Memandang Dunia, dari Sudut Mana Engkau Melihat
Oleh Odi Shalahuddin
Jujur sajalah, tempat kita berdiri, tempat kita berpijak, bukan berarti dari situ pula pikiran dan penglihatan kita beranjak. Menyedihkan, kerapkali kita justru asing dengan realita sendiri. Bahkan takut dan meniadakan realita tersebut sejak dalam pikiran kita. Pada saat bersamaan, kita merasa telah mengetahui segala hal di dunia.
Tidaklah mengherankan, dunia yang kita arungi adalah dunia tanpa batas. Ketika sekat-sekat semakin sempit, kita mampu membuat loncatan-loncatan sedemikian dahsyat sehingga kita mengetahui apa yang tengah terjadi di belahan dunia lain, yang teramat jauh, dan barangkali hingga mati belum pernah tersentuh oleh jejak kaki kita.
Kita sedemikian canggih bertutur mengisahkan tentang dunia lain. Tergagap-gagap ketika dihadapkan pada situasi nyata di sekeliling. Ah, terlupa tentang tanah, air, lumpur dan tetumbuhan. Barangkali juga siapa saja para tetangga. Pun sebelah atau depan tempat tinggal kita.
Pada dunia tanpa batas, fisik malah terpenjara dalam ruang. Pikiran melanglang buana, melesat jauh, jejak langkah semakin terbatasi. Tragisnya, tidak ada yang protes menjalani kehidupan macam ini. Dinikmati. Ternikmati.
Segalanya ada. Dapat dihadirkan dalam ruang-ruang privasi. Gagasan gila meletakkan dalam kamar mandi, bisa pula menjadi hal yang biasa-biasa saja. Televisi, komputer dan seperangkat alat elektronik lain.
Belanja kebutuhan sehari-hari, tinggal klik!
Mau tahu siapa tokoh selebritis yang tengah melakukan PDKT, tinggal klik!
Mau tahu siapa tokoh selebritis yang tengah terancam hubungannya sebagai pasangan, tinggal klik!
Mau tahu siapa tokoh selebritis yang jelang nikah, tengah mengandung, melahirkan, atau jalan-jalan saja, juga tinggal klik!
Dunia saat ini adalah dunia klak-klik-klak-klik. Dunia tombol-tombol. Dunia kata kunci. Dunia saling menjebol tanpa tahu siapa anda dan siapa aku. Dunia tanda tanya yang tiada perlu dipertanyakan lagi.
Kita, adalah sang pemuja. Kita telah serahkan hidup kita padanya. Bencana! Ya, bencana, saat perjalanan tersendat. Lemot! Bencana besar! Ya, bencana besar, bencana maha dahsyat tatkala listrik mati atau wilayah tanpa sinyal. Kita bisa terkapar, merutuki para pengusaha dan penguasa yang dianggap tidak becus untuk mengelola kehidupan!
Keinginan yang telah dicipta menjadi kebutuhan. Makan, sebagai kelangsungan kehidupan, barangkali sudah menjadi nomor kesekian dalam rencana anggaran pengeluaran keluarga. Cobalah tengok, lembaran-lembaran pengeluaran selama ini, bila engkau tak percaya.
Maka, perubahan macam apa yang kita inginkan dan kita harapkan bisa hadir dalam dunia kita, saat kita merasa bahwa dunia benar-benar sudah menjamin rasa dahaga dan lapar bagi otak kita. Bukan dahaga dan lapar dari dalam tubuh kita sendiri?
Memandang dunia, bukan, dan yakinlah benar, bukan lagi dari tempat kita berpijak melainkan dari mana kita melihat. Melihat yang benar-benar terlihat dan terbaca.
Jadi, ah, tak mengherankan bila nasib kita memang seperti sekarang ini, seperti yang engkau, aku dan kita alami.
Manstaf 🙂