Fiksi  

Pada Sebuah Bangku Coklat Usang

bangku
pixabay.com

 

Karena cinta bukanlah sesuatu yang bisa dilihat dengan mata telanjang, hal itulah yang menyebabkan cinta tidak bisa seenaknya kita bentuk seperti yang kita mau. Dalam kondisi apapun, sebuah rasa cinta selalu berharap balas dari yang dinanti.

***

Alkisah seorang Bayu, yang tengah termenung, pada sebuah bangku taman coklat usang, kelupas catnya merona pudar, seperti hendak menyampaikan bahwa usia bangku ini sudah mencapai tingkat ketinggian yang maksimum

Bayu, seorang pria kurus, dengan jakun yang nampak kokoh, seorang lelaki yang tengah memasuki masa dimana angka menunjuk pada bentuk 3 dan 0.

Mengenakan kemeja kotak-kotak, celana jeans lusuh dan kasut yang sama lusuhnya dengan celana yang di pakai, Bayu tampil seperti seseorang yang tidak terlalu memperdulikan sebuah style yang tengah trendy.

Di pagi yang belum waktunya datang, Bayu adalah orang pertama, di hari itu yang mengunjungi taman kota, dan menduduki bangku dengan usia yang meninggi itu.

Wajahnya tertunduk dalam, sangat dalam, menatap tanah yang nampak basah oleh hujan semalam. Matanya hanya tertuju pada satu titik, yang entah. Sepertinya di titik itulah Bayu sedang menceritakan luka dan dukanya. Kegamangannya.

Matanya berkerjab-kerjab sendu, tak ada pelangi terdapat disana, hanya gulungan-gulungan awan nan pekat, tepatnya lara yang tak terungkap.

“Aku mencintaimu,”lirihnya tertahan. Jakunnya yang perkasa nampak bergejolak di antara rahangnya yang kokoh. Dengan urat-urat besar yang mempertegas kelelakiannya.

“Tapi apakah mungkin masih ada berjuta kesempatan untukku, jika semalaman sudah kutumpahkan banyak bulir, pada kedua sisimu yang kugilai kelembutannya. Pada celah-celah kedua matamu yang aku kagumi binarnya” Bayu merubah posisi duduknya. Kali ini di angkatnya kedua lutut yang kurus itu pada sisi terluar bangkunya, dan mendekapnya.

Walau sudah merubah posisi duduknya, namun tatapan matanya itu masih saja menatap satu titik yang entah itu.

Bayu membetulkan sisi topinya, lalu mengeluarkan dengan sedikit kerepotan ponselnya yang terbenam di saku celana jeansnya yang ketat lekat.

Naya. Itulah nama yang di cari pada beberapa pesan yang terdapat di kotak masuk. Jarinya bergulir naik turun, dengan wajah yang sesekali berubah-ubah.

Kadang nampak bahagia penuh harap, namun sejurus kemudian nampak murung berputusasa. Itu saja yang muncul, bergantian.

Baca juga :  Pertemuan 1

Nafasnya pun sesekali terdengar memburu, terburu-buru seperti pecundang yang ditelanjangi kenyataan, menahan malu.

“Apakah tak ada lagi yang tersisa dari perjuanganku menyakinkanmu, bahwa aku dan dia sudah tak terikat apapun. bahwa kehadirannya muncul karena membumbungnya asaku padamu, sementara kau ber-asa sama rendah dengan tanah” Bayu menghela nafasnya, dan jarinya beralih icon, yang didalamnya terdapat beberapa foto seorang gadis yang kerap di sapanya dengan panggilan “Aya”

***

Pada sudut taman yang lain,

Seorang gadis dengan mata sembab, kerepotan menyeka airmatanya yang tak kunjung reda. Sampai-sampai hujan merasa marah pada pemilih airmata itu, karena sudah mengalahkan derasnya.

“Bay, Aya mencintaimu, namun luka ini terlalu utuh menjelma menjadi sebuah benang kusut, sulit sekali untukku mengurainya. Jangan kira aku tanpa usaha dan upaya mengalah, namun hatiku hanyalah hati yang terbuat dari daging, dan sewajarnya daging yang terkoyak sakit sudah pasti kurasa” Aya menenggelamkan wajahnya pada kedua tangannya. Bahunya berguncang-guncang mengisyaratkan sebuah perih tak terperi.

Diraihnya ponsel yang berada pada skala speedometer, jarinya lancar meluncur pada kotak pesan masuk, “Bayu” nama itulah yang di tuju.

Dan nama itu seperti sebuah pemantik api, yang membumihanguskan apapun disekitarnya. Tangis Aya semakin menjadi saat matanya bersitatap dengan layar ponsel yang didalamnya terpampang nama Bayu.

Bayu, lelaki yang menanam sejuta janji setia, lelaki yang menabur sejuta mimpi, di ladang hatinya, ternyata dengan sukarela membagi semuanya dengan genap.

“Aku tahu kesalahanku, Bay, terlalu lama acuhkanmu Tetapi bukankah selama ini kau yang menyakinkanku bahwa semua masih pada tempatnya, bahwa yang abu-abu akan menjadi nyata diakhirnya. Aku terluka dalam, Bay”

Aya meraih kotak tisu dan mencabutnya tanpa ampun, kertas putih tak bersalah itu kini berubah bentuk menjadi remah-remah sebuah kemarahan, kekecewan dan rasa cinta.

Dengan bergetar jari lentiknya mulai berencana, dengan bantuan sinar lampu yang mulai meredup, bias-bias bening di wajah Aya nampak rupawan. Kilau-kilaunya sebening pualam dari Timur Tengah.

“Bayu, seperti halnya sebuah luka, aku butuh tempat dimana aku bisa memproses lukaku ini menjadi suka. Tempatnya dimana dan kapan, cukup aku saja yang tahu. Mengertilah. Aku pergi hanya untuk menata apa-apa yang terberai. Aku pergi hanya untuk mengurai kisah kusut tanpa jeda. Dan jika kau ingin menungguku, tunggulah aku, dan jika tidak, maka kau kubebaskan untuk kembali padanya. Dia yang sosoknya hadir ketika janji setiamu mulai tumbuh rimbun di lembah sanubariku”

Baca juga :  Setelah Perjalanan

-Send.-

Sesaat setelah nada pemberitahuan terdengar, bahwa pesan yang dikirim sudah sampai pada yang dituju, lengan Aya melemah, ponselnya tergeletak dengan acak.

Beberapa kali Aya menarik nafas panjang, berharap udara yang dia hirup paksa tersebut akan menjadi sesuatu yang menguatkannya.

Dan mobil dengan merek otomotif terkenal itu, perlahan menghilang tanpa ampun. Tanpa jeda. Tanpa bekas. Kecuali remah-remah kertas putih yang tercecer.

***

Bayu tersentak, sebuah pesan membuat tubuhnya sedikit terlonjak. Dengan malas dipaksanya jarinya untuk mencari tahu siapa sesungguhnya pemilik pesan.

“Naya” nama yang tampil, dan seketika jantungnya berdetak dengan cepat. Berdentum-dentum tanpa ampun memukul-mukul rongga dadanya yang kurus tipis.

Matanya sedikit terbelalak membaca pesan yang tersampaikan. Sejurus kemudian, wajahnya melemah, jakunnya melemah, otot-otot tegas di wajahnya melemah. Hanya jantungnya lah yang berada di kondisi yang berbeda, dentuman-dentuman itu makin terasa sakitnya, laksana godam sang Hanoman yang tengah angkara pada Rahwana.

“Ayaaaaaa!!!….maafkan aku”jeritnya histeris dan membuat tubuhnya limbung, kemudian tubuh itu terjatuh pada titik terendah bumi. Tak peduli tentang basah kuyupnya lapisan tanah tersebut.

“Aku harus bagaimana ?Agar kau yakin bahwa aku hanya mencintaimu seorang, dan menyerahkan segalaku padamu?”Bayu meratap, dan ratapannya laksana lolongan anak serigala yang tersesat.

Bayu terisak, entah perih, entah pedih.

Bangku berwarna coklat pudar itu masih saja mematung, sama persisnya ketika Bayu pertama kali datang, kemudian duduk diatasnya.

Beberapa lembar cat usang yang terkelupas, luruh di beberapa sisi bagiannya, seiring derai milik Bayu yang merasa kehilangan.

***

Cinta, sekali lagi bukan sesuatu yang kasat mata, oleh sebab itu sebuah cinta tidak bisa kita bentuk sesuka hati. Selayaknya sesuatu yang absurd, sebuah cinta hanya bisa di rasakan oleh dua orang saja, yaitu sang tercinta dan pecinta itu sendiri.  

Menjaga cinta agar berada tetap di tempatnya adalah lebih baik, karena seperti semua yang tercipta dan terlahir, cintapun memiliki Qadha’ dan Qadarnya sendiri.

 

 

 

Responses (6)

  1. ‘Aya’… hmmm nama yang cantik.. pasti secantik orangnya.. 🙂

    Salam mbak Novie..

    1. Selamat siang NK,

      Mungkin..hehehe..mungkin sosok Aya seperti yang NK gambarkan,

      Salam 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *