
MEMPEROLOK DIRI SENDIRI
Oleh Odi Shalahuddin
Mengolok-olok orang lain, apalagi saat kongkow bersama, tentulah teramat mudah. Apalagi bila olokan bersambut dengan komentar kawan lainnya, wah, pasti makin seru sajalah. Tapi pernahkah kita berpikir, bagaimana perasaan orang yang menjadi korban olok-olok. Terlebih bila sosok yang sama yang selalu menjadi korbannya. Bila dirimu belum pernah menjadi korban, maka bayangkan sajalah agar mudah untuk memahami.
Seorang kawan pernah mengingatkan kepada diriku dalam suatu perbincangan beberapa tahun lalu. “Orang yang hebat adalah orang yang berani memperolok-olokkan kekurangan dirinya sendiri di hadapan orang lain,”
Kata-kata itu melekat sekali dalam kepala. Tapi memang susah untuk mempraktekkan. Aku mulai mencoba untuk mencermati diantara kawan-kawanku yang memiliki kecenderungan semacam itu. Ya, ternyata ada pula beberapa kawan yang enteng untuk mengejek dirinya sendiri. Orang-orang macam ini biasanya adalah orang yang terbuka, bicara selalu lugas, dan konsisten sikapnya.
Pelajaran tidak selalu dari hal-hal yang baik saja. Kekurangan, kelemahan ataupun kegagalan pastilah bisa dijadikan sebagai pelajaran. Sebagai cermin bagi diri dan juga bagi orang lain. Nah, pernahlah, dalam konteks berpikir seperti ini, aku mencoba mempraktekkan untuk berbicara tentang sesuatu hal dengan menjadikan diri sendiri sebagai korbannya, yaitu melalui status-status Facebook. Kubuat betapa bodohnya aku, betapa jadulnya diriku terhadap perkembangan, betapa sesatnya aku dalam pemahaman yang membuta.
Awalnya, asyik-asyik saja. Banyak komentar menyatakan keprihatinannya, memberikan masukan yang menggairahkan, memberi saran bagi jalan keluar, dan sebagainya. Ah, tentulah aku merasa mendapat pelajaran banyak dari segenap komentar yang hadir. Kurasa kawan-kawan lain bisa pula saling mendapatkan pencerahan.
Namun, istriku kemudian menegur. Banyak kawan-kawan dekat melalui istriku memberikan peringatan dan saran agar aku tidak menjelek-jelekkan diri sendiri. ”Orang bisa berpandangan lain dan menganggap bahwa demikianlah adanya si Odi itu,”
Aku yakin saran dari kawan-kawan adalah bentuk kecintaan terhadap diriku. Ah, menyenangkan sekali. Tapi aku juga harus menjaga perasaan istri. Karena itulah status-status yang ”memperolok” diri sendiri kuhentikan, walau sesekali sempat juga terlontarkan.
Nah, bagaimana dengan dirimu? Siapkah untuk memperolok diri sendiri sebagai bahan pelajaran bagi orang lain? Kecenderungan manusia adalah akan lebih tajam melihat kelemahan dan kekurangan orang lain. Tentu saja, menunjukkan keberhasilan diri kita, dengan semangat menuju keberhasilan juga tetap menjadi pelajaran untuk memotivasi dan memacu semangat orang lain.
Bung Odi, kalau diri sendiri saja tidak mau menghargai bagaimana dengan orang lain? Bersyukurlah dengan segala kelebihan dan kekurangan yang kita miliki karena Tuhan menciptakan manusia itu unik dan istimewa. Apa yang kita miliki belum tentu dimiliki oleh orang lain. salam
Selamat pagi Mbak Anita Godjali..
Ya, jadi, sesungguhnya tidak ada orang bodoh
masing-masing punya kelebihan
sehat dan selalu semangat, Mbak..
memperolok diri sendiri identik dengan rendah hati ya? harusnya lebih bagus daripada mengutarakan kebaikan kita yang ujung-ujungnya adalah melahirkan sikap sombong…
Sepakat Mbak Ayu..
Manstaf 🙂
siang pak Odi, lama tak bersua he he he