Pangkat Jenderal adalah tertinggi dalam struktur kepangkatan militer. Seorang prajurit harus menempuh perjalanan karir yang teramat panjang dan berliku hingga sampai dipercaya mengenakan lambang bintang di kedua pundaknya. Didalam perjalanannya mencapai pangkat tertinggi tersebut, prajurit militer setahap demi setahap naik pangkat sejalan dengan pengalaman, kemampuan dan prestasi yang dimilikinya. Berbagai latihan dan pendidikan khusus kemiliteran harus dijalani, juga setidaknya pernah ikut serta didalam tugas operasi militer sebagai syarat untuk bisa dianugerahi pangkat Jenderal.Sebutan Jenderal juga seringkali digunakan untuk panggilan dinas kepada prajurit militer yang masuk dalam kategori kepangkatan Perwira Tinggi (Pati). Sebagaimana diketahui Pangkat Perwira Tinggi dimulai dari Brigadir Jenderal (BrigJen) berlambang Bintang 1, Mayor Jenderal (MayJen) berlambang Bintang 2, Letnan Jenderal (LetJen) berlambang Bintang 3 dan yang tertinggi adalah Jenderal yang berlambang Bintang 4.
Seorang Jenderal pastilah sudah berusia matang dan memiliki segudang pengalaman dalam dunia kemiliteran, selain itu juga sudah terbiasa menjadi Komandan diberbagai kesatuan. Dengan berbekal pengalaman itulah maka seorang Jenderal secara alami akan mampu berpikir strategis dan rasional.
Namun demikian, dalam suatu kesempatan, mereka mungkin terlupa, atau tak menyadari bahwa dirinya seorang Jenderal. Atau mungkin memang sengaja membuat pernyataan yang tak selayaknya diucapkan, terutama bila sudah ada kepentingan politik yang melatarbelakanginya.
Bila kembali merujuk kepada peran, fungsi dan tugas militer dalam hal ini TNI yang mana sebagai alat negara di bidang pertahanan, menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara, maka anggota militer tidak diperkanankan ikut serta didalam arena politik praktis apalagi dalam masa kampanye seperti sekarang ini.
Untuk itu, diberbagai kesempatan, Panglima TNI Jenderal Moeldoko selalu menegaskan bahwa didalam masa Pemilu ini, posisi anggota militer adalah netral, artinya tidak memihak salah satu pasangan Capres/Cawapres.
Sampai disini, pernyataan Panglima TNI tersebut tentu dapat diterima oleh semua pihak, sebab memang susuai TuPokSi nya, Militer adalah bergerak dibidang pertahanan dan keamanan Negara bukan untuk mendukung pemenangan Calon Presiden tertentu.
Nah, lalu bagaimana dengan para purnawirawan TNI terutama yang sudah berpangkat Jenderal ? Apakah mereka juga harus bersikap netral seperti yang ditegaskan Panglima TNI ? Apakah bila seorang prajurit militer sudah pensiun, maka dia diperbolehkan ikut serta ‘bermain’ dalam arena politik praktis ? Jawabannya adalah ya, sebab tak ada satupun aturan perundang-undangan yang melarang para purnawirawan TNI berperan aktip dalam dunia politik, termasuk menjabat sebagai anggota DPR, Pengurus dan pembina partai politik dlsb.
Namun demikian, dalam perjalanan karir politik para purnawirawan TNI, muncul bebagai permasalahan yang sangat mendasar, yaitu adanya sikap dan pernyataan politik yang tidak layak dilakukan oleh seorang Jenderal meski sudah memasuki masa pensiun.
Ada beberapa kasus besar yang bisa dijadikan contoh diantaranya adalah pernyataan terkait pelanggaran HAM yaitu penculikan aktivis reformasi yang mana ditujukan kepada Capres Prabowo. Semasa masih aktip menjadi anggota militer, tentu merekalah yang mengetahui secara persis apa yang terjadi kala itu, dan taruhlah mereka punya bukti-bukti menurut versi mereka yang membuat Prabowo kemudian harus berhenti dari karir militernya. Namun mereka lupa bahwa negara kita ini berdasarkan atas hukum, bukan atas opini para mantan Jenderal.
Segala perbedaan atau sengketa seharusnya diselesaikan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat, namun bila sudah masuk dalam ranah pidana tentu harus pula diselesaikan melalui jalur hukum yang berlaku, apalagi untuk kasus pelanggaran HAM berat yang melibatkan Prabowo yang kala itu sebagai DanJen Koppassus. Bila dalam ranah militer, tentu juga ada lembaga peradilan yang disediakan yaitu Mahkamah Militer.
Tegasnya begini, khusus terkait masalah HAM yang melibatkan Prabowo, selama tidak ada keputusan final dari Mahkamah Militer yang menyatakan bahwa Prabowo terlibat, maka tak boleh siapapun membuat pernyataan sendiri termasuk mantan Jenderal sekalipun. Satu satunya lembaga yang berhak mengadili Prabowo adalah Mahkamah Militer.
Pantaskah bila kemudian para purnawirwan Jenderal itu membuka aib Prabowo di masa lalu ? Bukankah mereka dulu juga berada pada kesatuan yang sama ? Bukankah dulu Prabowo adalah anak buah mereka juga ? Dimanakah Jiwa Korsa (L’ESPRIT DE CORPS) yang telah tertanam pada diri mereka yang telah mengkristal menjadi janji suci untuk melindungi sesama anggota TNI ?
Mengapa semasa mereka masih aktip tidak segera melimpahkan kasus ini kepada Mahkamah Militer, bila ini adalah masalah yang sangat krusial dan mendasar ? Mengapa setelah bertahun tahun berlalu, sekarang diangkat lagi bahkan di ‘blow up’ di berbagai media, sementara Prabowo kini tengah berada dalam masa kampanye untuk dicalonkan sebagai Presiden ? Bukankah ini secara langsung ataupun tidak langsung akan menjatuhkan kredibilitas Prabowo dimata masyarakat yang nota bene tidak banyak tahu tentang rahasia di tubuh TNI ? Terus terang, penggunaan cara cara seperti ini sungguh tidak adil dan sangat memalukan, apalagi dilakukan oleh mantan petinggi TNI.
Bila memang tak lagi mampu menolong, cukuplah mereka diam. Tak perlu memberi pernyataan kepada publik dengan dalih untuk mencerahkan pengetahuan masyarakat. Apalagi bercerita tentang fakta terkait dokumen Rahasia Negara. Ini benar benar tak pantas dilakukan oleh seorang purnawirawan berpangkat Jenderal.
Disisi lain, ada pula yang memberi pernyataan kepada publik mengenai perilaku tidak terpuji Capres Jokowi semasa menjabat sebagai Gubernur DKI. Pernyataan yang terlalu dangkal dan tidak didukung dengan bukti-bukti akurat, hanyalah pepesan kosong. Seorang Purnawirawan Jenderal, telah lupa bahwa dirinya mantan Jenderal. Menyampaikan opini kepada masyarakat hanya berdasarkan cerita atau curhat atau curcol mantan anak buah atau koleganya, sungguh perbuatan yang tidak selayaknya dilakukan oleh seorang mantan Jenderal.
Hal hal seperti ini bukannya mencerahkan, malah sebaliknya menimbulkan persepsi yang buruk dan bias terhadap kredibilitas Calon Presiden.
Untuk itu, marilah kita sama sama merenungkan kembali atas semua yang telah kita lakukan. Kembali menggunakan cara berpikir yang proporsional dan rasional, dan tidak serta merta memanfaatkan momen kampanye ini untuk menjegal lawan politik dan membela secara membabi buta Capres yang dudukungnya.
Saya menulis ini sama sekali bukan bermaksud membela siapapun atau menyerang siapapun. Yang saya bela adalah kebenaran, dan niat saya menulis, hanyalah sekedar meluruskan bila ada yang saya rasa menyimpang, semampu saya dan sesuai kapasitas yang saya punya.
Sebab saya hanyalah rakyat biasa, bukan siapa siapa dan tak punya kekuasaan apa apa. Namun selagi saya bisa, saya akan berusaha memberikan sesuatu yang, semoga bisa bermanfaat bagi orang lain.
Salam