena tidak biasa berada dalam suasana keramaian seperti ini. Orang-orang memperhatikan kehadiran kami. Wajar, sosok Firham adalah idola di kampusnya. Aku seperti badut berdiri di sebelahnya.
“Firham!” seorang gadis cantik menghampiri kami.
“Eh, Yeni.”
“Udah ketemu Raisha?” lanjutnya.
“Belum.”
Yeni lalu mengajak kami ke suatu tempat. Aku mengekor di belakang Firham sambil melihat-lihat gadis-gadis yang hadir di acara ini. Benar kata Firham, semuanya cantik-cantik.
“Raisha, Firham udah datang..” Yeni menyentuh bahu seorang gadis yang membelakangi kami.
Aku penasaran dengan pacar Firham, apa yang dia miliki hingga sanggup meluluhkan hati Firham yang terkenal sulit jatuh cinta. Meski tampan, jangan pernah berharap melihat seorang gadis bersamanya. Bagi Firham, gadis yang bisa duduk bersamanya di dalam mobil adalah kekasihnya. Dan menjadi kekasihnya tidak mudah!
Aku makin penasaran dan tidak mengalihkan pandanganku sedikitpun dari sosok kekasih Firham itu. Perlahan Raisha berbalik, sedikit demi sedikit, dan aku hanya bisa melotot melihatnya. Bukan karena kecantikannya yang membuatku terpesona, tapi karena Raisha kekasih Firham adalah Risa, gadis yang selama ini aku rindukan siang dan malam.
Dia melangkah mendekati kami. Aku hanya bisa terpaku menyaksikan senyumnya serta tatapan matanya yang indah. Namun semua itu bukan ditujukan padaku. Arah pandangannya lurus menatap Firham. Dan Tangan sepupuku terulur, siap memeluk Raisha. Aku menutup mataku ketika adegan romantis itu benar-benar terjadi.
Sekarang aku mengerti. Seleraku dan Firham ternyata sama dalam menilai seorang gadis. Kami ternyata menyukai tipe yang lembut dan keibuan. Semua kriteria wanita idamanku ada pada Raisha. Karena selera kami sama maka hal yang wajar jika Firham jatuh cinta padanya. Aku hanya bisa menelan kekecewaan tak siap dengan kenyataan pahit yang baru saja aku ketahui.
Aku akhirnya menyingkir. Kubiarkan Firham dan Raisha berdua saja. Aku tidak ingin berada di dekat mereka dan menjadi batu karena perasaan cemburu yang kian membuncah. Aku ingin marah, tapi marah pada siapa? Aku ingin berteriak tapi untuk apa? Bukankah selama ini hanya aku seorang yang merasakan rindu? Raisha atau Risa sama sekali tak tahu apalagi Firham.
Raisha Ayana Dela, ternyata itu namanya. Aku hanya tahu namanya Risa, teman di kampus yang memberitahu. Dan baru kusadari mengapa aku tidak mencari tahu nama lengkapnya. Aku pasrah saja dan mengira itu adalah nama lengkap Risa. Bodohnya aku mengira Risa belum memiliki kekasih.
“Haloo, kamu sepupu Firham, kan?” aku berbalik. Seorang gadis manis menyodorkan minuman padaku. Aku menerimanya, dia lalu duduk didekatku. Aku sengaja menyendiri di teras samping, terpisah dari keramaian.
“Iya, aku sepupu Firham.”
“Aku pernah melihatmu..”
“Dimana?”
“Waktu itu aku menjemput Raisha di kampus, kalian sedang berdua di pelataran kampus..”
Aku tersenyum.
“Jadi sepupu yang dimaksud Raisha, itu kamu?” Gadis itu mengangguk.
“Kenalkan, namaku Feby. Dunia benar-benar sempit ya, ternyata kamu sepupu Firham, kekasih sepupuku, Raisha. Kebetulan yang sangat istimewa.”
“Maksudmu?”
“Iya, jujur aku nggak suka basa basi. Aku juga bukan gadis yang suka menyimpan perasaan suka di dalam hati. Kalau aku suka sama cowok, aku akan langsung mengatakan padanya. Sayangnya, sampai sekarang belum ada cowok yang menerima pernyataan suka dariku. Kalau sebaliknya ya banyak..” Feby tertawa.
“Aku malah belum pernah nembak cewek..” kataku berterus terang. Feby tersenyum.
“Aku suka sama kamu. Pertama kali melihatmu bersama Raisha, aku penasaran. Tapi aku hanya bisa menunggu karena satu-satunya orang yang mengenalmu adalah Raisha dan dia mendadak pindah kampus.”
Aku tercengang. Gadis ini benar-benar berani, batinku.
“Tak disangka, ternyata kita ketemu disini. Karena itu aku menyebutnya kebetulan yang sangat istimewa. Saat aku hendak mencari dirimu, ternyata sepupumu pacaran dengan sepupuku. Ini namanya jodoh..”
Aku meneguk minuman yang diberikannya. Lumayan untuk menetralisisr keterkejutanku.
“Kamu kaget ya, hehehehe jangan tegang. Biasa aja. Proses pacaran dimulai dari perkenalan. Kata-kataku jangan kamu anggap serius. Aku memang suka sama kamu, tapi aku nggak mau egois memaksakan keinginanku. Bisa saja dirimu menyukai gadis lain dan aku tidak termasuk dalam kriteriamu. Aku hanya ingin kamu tahu saja perasaanku. Itu saja. Karena memendamnya dalam hati membuatku gelisah. Aku tidak tenang..”
Aku memperhatikan cara gadis itu berbicara, rasa percaya dirinya sangat tinggi. Wajar jika dia berani mengucapkan isi hatinya. Tapi dari penuturannya barusan, dia juga belum pernah menyatakan suka pada seseorang. Berarti gadis ini mirip dengan Firham, tidak mudah jatuh cinta. Lalu dengan diriku, apa yang membuatnya menyukaiku?
“Beri kesempatan aku untuk mengenalkan diriku, aku juga aku mengenalmu lebih dekat. Jadi kita jangan berkomitmen dulu, temenan aja. Nggak apa-apa kan?” mata bulatnya menatapku.
Kembali aku terpaku. Melihat sosok Feby dan Raisha atau Risa, mereka dua orang yang sangat berbeda. Mirip seperti diriku dan Firham. Tapi aku terlanjur menyukai Raisha, apakah hatiku bisa berpaling? Mengharapkan Raisha juga mustahil. Firham tentu tidak akan begitu saja melepaskan gadis yang sudah di proklamirkan sebagai kekasihnya. Lagipula aku tidak mungkin tega merebut kekasih sepupuku sendiri.
Hubunganku dan Firham sangat dekat. Sejak kecil aku terbiasa tinggal di rumahnya. Aku bahkan lebih betah tinggal dirumahnya dari pada rumahku sendiri. Kedua orang tuaku seringkali protes tapi mereka tidak bisa melarangku. Bagaimana aku bisa betah tinggal di rumah yang sepi layaknya kuburan? Papa dan mama lebih banyak menghabiskan waktu diluar kota.
“Halooooo, bagaimana? Kamu setuju aja, ya. Kita jalani aja, TTM hehehehehe..”
Aku akhirnya mengangguk setuju karena tak ada pilhan lain bagiku. Pujaan hatiku telah menjadi milik sepupuku, apa salahnya aku mencoba mengobati luka hatiku dengan menerima tawaran Feby. Terus meratapi Raisha hanya akan membuatku tersiksa. Jalanku benar-benar telah tertutup. Peluangku sudah tamat. Mungkin ini saatnya aku mengucapkan selamat tinggal pada Raisha. Good bye my love.
***
Hari hari berlalu. Hubunganku dengan Feby semakin akrab. Meski di antara kami belum ada komitmen, tapi hubungan ke arah yang lebih serius sepertinya bakal terjadi. Aku mulai bisa menerima kehadiran Feby namun ku akui tidak untuk hatiku. Seutuhnya ruang itu masih menjadi milik Raisha. Aku masih belum bisa melupakannya.
Aku tahu ini tidak adil bagi Feby. Saat dia berusaha menerimaku apa adanya, aku malah belum seutuhnya menempatkan dia dalam hatiku. Aku memang bisa tertawa, bercanda bersamanya tapi di saat yang sama bayangan Raisha melintas dipelupuk mataku. Entah apakah Feby bisa merasakan hal itu? Aku tidak bisa menebak jalan pikirannya. Dia selalu terlihat gembira. Aku bahkan penasaran, apakah dia tidak pernah bersedih?
Seringkali kami pergi kencan berempat. Bukan aku yang mengusulkan ide ini, terlebih Firham. Dia yang lebih dulu menentang ide ini ketika Raisha menelponnya. Tapi Sepupuku itu hanya bisa bungkam jika suara lembut Raisha yang memohon. Dan ternyata ide ini dari Feby. Aku benar-benar tak habis pikir, apa yang ada dalam pikiran gadis itu?
Entah sampai kapan aku bisa melupakan Raisha. Setiap kali aku mencoba melupakan, sosoknya selalu hadir. Dia juga sering berkunjung ke rumah Firham. Dan jika Firham tak ada, aku yang menemaninya mengobrol. Jika Firham sibuk dengan kuliahnya hingga tak bisa mengantarnya ke suatu tempat, sepupuku itu akan langsung menelponku. Apakah aku harus meninggalkan kota ini? bagaimana aku bisa melupakannya jika setiap saat kami bertemu?
***
Malam itu, Firham nampak gelisah dikamarnya. Dia mondar mandir entah apa yang tengah meresahkan pikirannya.
“Kamu kenapa? Gelisah amat?” tegurku. Kualihkan pandanganku dari buku yang sedang aku baca.
“Aku ingin menikah.” Firham menatapku. Kurasakan aliran darah dalam tubuhku mendadak terhenti. Kata menikah itu seperti kiamat untukku. Aku benar-benar akan kehilangan Raisha.
“Lalu kenapa kamu gelisah?” tanyaku menahan rasa kecewa dalam hati. Firham duduk di sebelahku.
“Karena aku akan menikah, bodoh. Jelas saja aku gelisah.” Firham cemberut.
“Gelisahmu itu cari pemecahannya jangan hanya mondar mandir, bolak balik kayak setrikaan..”
“Aku bingung bagaimana menyampaikan hal ini ke papa. Aku takut papa menolak rencana kami karena kami berdua masih kuliah..”
“Iya. Betul itu..”
Firham melotot menatapku. Aku cepat-cepat menutup mulutku.
“Kamu beritahu papa dan mamamu agar mereka tahu. Gelisah sendiri tidak akan menyelesaikan masalah. Setidaknya kedua orang tuamu sudah tahu niatmu. Itu saja yang harus kamu selesaikan.”
Firham beranjak berdiri.
“Iya, aku harus berani menyampaikan hal ini. Terima kasih sepupuku yang baik hati. Saranmu akan aku laksanakan sekarang juga.”
Firham menaruh tangannya di samping kepala, menghormat padaku seperti pada bendera kemudian dia bergegas keluar dari kamar. Aku terbahak melihat tingkahnya namun saat pintu tertutup, tawaku lenyap berganti kesedihan. Kuraih bantal dan menutup wajahku, air mataku menetes. Hatiku sakit mengetahui Firham dan Raisha akan menikah. Malam itu untuk kesekian kali aku patah hati pada gadis yang sama.
***
Sore yang indah dengan sinar keemasan yang menghiasi langit. Aku duduk di teras lantai dua ketika seseorang merangkulku dari belakang. Melihat kulit tangannya yang mulus serta aroma farfum khas miliknya, aku bisa menebak dengan pasti..
“Tumben nongol nggak nelpon lebih dulu…” aku menoleh. Feby tersenyum dengan sangat manis.
“Sekali-kali mengangetkan pacar, nggak apa-apa kan?” dia tertawa. Entah mengapa, setiap kali melihat Feby tertawa, aku merasa iba padanya. Aku ragu, apakah benar gadis ini tidak merasakan jika aku memikirkan gadis lain, bukan dirinya?
Feby mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
“Ini model undangan yang aku pilih. Dari beberapa contoh, aku suka yang ini. Menurut mas ini cantik bukan?” kuraih contoh undangan pernikahan itu. Memperhatikan setiap detil modelnya.
“Undangan ini, kok sama dengan undangan Firham dan Raisha?”
“Aku sudah coba melihat model lain, tapi tetap saja model undangan ini jauh lebih menarik.”
Alasan yang masuk akal menurutku. Modelnya memang sangat cantik. Saat Firham memperlihatkan undangan pernikahan mereka tiga tahun silam, aku juga sangat terpesona. Tapi mengapa harus model yang sama? Bukankah begitu banyak model undangan yang bisa dipilih? Tidak mesti sama kan? Aku makin tidak mengerti.
Dari mulai gedung resepsi, Wedding Organizer, foto pre wedding, gaun pengantin hingga penata rias semua sama persis seperti saat Firham dan Raisha melangsungkan pernikahan. Terakhir model undangan yang membuatku terenyuh. Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan Feby dariku. Jika menyangkut urusan pernikahan, semua sama dengan pilihan Firham dan Raisha.
“Kamu pengen kita bulan madu dimana?” tanyaku memancing jawaban yang membuatku penasaran.
“Firham dan Raisha tempo hari ke Lombok. Kita ke sana juga ya?” Aku termangu. Jawaban Feby makin menguatkan kecurigaanku.
“Apakah kita tidak punya pilihan lain? Mengapa semua hal mulai dari A sampai Z, semua sama mengikuti Firham dan Raisha?” aku mulai tak tahan. Rasa penasaran membuat kepalaku panas seolah ingin meledak. Feby terdiam menatapku. Dia yang selalu ceria menjawab pertanyaanku kali ini tak bersuara.
“Menurutku pilihan mereka bagus..” jawabnya terbata.
“Lalu pilihan kita nggak bagus, begitu maksudmu?”
“Mas kenapa sih? Bukankah mas Aldi sendiri yang meminta aku mengurus semuanya? Kenapa sekarang menyalahkan aku?”
“Aku bukan menyalahkanmu hanya aku merasa heran, kok semua yang kamu katakan, kamu pilih, pasti ada Firham dan Raisha di baliknya. Apa kita tidak bisa menentukan pilihan yang berbeda dari mereka?”
“Tapi bener kan semuanya memang bagus? Saat mereka menikah, aku memang sudah berniat akan mengikuti detil kegiatan mereka saat menikah nanti. Apakah aku salah mas?”
Aku menyandarkan tubuhku, mengontrol emosiku yang hampir mencapai ubun-ubun. Melihat mata Feby yang mulai berkaca-kaca, aku tersadar untuk berhenti menjejarinya dengan berbagai pertanyaan. Mungkin benar alasan Feby, jika dia hanya ingin mengikuti prosesi yang sama ketika Firham dan Raisha menikah. Apakah karena aku masih merindukan Raisha hingga menaruh curiga pada tindakan Feby, seolah dia telah tahu apa yang aku pikirkan?
Aku terdiam, demikian pula dengan Feby. Mungkin dia bingung mengapa sekarang aku malah mengajukan berbagai macam pertanyaan. Tak ada senyum ceria di wajahnya, dia hanya menunduk. Aku termenung. Sampai kapan aku harus bersikap seperti ini terhadap Feby? Haruskah aku bertahan berada disampingnya dengan rasa cinta yang bahkan tak jelas bentuknya?
“Maafkan aku..” kataku akhirnya seraya meraih jemarinya. Dia mengangkat wajahnya. Aku terkejut melihat air mata yang menetes di pipinya.
“Bisakah mas hanya memikirkanku? bisakah mas melupakan dia?” aku terperanjat mendengar ucapan Feby. Pikiranku telah bercabang kemana-mana mencari petunjuk kemungkinan yang selanjutnya akan dia katakan.
“Bertahun-tahun, sudah tiga tahun mas. Apakah kehadiranku sama sekali tidak berarti dalam hatimu. Pengorbananku selama ini, apakah tidak ada artinya dimatamu..”
“Apa maksud perkataanmu?”
“Mas jangan berpura-pura lagi, aku sudah sangat bersabar hingga menjelang pernikahan kita. Tapi aku tidak ingin menikah dengan seseorang yang masih terikat hati dengan gadis lain. Aku tahu sejak awal, mas sangat menyukai Raisha. Tapi aku tetap bertahan karena aku mencintai mas. Ingat mas, dua bulan lagi pernikahan kita. Bisakah mas melupakan dia? Jika bukan mas yang melepaskan Raisha dari hati mas, maka aku yang akan pergi. Aku tidak ingin menikah dengan seseorang yang tidak mencintaiku. Aku bukan patung mas, aku juga punya perasaan..”
Feby menangis lalu beranjak meninggalkanku sambil membuang contoh undangan ke lantai. Dia berlari menuruni anak tangga, aku yang kaget tak menyangka mendengar pengakuan mengejutkan dari Feby hanya bisa terpaku. Hingga terdengar suara kendaraan meninggalkan rumah, aku baru tersadar jika Feby telah pergi. Aku berlari mengejarnya, namun terlambat. Mobil Feby melaju kencang meninggalkan rumah.
Entah mengapa aku hanya bisa diam tak bereaksi. Seolah ada yang menahan langkahku hingga aku pasrah melihat mobil Feby di kejauhan. Aku melangkah gontai masuk ke dalam rumah terus naik ke lantai dua, masuk ke dalam kamarku. Pandanganku mengitari kamarku, baru aku sadari ternyata tak ada satupun benda di kamar ini yang menyiratkan jika aku dan Feby adalah sepasang kekasih. Tak ada bahkan untuk foto kami berdua.
Ku buka laci meja, kuraih selembar foto. Kupandangi lekat-lekat dengan perasaan sedih. Wajah Raisha yang lembut dengan senyum keibuan yang mempesona.
“Raisha, mengapa sangat sulit melupakanmu? Apa yang harus aku lakukan agar bisa melupakanmu? Aku tahu dirimu bukan lagi impian yang harus aku kejar. Tapi tetap saja aku bertahan dengan ketidak warasanku, mengira semua akan sesuai harapku. Tapi sampai kapan Raisha? Sampai kapan aku berpikir bahwa itu benar dan mimpiku bukan puing, aku berdiri membangun mimpi di atas mimpi sedangkan dirimu makin jauh dan tak mungkin lagi untuk aku raih.”
Aku masih menatap sedih wajah Raisha ketika handphoneku berdering. Kuraih handphone dan melihat sekilas layar handphone. Ibu Feby! Kesedihanku mendadak lenyap.
“Halo…” bukan suara lembut yang terdengar melainkan jerit tangis dari seberang.
“Mama? Ada apa? Kenapa mama menangis?” aku ikutan panik.
“Nak Aldi, Feby kecelakaan!”
Kuraih kunci mobil lalu berlari keluar kamar tanpa menunggu ibu Feby menyelesaikan ucapannya. Aku sempat mendengar beliau menyebutkan nama rumah sakit tempat Feby dirawat. Kupacu mobilku sekencang mungkin. Karena panik tanganku gemetaran saat menyetir hingga aku memilih menepi di tepi jalan untuk menenangkan diri beberapa saat.
Kusandarkan tubuhku pada jok mobil, rasa bersalah menekan perasaanku. Ya, Allah apa yang telah aku lakukan? Bagaimana bisa aku melukai hati gadis yang selama ini sangat setia mendampingiku meski dia tahu aku tidak mencintainya? Feby mengalami kecelakaan karena sikapku padanya. Lelaki macam apa aku ini? bagaimana bisa aku mengabaikan mutiara yang ada dalam genggamanku dan terus memikirkan permata yang bukan milikku? Bagaimana jika aku kehilangan mutiara itu, apakah aku akan sanggup menerimanya?
Aku memacu kendaraan dengan perasaan cemas. Kali ini aku benar-benar takut kehilangan Feby. Sepanjang jalan tawanya yang renyah, senyumnya yang ceria hingga tatapan matanya yang berbinar membayang di pelupuk mataku. Jika terjadi sesuatu yang buruk dengan Feby, aku pantas untuk disalahkan. Akulah yang membuat gadis itu kecelakaan. Akulah yang membuat hatinya terluka hingga pikirannya kalut saat menyetir mobil.
Tiba di ruang IGD rumah sakit, kakak Feby ternyata sedang menunggu di depan ruangan. Dia histeris menyambutku,memelukku sambil menangis. Aku tak kuasa menahan air mata apalagi jika mengingat kejadian sebelum Feby kecelakaan. Kurasakan penyesalanku kian berlipat-lipat. Aku sangat ingin melihatnya. Aku ingin berada didekatnya, menemaninya. Tapi kami dilarang masuk.
Meski shock melihat kondisi Feby namun aku bersyukur dia masih hidup. Setidaknya aku masih bisa menebus kesalahanku padanya. Aku sangat menyesal. Aku berjanji akan melupakan Raisha karena dia bukan milikku. Dia hanya masa lalu yang tak akan mungkin kembali. Sementara Feby, gadis ini tulus mencintaiku. Aku ingin membahagiakannya. Aku ingin bersamanya mengarungi bahtera kehidupan yang nyata bukan hanya dalam mimpi.. Maafkan aku Feby, mulai sekarang tak akan ada Raisha lagi dalam hatiku selain dirimu.
=========================================
Desa Rangkat adalah komunitas yang terbentuk berdasarkan kesamaan minat dalam dunia tulis menulis fiksi. Jika berkenan silahkan berkunjung, berkenalan, dan bermain peran dan fiksi bersama kami di Desa Rangkat, klik logo kami.
Apik tenan, Asih.
Makasih mbak Kim 🙂
kebetulan yang sangat istimewa…akhirnya juga istimewa
Benar mas Christian 🙂
Hemmmmmmm…. Apik tenan… Waduuuhhhh… Puing2 ideku mana nihhhhh #liat kalender
Dari dulu juga ente gak pernah ada ide, Cik…
Jangan sok liat2 kalender dehhh..
lagu lama kaset baru.. huhh
Acik harus setorannnn, adik kades kok nggak nyetor? apa kata dunia ntar 😀
Cinta akan menemukan jalannya…
Benar mbak Yety 🙂
Nahh, kalo Asih udah keluar… ini dia neh diksinya.
Anyway… Hans juga gak mau menyesali masa lalu.
Masa lalu untuk pelajaran. Masa depan untuk digapai..
di sana…. di padepokan. Bersama Aspri yang baru.. hehehe
Makasih mas Hans, semoga aspri yang baru segera hadir ya 🙂
Inspiratif Asih
Makasih Dear 🙂
kalau orang Jawa bilang tulisan ini “ngendhas-endhasi” – artinya kurang lebih, garis besarnya : karena ini baguuuusss banget, alurnya menarik, ceritanya membikin pembaca untuk meneruskan hingga akhir…maka tulisan or penulis berikutnya akan berpikir berulang kali untuk posting. tentu saja udah ngeper duluan, udah merasa bahwa kualitas tulisannya tak sebagus karya ini….
*jujur, dari hati mama yang terdalam, nyali mama langsung jatuh drop untuk menulis. mama ngerasa tak bisa membuat yang lebih baguus dan menarik dari cerpen ini…..waaaaa
Makasih ma, padahal nanda kalau membuat cerpen acuan nanda ya membaca postingan mama. Nanda suka membaca postingan mama yang benar-benar ada nyawanya, mama termasuk salah seorang idola nanda 🙂
Makasih mas, sebenarnya yang memiliki mimpi tak pernah berakhir itu si Feby, semua karena cinta 🙂
wuahh..harus bnyk belajar menulis ama Bunda nii
cerpennya dibaca berulang kali..dan hasilnya malah makin bagus..hehehe
soal Raisha, ternyata memperhatikan bibit, bobot dan bebet juga penting ya 🙂
Makasih nanda, bunda justru kagum ama tulisan nanda, selalu keren dan indah 🙂
mom harus belajar banyak dr asih….
bagusssss
Makasih mom 🙂 tulisan mom juga punya ciri khas yang membuat saya terkagum-kagum
Kereennn kak asih,alurnya, tata katanya… kereeeeennn…