Seminggu yang lalu saya pergi ke sebuah Cafe dan ‘hang out’ bersama anak saya. Yes, hang-out, artinya bersantai dan duduk – duduk sambil menikmati secangkir cappucino. Sementara anak saya mengupdate situs Korea-nya, saya berniat menghabiskan sebuah buku yang sudah berbulan – bulan tak selesai juga saya baca. Karena ada keperluan mengunjungi relasi yang bertempat tinggal dekat dengan lokasi Mall Grand Indonesia, maka pergilah kami kesana.
Ada sebuah cafe yang menjadi favourite saya di Grand Indonesia. Mengapa? Letaknya sedikit tersembunyi, sehingga tidak terlalu terkesan restoran ‘cendol’ karena banyaknya orang yang berjubal ingin duduk makan. Tak dipungkiri, supermarket dan tempat makan adalah ujung tombak sebuah pusat perbelanjaan. Sebenarnya saya ingin ada cafe sederhana di dekat rumah, yang bergaya seperti di luar negeri, outdoor dengan pemandangan melihat orang jogging, gendong kucing, bawa anjing jalan – jalan dan seterusnya. Sayang, hanya mimpi! Semua cafe ngumpul di mall! Yang didekat rumah paling banter warteg.
Cafe itu sudah berulang kali kami kunjungi dan pengunjungnya juga beragam. Jadi boleh dikata cafe itu cukup laris. Dalam beberapa kali kunjungan, saya merasa bahwa sikap pelayannya sedikit angkuh. Tapi saya tak ingin berpikir negatif atau berburuk sangka. Yang penting pada akhirnya kami dilayani. Kunjungan kemarin, saya datang hanya berdua dengan anak saya. Biasanya saya datang dengan rombongan teman kuliah. Karena memang tempatnya nyaman, hidangannya kuliner kedaerahan dan enak, sehingga telah berulangkali kami datang kesitu. Ketika saya dan anak saya datang. Lamaaaaaaaaaaa sekali, tak ada pelayan yang muncul untuk melayani.
Kemudian saya minta anak saya mengambil buku menu yang ada dimeja. Ternyata itu menu yang salah. Jadi menu yang tergeletak diatas meja adalah menu dari restoran lain yang satu group dengan Cafe tersebut. Masih menunggu beberapa saat, ketika akhirnya seorang waiter pria datang, meletakkan menu sebenarnya dan langsung pergi. Setelah memilih, saya melambai pada sekumpulan waiter yang bergerombol didepan meja kasir. SEMUANYA MEMANDANG SAYA tetapi pasang MUKA KOSONG. Tidak senyum, tidak satupun yang langsung datang. Kemudian sekumpulan waiter itu pergi melewati meja saya dan sama sekali tidak berkata ba-bi-bu. Tidak mengatakan, “Maaf Bu, mohon tunggu. Nanti ada waiter lain yang akan melayani Anda.” Tidak, semuanya acuh dan melewati meja saya dan anak saya dengan sikap tidak perduli kelas dewa.
Ketika akhirnya pelayan yang pertama memberikan menu muncul kembali. Langsung saya tegur habis – habisan mengenai perilaku teman – temannya. Saya sudah belajar, bahwa marah itu tidak baik. Tapi secara logika, pergi ke CAFE di GRAND INDONESIA, kok bisa tingkah pelayannya lebih PARAH dari PELAYAN WARTEG. Harga makanan mahal, kena pajak, kena service charge, kena tarif parkir yang membumbung. Masih mendapatkan pelayanan yang BURUK. Pasti saya bodoh kalau tidak berpikir bahwa saya sedang dibodohi habis – habisan. Ketika pulang juga, makanan yang saya pesan bungkus harus dicek. Dan ketika dicek, sambelnya ketinggalan. Dan harus diminta lagi! Kasihan pelayan yang melayani saya hari itu. Habis – habisan saya omelin!
Pelayan bukan hanya di Resto atau Cafe, bisa jadi disemua layanan publik, Anda disebut pelayan! Kenapa pelayan kadang bersikap buruk?? Gaji kurang? Tidak Happy? Management buruk?? Boss kejam?? Okay! Saya pernah menjadi PELAYAN. Dan bukan sehari – dua hari. Saya menjadi pelayan selama 14 tahun! Yes, 14 tahun jadi abdi dalem. Dari yang bikinin kopi seorang mentri, mengambil koper boss di bandara, pesan pizza untuk meeting, menjemput tamu di gardu satpam, menelpon pembantu boss dan pesan tentang kukusan sayur, nelpon salon dan pesan tukang cabut alis bernama Aziz. Saya bahkan pernah membereskan ruangan boss dan meletakkan sepatunya yang berceceran ke sudut agar rapi. Yup, sebutkan tugas paling hina yang belum saya lalukan apa?!
SAYA TAHU JADI PELAYAN ITU SAKIT HATI. APALAGI kalau merasa diri kita bukanlah PELAYAN. Semua orang juga inginnya jadi BOSS. Tapi menjadi PELAYAN itu PROFESI bukan NASIB! Menjadi pelayan karena harus cari duit, cari nafkah dan buatlah diri kita pelayan yang berkelas dengan attitude yang baik! Majikan juga bisa membedakan pelayan yang elegan dan pelayan yang kampungan. Pelayan yang mengerti bahwa melayani itu bukan hina tetapi luar biasa. Pelayan yang memiliki kepuasan ketika para majikan tersenyum bahagia. Merasa lebih baik dari sekedar berprofesi sebagai Pelayan?? QUIT YOUR JOB! Keluarlah dari pekerjaan Anda, buktikan pada dunia bahwa ANDA bukan pelayan. Atau Anda bukan jenis pelayan yang bisa dibayar murah! Gitu saja kok repot!
Ini kerugian terbesar dari ketiadaaan kesadaran sikap melayani yang baik : “BALIK LAGI KE CAFE ITU?? AMIT – AMIT, NGGA SUDI!”
Sebenarnya saya ingin ada cafe sederhana di dekat rumah, yang bergaya seperti di luar negeri, outdoor dengan pemandangan melihat orang jogging, gendong kucing, bawa anjing jalan – jalan dan seterusnya.
Loh di Lippo karawaci bukannya ada, Ci?
Memang gak habis pikir juga sih, di saat semua usaha berusaha melayani konsumennya dengan cara yang terbaik, seperti di bank, tetapi pelayanan di mall kelas satu malah bikin cici yang satu ini ngomel terus, coba pelayannya saya, pasti fuul service hehhe
sudah jadi boss kok mau jadi pelayan lagi sihh..boss Kate?
Amin doanya, kalau jadi justru justru harus lebih melayani, ci
Emang pelayan sekarang gituuuuu amat. Tapi mbak Winda pernah engga lihat gaya mereka kalau tamunya bule?
wuahhhh hehehe…memang masih ada orang-orang yg mentalnya masih demikian ya…capee deeeh..