Korupsi merupakan tindakan kejahatan yang luar biasa. Kalau kita pikirkan lagi jauh lebih sadis dari seorang pembunuh atau garong. Bagaimana tidak? Jika seorang garong akan membunuh hanya sebatas untuk membela diri dalam kondisi terjepit ketika seseorang mengetahui aksinya. Tentu korbannya hanya orang yang sedang bernasib sial atau tidak mujur karena mengetahui aksi kejahatan. Namun, para koruptor sangat berbahaya karena mereka akan tetap bertindak walau ada yang mengetahui. Mereka ini tidak akan membunuh perorangan secara fisik, tetapi rakyat banyak yang secara sestemik akan terbunuh. Mereka akan menghancurkan dan memiskinkan negara karena mewariskan hutang negara kepada anak cucu kita. Korupsi ini telah menjadi epidemi yang sangat membahayakan kelangsungan hidup bernegara.
Korupsi di Indonesia ini telah berkembang secara masif bahkan sangat sistemik. Melakukan tindak korupsi seolah tidak lagi menjadi perbuatan yang memalukan. Kini korupsi seolah menjadi hal yang biasa. Bahkan tokoh-tokoh masyarakat yang sebelumnya gencar kampanye anti korupsi kini satu persatu telah menjadi penghuni hotel prodeo karena dugaan korupsi.
Pertanyaannya sampai kapan hal ini akan berlangsung? Tokoh yang dengan garangnya berkampanye “KATAKAN TIDAK PADA KORUPSI”, tetapi dia sendiri masih melakukannya. Tentu kesimpulan sementara masyarakat awam “Bagaimana dengan yang diam saja?” . Pasti mereka akan lebih leluasa karena tidak memiliki beban moral dengan slogan-slogan yang diumbar ke masyarakat.
Sekarang bagaimana dengan aparat yang harus memberantas korupsi? KPK kita sebut saja, tentu tak akan bertindak dengan gegabah. KPK akan mencari bukti yang akurat sebelum menyeret seorang tersangka pelaku korupsi. Akan tetapi, tentunya bukti kejahatan berskala kecil yang akan mudah ditemukan. Hal ini logikanya sangat sederhana. Apabila kejahatan besar tentu akan melibatkan lebih banyak pihak yang memiliki kekuasaan. Sehingga akan perlu keberanian dan waktu yang lebih lama untuk mengusutnya.
Melihat kinerja KPK ini, saya menganalogikan dengan seorang nelayan yang mencari ikan di laut lepas. Seorang nelayan ketika mencari ikan akan menggunakan berbagai peralatan yang menurutnya cukup memadai. Harapannya bisa mendapat hasil yang memuaskan. Namun, tak dapat dimungkiri ada faktor lain yang akan ikut menentukan hasil. Di samping kecanggihan alat, cuaca pun akan ikut menentukan hasil tangkapan.
Pun demikian, dalam tugasnya seorang nelayan juga memiliki kode etik. Kode etik penangkapan ikan ini tak lain untuk menjaga stabilitas. Sebut saja contoh, nelayan bisa menggunakan pukat harimau atau bom untuk mendapatkan tangkapan yang banyak dan besar. Namun hal ini harus dihindarkan demi kelangsungan kehidupan biota laut . Selain itu, ikan-ikan yang boleh ditangkap juga ada batasannya. Penangkapan ikan kecil dan ukuran sedang masih boleh dilakukan, tetapi ikan yang besar harus tetap dilestarikan. Para ahli akan mengamukakan alasan menjaga kepunahan atau menjaga ekosistem laut.
Nah, logika yang sama bisa kita implementasikan pada kasus penanganan korupsi. Penanganan korupsi oleh KPK ini tentu juga dilandasi oleh kode etik dalam pelaksanaannya. Kita tidak bisa menutup mata kinerja KPK memang sudah baik. Mereka getol melaksanakan tugas memburu para koruptor. Akan tetapi, kinerja mereka sama seperti nelayan di laut tadi. Mereka selama ini masih hanya menangkap ikan yang kecil-kecil saja. Ikan yang besar masih belum tersentuh. Mungkin mereka juga punya etika seperti halnya para nelayan, bahwa para koruptor besar juga harus tetap dilindungi demi stabilitas negara.
Logikanya memang masuk akal, mengingat KPK kependekan Komisi Pemberantasan Korupsi bukan Komisi Pencegahan Korupsi. Seandainya yang ada Komisi Pencegahan Korupsi tentu ceritanya akan lain lagi. Dengan demikian pantaslah jika korupsi ini akan sangat sulit diselesaikan. Pemberantasan ini akan sangat sulit ketika korupsi sudah mengepidemi. Tentunya akan sangat sulit memberantas korupsi jika hal ini sudah menjangkiti seluruh lapisan masyarakat. Namun, akan jauh lebih mudah jika kita melakukan pencegahan. Pencegahan itu akan lebih efektif karena kita menerapkan sebelum kejadian.
Dengan demikian, pemberantasan korupsi ini memang tidaklah mudah. Menjaring para koruptor besar akan sangat sulit. Seandainya sudah ketahuan ada koruptor besar, tetap harus ada beberapa kode etik yang harus diperhatikan. Oleh karena itu, menjaring koruptor di Indonesia memang sama sulitnya dengan menjaring ikan di laut lepas. Banyak faktor yang dapat menentukan keberhasilan tersebut. Mungkin nelayan tahu kalau ada ikan yang besar, tetapi apakah alat yang dibawanya cukup memadai atau justru bisa membahayakan keselamatan mereka? Begitu pula dengan KPK dalam melaksanakan tugasnya. Mungkin mereka tahu ada yang perlu diwaspadai, tetapi apakah mereka cukup bukti untuk menangkap koruptor besar atau justru membahayakan keberadaan mereka? Walahualam….
Salam Ketikers-AST
good job, anita
Trims, Mas Admin
Koruptor…yang sudah ketangkap saja masih ketawa ketiwi, urat malunya sudah putus, salam
itulah potret pemimpin negri kita Mas, memprihatinkan…salam kenal
mesti ada kekuatan yang lebih besar dari KPK untuk memberantas koruptor, kelihatan pemerintah belum maksimal mendukung
Mas Kate, ada yg berpendapat klo koruptor itu memang perlu dilestarikan oleh pemerintah. Lihat aja klo korupsi besar dari Ordebaru sampai sekarang tidak pernah diselesaikan. Salam trims dah mampir