Beberapa kali saya tertarik membaca pemberitaan tentang Nh. Dini. Beliau adalah salah satu penulis wanita yang menjadi idola sejak saya masih duduk di bangku SD. Sudah berpuluh tahun silam ketika pertama kali saya membaca buku – buku Nh. Dini seperti Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko dan Sekayu. Lamat – lamat kisahnya sudah mulai terlupa. Namun nama Nh. Dini tentu tak pernah saya lupakan.
Terakhir secara tak sengaja saya menemukan buku Nh. Dini yang rasanya belum saya baca, jadilah saya membaca buku itu judulnya Argentuil, Hidup Memisahkan Diri. Buku ini menceritakan kegetiran Dini sebagai seorang istri. Saya rasa buku ini ditulis menjelang perceraiannya dengan sang suami. Seperti biasa buku – buku Nh. Dini selalu menguras rasa kagum dan haru. Bagaimana seorang perempuan seperti Dini begitu pandai mencatat aneka kisah kehidupannya, dan kehidupan Dini sendiri menurut saya sungguh luar biasa. Banyak pengalaman yang menempa dirinya dan dapat menjadi inspirasi para wanita.
Memandang sosok Dini barangkali orang akan terpikir bahwa dirinya akan bersinar terang – benderang dan hidup penuh gaya seperti kebanyakan penulis wanita yang seakan – akan digambarkan hidup dengan glamour. Padahal tidak demikian halnya, Dini hidup sendiri di Indonesia dan bahkan kabarnya kini tinggal di sebuah Panti Wreda di Yogyakarta. Di masa sekarang ini, Dini kadang terserang penyakit dan banyak dibantu oleh komunitas sesama penulis dan orang – orang lainnya. Banyak yang bertanya – tanya dimana anak – anak Dini?
Suatu kenyataan mengejutkan, ternyata anak kedua Dini yaitu Pierre Padang Coffin adalah sutradara Despecable Me. Film animasi Hollywood yang mendulang sukses luar biasa. Sebuah tulisan yang saya baca beberapa waktu lalu memberitakan kesuksesan Pierre yang juga seolah menenggelamkan kemilaunya dalam posisi sebagai anak yang tidak memperhatikan ibundanya yaitu Nh. Dini. Seakan sebagai sutradara kenamaan kelas Hollywood, Pierre justru acuh dengan kondisi ibunya yang tinggal di Panti Wreda. Tulisan tersebut sedikit mengusik saya karena Dini berada di Indonesia tapi Pierre di luar negeri. Sehingga keadaan Dini lalu menjadi justifikasi bahwa Pierre tidak memperhatikan ibunya sama sekali. Benarkah? Sungguhkah kita tahu?? Bagimana suara Pierre sendiri tentang hal ini?
Hubungan bapak dan anak, ibu dan anak, suami dan istri, kakak dan adik, adalah hubungan – hubungan yang menurut saya sifatnya sakral dan hanya bisa dimengerti oleh manusia – manusia yang terikat dalam hubungan itu sendiri. Saya kurang setuju tulisan yang seolah mendiskreditkan seorang anak atau seorang ibu atau seorang suami. Tidak, tanpa wawancara terekam dan bukti lengkap! Selalu ada dua sisi mata uang dan selalu ada sisi gelap yang tidak terungkap. Ada hal – hal yang sesungguhnya tidak dimengerti oleh orang luar atau orang lain. Dalam usia yang lebih muda saya cenderung mengikuti suara mayoritas bahwa jika ibu menderita pasti anaknya durhaka, jika anak dicubit pasti orang-tuanya kejam. Namun kini di usia sekarang, saya sadari, bahwa alasan – alasan dibalik itu, sesungguhnya saya kurang tahu. Maka saya belajar tidak terburu – buru menghakimi walaupun secara tak sadar pasti ada penilaian yang muncul di benak saya.
Jika ada keinginan untuk menolong, menghargai dan menempatkan Dini sebagai sosok penulis wanita di Indonesia yang saya akui memang luar biasa, menjadi bias dan sedikit aneh jika kemudian kita melihat dan menuding anaknya, yaitu Pierre yang menjadi sutradara Hollywood kok seolah acuh dengan keadaaan ibunya. Apa hubungannya? Biarlah Pierre menemukan kesadaran dan keinginan dari hatinya sendiri untuk mencintai ibunya dengan caranya. Jikapun kita, sebagai orang luar ingin memperhatikan Dini tidak usah melirik ke arah Pierre dan menduga yang tidak – tidak tentang perilakunya terhadap sang ibu, Dini. Mungkin dapat dibuat komunitas penggemar Dini dan dilakukan penggalangan dana atau hal lainnya. Tapi tidak lalu menuduh Pierre kurang mengurus ibunya, dsb. Sesungguhnya itu wilayah yang pribadi.
Banyak hal dalam kehidupan sosial, bertetangga dan berkomunitas membuat kita kadang meneguk ludah, mencibir diam – diam, meleletkan lidah, menyindir dan menuduh yang tidak – tidak tentang orang lain. Menilai sah – sah saja. Kadang memang tak dapat dihindari, isi kepala kita kemudian bekerja sebagai akuntan. Menghitung untung – rugi dan baik buruknya tentang seseorang. Boleh – boleh saja kita melihat aneka perilaku dan bergumam sendiri dalam hati. Yang sedikit menggelikan melihat ‘bungkus’ luar saja, lalu orang juga dengan mudah memberikan penilaian, “Oh, pake rok super mini, pasti dia….”. Menilai boleh saja, tapi tak usah menghakimi. Biarlah penilaian itu menjadi rahasia hati masing – masing orang. Sampai terbukti bahwa penilaian itu benar atau salah.
Life is a journey, feel it!
J.W.
Mbak Winda, catatan yang sangat berharga, kalau cuma menilai mungkin masih wajar, tapi setelah menilai malah menghakimi dan menimpuki lagi hehehe :2thumbup
biasanya kejadian maling ayam yang gitu ya Pak Kate…hehheheh
Mbak Winda, ada pepatah, “Jangan menilai buku dari sampulnya”. mungkin itu hampir sama ya? Kebiasaan kita terlalu cepat menilai berdasarkan yang kasat mata. Salam
memang agak sulit ya Mba Anita hiihi..ngga menilai berdasarkan cover tampilan…mungkin menilai boleh untuk precautions – kehati-hatian dalam bersikap,….tapi jangan lalu menghakimi dan memvonis duluan..
kayaknya agak sulit merahasiakan penilaian… sulit sulit :ngakak
wahaaaa…liat yg mini – mini langsungg…mak jleph..
kayaknya itu naluri deh .. ha h ha ha… :request
Pierre yang mana?
Hihihi
Pierre kabareee Mas Armand…