
Semakin lama saya bekerja, semakin saya sadari bahwa para pekerja rata – rata dijerumuskan pada nilai ‘seribu tiga.’ Jika tak suka dengan pekerjaan silahkan ‘out’, karena nilai Anda ‘seribu tiga.’ Anda pergi, tiga orang langsung mengantri untuk posisi lowong pekerjaan Anda. Wouw! He-he-he… Banyak perusahaan, banyak pemilik usaha atau orang – orang yang bossy mengaku akan ‘mempekerjakan’ tetapi pada prakteknya ada misi yang lebih mulia yaitu berusaha ‘menolong’.
Pemberi kerja merasa ‘menolong’ dengan memberikan pekerjaan kepada siapapun juga para pekerja. Akibatnya nilai pekerja disama-ratakan. Kalau tidak mau kerja, masih banyak yang lain yang berminat dan BU (alias butuh uang). Uang kemudian dijadikan tumbal yang diendus – enduskan ke hidung para pekerja. Yang mau uang, langsung kerjakan apa yang diperintahkan oleh para ‘boss’. Kalau perlu cuci sandal jepit dan membasuh kaki boss akan dilaksanakan. Lucunya yang mengaku boss juga macam – macam. Ada yang memang korporat raksasa, ada yang modal pas – pasan, bahkan ada yang modal dengkul (tulisan terkait : Maaf, tolong dan terima kasih). Banyak sekali orang yang merasa ‘menolong’ dengan memberikan pekerjaan. Mulianya!
Menurut Anda, apakah bekerja sama dengan tolong – menolong? Menurut saya sih, bekerja itu serius lho! Ada jam-nya, ada ketrampilannya, ada kemampuan adaptasi, ada kemampuan sosial, kemampuan problem solving, bonding dengan teamwork, bahkan kemampuan berpenampilan juga sedikit banyak mempengaruhi (tulisan terkait: dari mata turun ke hati). Kalau menolong, jangan mengharap tinggi pekerja dengan ketrampilan – ketrampilan tersebut diatas. Menolong itu kasarnya gratis dan ikhlas! Sehingga ketika timbal balik yang diperoleh dari para perkerja yang careless alias asal – asalan diperoleh, pemberi kerja juga tidak dapat berbuat banyak. Dalihnya menolong, jadi asal memberikan pekerjaan dengan gaji yang ngasal juga, bahkan banyak yang berakhir ‘bodong’ alias tidak dibayar. Kemudian dapat pekerja yang ‘tulalit dungbret’. Keduanya lalu bersangkutan, saling tidak menyukai, menyalahkan satu – sama lain, merasa saling dirugikan. Si pekerja merasa dibayar murah, si pemberi kerja merasa ngapain mahal, dibayar segitu saja pekerjaan tidak beres! Ada pepatah, jika yang dilempar hanya kacang – kacangan, maka yang datang juga hanya monyet – monyet. Itulah lingkaran setan dunia kerja.
Pekerja yang baik pun, kadang tersisihkan oleh ‘lingkaran setan dunia kerja.’ Baik, kompeten, rajin, berdedikasi dan sebagainya kadang diluputkan dengan alasan budget, nepotisme, like and dislike bahkan dengan alasan kasar seperti bullying atau superior. Bekerja, ketika belum mencapai karir atau capaian yang seharusnya, dinyatakan sebagai ‘Anda belum beruntung.’ He-he-he, seperti undian ya!… Lalu bilangan usia itu muncul berderetan dari 20-an, 30-an, 40-an dst. Mau mengulang karir dari bawah, terlambat. Mau merangkak ke atas sulit, apalagi nilai rata – rata pekerja adalah ‘seribu tiga.’ Bekerja itu seharusnya dibedakan dengan menolong. Bekerja itu harus serius, perusahaan harus serius, boss harus serius, depnaker harus serius, organisasi perburuhan harus serius dan pekerja sendiri harus serius. Buktikan, Anda bukan pekerja dengan nilai ‘seribu tiga.’!
Saya tadi membaca tulisan di tabloid, sebuah tajuk tentang kasus yang sedang hangat – hangatnya. Majikan menyiksa belasan pembantu dengan kasar dan sesukanya. Sang majikan berdalih, ‘hanya berusaha menolong,..’ Lagi – lagi pemberi kerja yang berhati ‘mulia’ dan ingin menolong orang – orang susah. Permasalahan utama di negara kita adalah SDM yang luar biasa banyaknya, dengan skill yang ala kadarnya. Manusia banyak sementara pekerjaan sedikit, pembangunan tidak merata, semua tumplek ke ibukota. Manusia sedemikian banyak, dengan ketrampilan yang dianggap rata – rata sama. Kalau cuma jadi pembantu atau manggul karung beras, mungkin semua juga bisa, Anda dan saya (aduh, saya ngga kuat dhing, manggul beras,..)! Itulah lingkaran setan dunia kerja, hingga merambah ke ranah pembantu rumah tangga yang acapkali disiksa. Berdalih mempekerjakan sekaligus menolong, sering berakibat fatal lho! Lebih baik mempekerjakan dengan point – point yang jelas dan jika menolong dengan hati tulus ikhlas.
Dinamika dunia kerja, ada memang yang memang niat menolong denganbuka usaha, tapi juga minta tolong kepada pekerja bekerja dengan baik, jadi kebanyakan karena butuh dan mempertahankan hidup mau gak mau setelah ditolong lalu didorong2.
Saya mengenal dua teman yang prinsipnya kuat dalam hal kerja, yang pertama lebih baik saya yang pecat boss daripada dipecat boss , kalau boss salah, misalnya marah2 tanpa sebab bakal dipecat duluan.
Yang kedua, manager produksi di tempat saya sekarang, dia bilang, bukan saya yang cari kerja tapi kerja yang cari saya. Pernah ketika sudah kerja sekian lama nego kenaikan gak gak disetujui, dia langsung mengundurkan diri, padahal dari bos korea menyetujui permintaan gajinya, tapi dari bos lokal menolak.
Apa yang terjadi? Setelah ganti manager baru, sanagt terasa akibatnya produksi langsung menurun drastis, ditambah banyak pekerjaan yang reject. Diadakan penambahan jumlah karyawan, tapi target tetap tidak tercapai.
Tiga bulan kemudian manager lama dipangil lagi, permintaan dipenuhi dan dapat fasilitas mess, gaji double, karena dari bos lokal dapat dari bos korea dapat. Kalau gak begitu dia gak mau, karena orang korea aja yang kerjanya standar aja dibayar 40 juta
Pak Kate ketika saya sadar, Anda bekerja pada Perusahaan Korea, dalam hati saya ‘makjlebs’. Boss saya bukan orang Korea, tetapi wakil dari perusahaan yang sering menghadapi client Korea antara lain :saya! bwehehe… Jadi tanpa penjabaran pun, saya terbayang…
Coba tengok kanan – kiri Pak Kate, di negara kita ini di dalam maupun di luar negeri mungkin sebagian besar masyarakat kita masih ‘mburuh’…dan mirisnya di dalam negeri sendiri pun banyak dr kita ‘mburuh’ pada bangsa lain…dengan hak – hak yang tak jelas dan ‘lolos’ dari inspeksi depnaker…Ini karyawan lho, kalo masalah pembantu rumah tangga dan TKI harus didirikan departemen khusus barangkali di pemerintahan??