Menulis, apalagi mempublishnya ke ruang publik, tentulah ada banyak motif di dalam diri penulisnya. Motif ketika menulis dan motif ketika mempublish. Keduanya bisa berbeda motif, tapi bisa saling berhubungan dan menguatkan. Motif, diakui saja, sebab sama sekali bukanlah dosa.
Saya yakin, ada persamaan yang hinggap secara sadar atau dibawah sadar para penulis, terutama ketika menyebarluaskan tulisannya ked alam bentuk media apapun. Jujur saja, pasti semua senang bila tulisannya dibaca oleh sebanyak mungkin orang. Satu hal yang tidak bisa dielakkan, bila semakin banyak orang membaca tulisan-tulisanmu, maka dirimu tentunya akan lebih banyak dikenal. Bukankah itu hal yang wajar dan tidak mengada-ada. Jadi janganlah terlalu resah atau bersemangat untuk menyembunyikannya.
Menulis bagi dirimu bisa jadi hanya sebuah ruang ekspresi untuk menuangkan segenap rasa. Menjadi curhat dan berbagi kepada kawan-kawan lain, berharap ada masukan sehingga bisa terkurangi beban di hati.
Tapi bisa pula menulis dilandasi dengan niat untuk berbagi kebahagiaan, menghibur, memberikan informasi, ataupun menggoda transaksi pemikiran akan suatu persoalan.
Reaksi pembaca juga bisa beragam. Bisa sesuai dengan niat atau maksud ketika kita membuat tulisan, bisa pula berkebalikan. Misalnya, suatu tulisan yang kita maksudkan sebagai hiburan, bisa jadi diterima oleh para pembaca sebagai bentuk penghinaan. Suatu tulisan yang kita anggap sebagai curhat, bisa jadi malah dianggap pembaca sebagai tulisan yang mampu melahirkan imajinasi dan melahirkan inspirasi.
Seringkali kita menjumpai adanya penulis yang menganggap pembacanya bodoh ketika memberikan komentar yang tidak sesuai dengan maksud penulisnya. Ia akan memberikan argumentasi bahwa tulisannya memiliki makna tertentu. Meminta pembaca agar berhati-hati membaca dan memaknakannya lagi. Sungguh, pasti banyak orang tak suka dengan tipe penulis macam ini. Bukankah karya yang dilahirkan dan dilempar ke publik sudah menjadi makhluk yang bisa dimaknakan apapun oleh para pembacanya? Bila pemaknaannya berbeda dengan maksud dari penulisnya, maka yang layak berefleksi adalah penulisnya itu sendiri, daripada hanya menyalahkan para pembacanya. Tak peduli ia memiliki kepintaran. Tapi begitulah nyatanya.
Jadi, menulislah. Menulislah apa yang hendak kau tulis. Dengan motif apapun. Jadikanlah. Lemparkanlah. Biarkan pembaca memberikan penilaian. Jangan terkejut bila orang memahami berbeda. Jangan ngotot mempertahankan pendapat dengan mengabaikan pendapat orang lain. Jangan frustasi bila tulisanmu dianggap sampah. Jangan lupa diri bila berjuta pujian membelai hatimu. Sesungguhnya komentar dari para pembaca menunjukkan sejauh mana penilaian mereka terhadap tulisan-tulisanmu. Mensikapi dengan dingin dengan semangat membangun diri, akan menjadikan komentar-komentar itu sebagai pelajaran yang berharga bagi diri kita.
Jadi, ayolah segera mainkan jemarimu. Menulislah apa yang hendak kau tulis.
Odi Shalahuddin, Yogya, 17 Mei 2011
Catatan: Tulisan lama yang semoga masih bermanfaat.
yups mainkan jemari sambil ingat pak Odi, :shakehand2
Ha.ha.h.ah.a Pak Katedra…
ayo.. ayo.. jangan henti mainkan jemari
ciptakan tulisan
tentang peristiwa
tentang gagasan
tentang..
apa saja…
ini lagi mainkan jemari 😀
Percaya.
percaya..
sungguh aku percaya…
padamu Pak dozenku, Armand…
jd pengin mainin jari.. :2thumbup
thx, om Odi
mari..mari..
jangan meragu
met malam Bung Heri Purnomo
inspiratif, pak Odi. :2thumbup
Nuwun Mbakyu Ayu larasati..
semangat dan sehat selalu..
Manstaf 🙂
Manstaf 🙂