Penulis, Antara Nafsu dan Idealisme

penulis

Sudah lama rasanya jemari ini tidak menjentikkan ke wajah tuts di keyboard ringsek ini. Selain karena koneksi yang bikin tensi tinggi, juga rasanya mood yang ada, hilang saat hendak menuangkan. Ditambah lagi akun yang lama, lupa bagaimana masuknya. Akhirnya saya hanya menyimak dari balik rekahan koneksi. Sudah hampir setahun membaca karya dan untaian kata para sahabat, tanpa sengaja ada yang terkotak di dalam pemahaman otak ini.

Penulis dalam menuangkan isi kepala atau isi dadanya, sangat beragam. Dari cara menyampaikan dan gaya bertuturnya.Mungkin bila boleh dibagi berdasarkan profesionalitas, penulis bisa terbagi dalam tiga kategori. Yaitu penulis amatir, amatir plus dan penulis professional. Penulis amatir adalah para penulis pemula yang biasanya masih gagap dalam mengeja kata ataupun membuat strukur dalam karyanya. Amatir Plus, yaitu mereka para pemula yang tidak lelah dalam berproses dan mencari karakter diri dalam tulisannya. Biasanya tulisan yang ada sudah tersusun bagus, baik diksi ataupun ide yang ada. Tetapi masih ada kelabilan dalam karyanya karena dalam level ini, mereka masih mencari bentuk dari tulisannya. Sedang penulis professional, adalah penulis yang sudah berkarakter dan rapi dalam merangkai untaian ide maupun diksi yang ada.

Terus bagaimana kita? silahkan menilai diri sendiri. Hehe.. Beberapa bulan yang lalu ada pertanyaan menarik dari seseorang di salahsatu jejaring social. Dia mempertanyakan sebenarnya bagaimanakah hubungan antara sebuah karya seseorang dengan kepribadiannya? Apakah itu berbanding lurus atau tidak bisa dipastikan. Ada yang mengatakan sebuah karya itu adalah ibarat cerminan dari penulisnya. Karena bagi yang berpendapat seperti itu berasumsi, bahwa sebuah karya itu lahir dari ungkapan jiwa penulisnya. Kualitas akan ide atau isi sebuah karya adalah jiplakan dari penulisnya secara pribadi. Ketika ada sebuah karya yang berbau porno, maka dalam asumsi di atas, bisa dipastikan bahwa penulisnya adalah berkepribadian porno. Saat sebuah karya itu bisa menyejukan dan bernilai spiritual, maka kesimpulannya sang penulis berjiwa agamis.

Baca juga :  Damai

Benarkah demikian? Dalam perspektif lain, ada yang bilang, nilailah orang dari karya yang ada, jangan sangkut pautkan dengan pribadinya. Karena tidak jarang seorang penulis besar (besar di sini karena sudah berhasil best seller), tetapi dalam interaksi social, tidak seperti “besar”nya karya yang telah dihasilkan. Secara pribadi, dia adalah pribadi yang egois, mau menang sendiri dan tak jarang berkata kasar dalam berkomunikasi. Atau sebaliknya, ketika seseorang divonis oleh sebagian orang bahwa dia adalah penulis yang tidak bermoral, tidak terima karena baginya tulisan adalah seni dan seni itu tidak terbatas oleh sebuah nilai tertentu ataupun sekat kelamin. Bagi mereka, sebuah karya itu lahir karena kekuatan daya imajinasi mereka dan ini berhubungan dengan sebuah talenta dan kepandaian, bukan kepribadian. Jadi mereka tidak akan terima ketika karyanya dikaitkan denga masalah pribadi.

Baca juga :  Revolusi

Banyak tulisan,yang sebagian besar merupakan fiksi, adalah tulisan yang jika dicermati terasa bahwa itu adalah sebagai penyaluran nafsu kita sebagai manusia. Nafsu dalam arti mengumbar aroma birahi. Karena pada titik tertentupun, tulisan tulisan yang seperti itu adalah memang diupayakan sebagai pemantik dari hasrat dasar manusia. Ada yang secara halus tersirat, ada juga yang secara blak blakan memang bertema blue. Tapi masih saja, hal ini selalu menjadi perdebatan. Karena ketidak jelasan definisi sebuah idealisme ataupun niat seseorang menulis itu hanya penulis dan Tuhan yang tahu.

Jadi bagaimanakah kita bisa menilai seorang penulis itu cenderung pada nafsu atau idealismenya? Atau malah akan muncul istilah penulis beridealisme nafsu.? Untuk bisa menilai demikian, sangat diperlukan sebuah parameter dalam menentukan sebuah idealisme seorang penulis. Namun apakah itu mungkin, mengingat sebuah idealisme itu sesuatu yang absurd dan bersifat subyektif dan lagi lagi akan berujung pada sebuah pro kontra. Tetapi saya yakin, semua sebenarnya sudah terjawab, apakah para penulis dalam membuat tulisannya itu adalah nafsu atau karena idealismenya. Dan jawabannya adalah niat saat pena sudah mulai ditarikan.

Responses (2)

  1. mungkin ada yang menulis karena nafsunya sulit dibendung untuk melegakan otak dan dadanya, ada juga yang nafsu menulis untuk mengejar nafsu yg lain. Hehehe..tulisan keren, Mas Ken

  2. kalo menulis karena melihat sesuatu yang kiranya asyik untuk ditulis…termasuk mana?
    nice post, mas Ken.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *