Novi Octora
No : 27
Kehilanganmu sudah berhasil membuatku mencintai kesepian melebihi kesepian itu sendiri.
Masih terekam jelas di ingatanku, senja itu kau berhasil membungkam kosakata yang hendak kusampaikan, sebuah ungkapan rindu tak tertahan. Ketika sebuah abjad, merasa tidak mampu untuk berdiri sendiri diatas putihnya sehelai kertas tanpa bantuan sepasang tangan yang merangkai huruf tersebut.
Ketika warna sayap kupu-kupu yang kupelihara warnanya memudar perlahan, dan aku berharap dengan paletmu, warna-warna ceria itu kembali hadir.
Tetapi tanpa ditandai angin hardikmu datang dengan tiba-tiba laksana badai, dan kau arahkan telunjukmu kepadaku searah lurus jalanan sepi berjelaga.
Bertemankan pilu, bersahabatkan susah hati, aku patuh mengikuti telunjukmu yang terarah lurus, tanpa menangis kukemasi pecahan hati yang berserak, memasukannya dalam lipatan harapan, agar kelak bisa kembali merekat walau berbekas.
Pada ketiak luka yang mengangga aku berjalan pasif, kelebat kenangan tentang kita serupa relief bermunculan dengan teratur. Frasanya sungguh rapi.
Bahkan pada sudut trotoar waktu yang kulewati, bekas jejak kita beriringan masih nampak ranum merona.
Pun pada setiap persimpangan yang kita lalui, disana terdapat beratus bahkan beribu ceceran rindu yang tersemai.
***
Dulu, katamu, padaku.
“..tidak mungkin seorang Romeo mampu meramu hidangan perjamuan cinta tanpa Juliet disisinya..” ucapmu ketika kita melewati persimpangan tanpa temaram lampu.
Saat itu, malam menunduk malu, betapa kita tak ubahnya pemilik semesta. Dan aku..aku merasa “hidup” ketika aku merasa akan “mati”.
Dalam batin kutetapkan syahadat “Dan mimpiku bukan puing, aku berdiri membangun mimpi di atas mimpi”
Bisikku pada semesta “Malam tetaplah pekat, biarkan aku berada lebih lama dipelukkan kekasihku, karena disanalah senyumku terkembang tak berjeda”
Aku pun terlelap, dengan sebuah rasa percaya bahwa mimpi bisa di bangun di atas sebuah mimpi.
***
Purnama ketujuh,
Masih berkalungkan keterkejutan, aku berusaha membakar timbunan-timbunan kenangan yang beranak pinak itu, kenangan yang nampak usang dan mengguning pada sisi-sisinya. Harapku setelah semua terbakar, aku menjadi lupa akan luka kehilangan.
Akan tetapi kenangan itu seumpama kertas, walau terbakar menjadi abu tetap saja meninggalkan jejak.
Pagi yang sama seperti pagi tujuh purnama yang lalu, kali inipun masih kutemukan memori tentangmu diantara riuhnya embun yang berebut mencari perhatian mentari, dengan kisah tentang kita yang sudah berubah letak perannya. Kisah sang pecinta tanpa yang tercinta.
Dirimu sekarang adalah Romeo yang merindukan Cleopatra, padahal itu bukan jalan cerita yang benar
Keputusanmu merindukan Cleopatra menenggelamkan puluhan perahu-perahu yang kuarahkan berlabuh dihatimu. Padahal disana berlaksa harapan dan mimpi sudah siap merapat.
Kau dan aku kini berjarak sejauh matahari dengan Pluto, sejauh cakrawala dengan bumi yang kita pijak bersamaan.
Aku selalu menitipkan harapan pada sayap-sayap malam, agar waktu di senja yang menghitam itu bisa kembali. Walau berjelaga, tapi penuh semiotika yang mengurai ingatan bahwa kau dan aku pernah melebur menjadi kita.
Tanya besar kerap mencuat ketika kesepian hadir, “Mengapa derap sang waktu selalu menjadi hakim agung pada sebuah kisah, sehingga tidak pernah ada sekalipun pilihan tersedia..”
Dan pertanyaan yang berasal dari rahim kesepian akan melahirkan bayi-bayi kehampaan.
***
Percakapan pada sebatang pohon,
Ada yang mengatakan bahwa perasaan sedih hanyalah aliran sesat yang berasal dari otak, bisa dikendalikan menggunakan sugesti. Jadi, apapun yang dirasakan biarkan sugesti yang melawannya.
Omong kosong pekikku dalam hati.
Bagaimana bisa sebuah perasaan mendiskripsikan dirinya sendiri, padahal benci dan rindu berada di tempat yang sama. Di hati yang sama. Cerita yang sama.
Terlebih jalan cerita romansa Romeo dan Juliet sudah melenceng dari kehendak sang penulis.
Menemukan kemudian kehilangan merupakan dua sisi romantisme, yang tidak bisa dipungkiri suka dukanya.
Seumpama sebuah pohon, rindu ini kini merambat sendiri, satu-satunya yang kelak mempertemukan pecinta dan tercinta adalah akar pohon itu sendiri.
***
Masih tentang sebuah kehilangan, yang menjadi hal terberat bagiku sekarang adalah selalu ingin mengingatmu di tengah usahaku melupakanmu dan melepaskanmu, yang memilih dirinya.
Dan,
Tenyata mengingat tentangmu…sama halnya mengeja duka dari A sampai Z
***
*Kutulis ini ketika Wamena tengah di rundung sakrataul maut karena setia yang terberai
Perihnya berasa banget, Aya.
Tapi keren rangkaian kalimatnya.
:2thumbup
Selamat sore Mbk Kim 🙂
Perih ya? Sini aya tambal pake solatip
Terima kasih untuk komennya ya, Mbak
Salam,
NO
bagus. 🙂
Selamat malam Mas Ewin,
🙂 Terima kasih ya untuk komentar positifnya
Salam,
NO
tetap semangat meski kehilangan itu hadirkan luka dihati nanda, postingan yang keren
Selamat siang Bunda,
Tetap semangat kok, Bun
Peluk sayang,
Suka rangkaian katanya..
Selamat sore Bunda Yetty,
Terima kasih untuk komentar positifnya 🙂
Peluk sayang,
rangkaian kata yang sungguh indah..
*isinya.. hiks..
Salam Mbak Novie..
Makasih NK
🙂
sama-sama Mbak Novie..
*terus menunggu goresan-goresan tanganmu, Mbak..;)
nice posting my darling Aya … sukaaaaaaaaa
My darling Emak..Aya menunggu postingannya
hihihihi
Terima kasih Mak untuk apresiasinya
Salam sayang,
sedih kalimat terakhir mengeja duka dari A sampai Z….. sedihnya bakalan panjangg…. hahahahhaha….
hohoho..tenang Ciek..kan A sampai Z nya ga pake akar kuadrat jadi ga bakalan panjang
Terima kasih sudah tertawa seksi di sini..*cup..kecup jempolnya
Salam sayang
Napa jadi berasa sedih ye?
yuk Ay, jajan es cendol dulu, biar dukanya ilang
Es cingcau aja Mas Hans 🙂
Selamat petang Mas Nandar,:)
Maaf jika terbawa sedih..
Terima kasih ya sudah berkenan membacanya
Salam,
NO
ayaaa….. maaf baru hadir nih….
emosinya dapat banget… senang bacanya…
Iya, Mom
Makasihhhh sudah emosi hihihi
Diksimu kereeeeennnn say……..
Makasih Titi Jingga :*
Diksinya Titi Jingga yang seksi menularkan virusnya ke Aya:)