NASIBKU DIUJUNG TANDUK, SELAMATKANLAH AKU

Pangan

Indonesia, Negara yang dikenal sebagai negara agraris sepertinya hanya tinggal semboyan belaka. Di era modern seperti sekarang ini faktanya Indonesia masih belum mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangan negerinya sendiri. Indonesia masih saja mengandalkan impor bahan mentah ataupun bahan jadi dari Negara lain. Masih pantaskah titel sebagai negara agraris melekat untuk Indonesia? Sungguh ironis memang, negeri yang subur makmur akan limpahan sumber daya alamnya ini harus berteriak meminta bantuan pihak luar dalam memenuhi kebutuhan hidup warga negaranya. Padahal ketika tahun 1985, Indonesia mampu berswasembada pangan.

Masihkah kita ingat dengan lagu ini “ orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman.” Ya, lagu ini merupakan gambaran kepada kita bahwasanya Indonesia adalah negara yang begitu kaya akan sumber daya alamnya dan sangat subur akan tanahnya. Sehingga dari sinilah Indonesia pantas mendapatkan titel sebagai negara agraris.

Sejak dulu, sebagian besar masyarakat Indonesia memang bermata pencaharian sebagai petani. Tercatat di tahun 1983, 53% dari penduduk Indonesia adalah petani. Tidak heran, dua tahun setelah itu tepatnya tahun 1985 Indonesia mampu berswasembada pangan.

Namun, semakin berkembangnya zaman keberadaaan para petani mulai terusik, semakin tergeser, dan terpinggirkan dengan ditemukannya penemuan baru (kecanggihan teknologi:red) dan sekelumit problematika yang menghadang mereka. Terbukti di tahun 1998, penduduk yang masih bertahan concern dalam sektor pertanian menjadi 45% saja. Dan berdasarkan data sensus pertanian disebutkan telah terjadi penurunan dari 31,17 juta pada tahun 2003 menjadi 26,13 juta lagi pada tahun 2013. Artinya, telah terjadi penurunan angka sebesar 5,04 juta penduduk yang masih bertahan dengan rumah tangga usaha pertaniannya. Ironis, semakin berkembangnya zaman sektor pertanian malah terancam dan justru collapse.

Masalah-masalah tersebut diatas disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah :

  1. Alih Fungsi Lahan

Tidak sedikit lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi lahan industri dan perdagangan. Sebagian besar alasan mereka mengubah lahan pertanian tersebut karena mereka merasa rugi. Hasil dari pertanian tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka sendiri. Padahal, mereka sudah bersusah payah dan berjuang keras. Namun tetap saja, penghasilan mereka terbilang kurang dan bahkan memprihatinkan.

Tak heran, jika beberapa rumah tangga usaha pertanian di beberapa daerah mengundurkan diri (berhenti beroperasi atau produksi:red) karena tidak seimbangnya pendapatan mereka dengan tanggungan pengeluaran yang harus mereka keluarkan. Sebut saja di Provinsi Aceh yang sekarang tersisa 644.782 unit lagi atau menyusut sebanyak 54.588 unit dibanding angka empat tahun lalu. (berdasarkan ungkapan Kepala BPS Aceh, Azhar M Yatim dalam konferensi pers di Banda Aceh).

  1. Harga Jual Hasil Pertanian yang Murah
Baca juga :  Marketing Strategy, Pengantar Menuju Piala Dunia

Alasan yang paling sering dikeluhkan para petani adalah karena harga jual hasil pertanian yang terbilang sangat murah. Mereka–para petani– menjual hasil pertanian mereka kepada tengkulak tanpa mengetahui harga pasaran nasional yang ditetapkan pemerintah. Sehingga yang mendapatkan keuntungan itu bukanlah para petaninya melainkan para tengkulaknya. Inilah sebab mereka–para petani– berpikir ulang untuk tetap bertahan dalam bidang pertanian atau tidak.

  1. Sistem Produksi dan Distribusi Impor

Masalah ini tidak kalah krusialnya dalam menghambat dan membuat para petani untuk beralih profesi. Dalam hal ini, pemerintah mempunyai peranan yang sangat penting. Karena ada ditangan merekalah—pemerintah– nasib para petani kedepannya. Jika pemerintah menetapkan kebijakan yang pro terhadap para petani, maka keberadaan para petani akan semakin banyak, bak jamur dimusim hujan. Namun, jika kebijakan dan peraturan yang dibuat pemerintah justru kontra kepada petani. Semakin jelaslah akan banyak lagi rumah tangga usaha pertanian yang lebih memilih untuk membanting stir.

Seharusnya pemerintah tidak gerasak-gerusuk (ceroboh:red) dalam membuat kebijakan dan menentukan langkah yang diambil. Karena sedikit saja pemerintah salah langkah, imbasnya akan sangat terasa untuk jangka waktu yang sangat panjang. Contohnya, setelah Indonesia menyatakan diri masuk sebagai anggota organisasi World Trade Organization (WTO) dan perdagangan bebas lainnya. Berawal dari organisasi-organisasi inilah yang menyebabkan runtuhnya masa kejayaan swasembada pangan dulu. Karena barang-barang komoditi dari luar negeri dapat masuk dengan mudahnya ke negara kita meskipun ada peraturan kebijakan tarif bea dan pembatasan kuota impor.

  1. Mahalnya Pupuk, Pestisida, dan Kebutuhan Lain

Masalah semakin bertambah dengan mahalnya harga pupuk, pestisida, dan kebutuhan petani lainnya. Petani akan berfikir berulang kali untuk memutuskan tetap bertahan di sektor pertanian ataukah tidak dikarenakan hal tersebut. Seharusnya pemerintah memberikan proteksi dan subsidi kepada para petani. Sehingga para petani tetap terdorong untuk bertahan di sektor pertanian.

  1. Kurangnya Infrastruktur dan Sarana Pendukung

Seperti yang sudah kita ketahui, morfologi di setiap daerah di Indonesia tidaklah sama. Ada daerah yang sangat mudah irigasinya namun ada juga yang sangat susah. Disinilah peran pemerintah sangat diperlukan. Yakni membuat saluran pengairan (irigasi:red) di daerah yang sulit mendapatkan air dan sarana penunjang lainnya. Sehingga para petani tidak terlalu bersusah payah dalam mengelola pertanian dan ladang yang kekurangan air (kekeringan:red). Mereka akan terasa sangat terbantu. Dengan infrastruktur dan sarana yang memadai, pastilah para petani akan semakin giat untuk memajukan dan menumbuhkan sektor pertanian. Sehingga pertanian di Indonesia akan semakin tumbuh dan berkembang setiap tahunnya.

  1. Sulitnya Para Petani untuk Mendapatkan Fasilitas Kredit di Bank
Baca juga :  [Opini] Indonesia Butuh Pemimpin Bukan Penguasa

Masalah semakin lengkap karena para petani susah dalam mendapatkan fasilitas kredit di bank. Pemerintah dinilai seolah tidak serius dalam programnya sendiri, yakni pencanangan target Indonesia swasembada pangan pada tahun 2014 nanti. Disiasati ada oknum tertentu yang memanfaatkan situasi seperti ini. Pemerintah seakan terlena dengan bujukan para mafia dan oknum tertentu yang mendorong pemerintah untuk terus melancarkan praktek impor. Masyarakat sekarang juga sudah termakan arus globalisasi yang mengakibatkan pola konsumerisme. Sehingga mereka akan beranggapan bahwa menjadi seorang petani itu adalah profesi yang rendah, tidak berpendidikan, dan tidak menjanjikan.

            Itulah beberapa masalah yang sedang dirundung sebagian petani di Indonesia yang menyebabkan semakin berkurangnya rumah tangga usaha pertanian dan memperburuk sektor pertanian Indonesia. Berdasarkan uraian permasalahan diatas dapat disimpulkan bahwa peran pemerintah sangatlah penting dalam menentukan ketahanan pangan Indonesia.

Indonesia menargetkan untuk swasembada pangan pada tahun 2014. Namun, apakah ini akan terwujud sementara berdasarkan laporan dari BPS saja disebutkan bahwa Indonesia akan terus mengimpor berbagai macam komoditi pangan selama beberapa tahun kedepan. Bahkan FAO menyebutkan bahwa Indonesia sudah berada di zona merah indeks kelaparan global. Lalu, apakah dengan kondisi seperti ini target swasembada itu akan tercapai? Atau, apakah itu hanya sebuah mimpi di siang bolong semata?

            Banyaknya penduduk usia 15 tahun keatas yang awalnya bergerak di bidang pertanian beralih ke bidang lain semakin memperburuk sektor pertanian Indonesia (berdasarkan data dari survey Angkatan Kerja Nasional AKN). Saat ini, banyak penduduk yang lebih tertarik untuk bekerja dibidang industri, jasa, dan yang lainnya ketimbang di sektor pertanian.

            Jika hal ini terus diabaikan tanpa ada perhatian khusus dari pemerintah. Sudah siapkah kita menghadapi krisis pangan dan kelaparan global? Semakin nyatalah sudah bahwa memang nasib bangsa ini sudah ada diujung tanduk. Siapakah sang penyelamat yang akan mengulang kejayaan swasembada pangan negara Indonesia tempo dulu? Akankah ada Satria Piningit ataukah Ratu Adil yang dapat memecahkan sekelumit masalah ketahanan pangan bangsa ini?

Sudah sepantasnyalah semua pihak lebih peduli dan memberikan perhatian lebih terhadap permasalahan ini. Jangan sampai titel agraris benar hanya tinggalah nama belaka. Selamatkanlah nasib bangsa ini yang sudah ada diujung tanduk. Buktikan pada dunia bahwa Indonesia mampu berswasembada pangan kembali seperti tempo dulu di masa kejayaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *