Fiksi  

Penyesalan

“Jadi, bagaimana ini pa?” tanya seorang wanita paruh baya di sela isak tangisnya.
Lelaki tua dihadapannya hanya dapat menggeleng perlahan, tak tahu harus menjawab apa. Ini kesalahannya, kesalahannya membiarkan semua terjadi. Ah, padahal ia sang imam keluarga, pemimpin. Pemimpin macam apa dirinya, yang tak dapat melindungi keluarganya sendiri. Ia pun menghela nafas berat. Ya Tuhan,
“Pa?” panggil istrinya lagi. Ia menatap istrinya yang wajahnya telah dipenuhi air mata.
“Sabar, Ma!” Ucapnya perlahan. Hanya itu yang sanggup ia katakan pada sang pendamping hidupnya selama ini. Maafkan aku, Ma membuatmu bersedih.
“Sudah hampir sebulan, Pa,” isak tangis istrinya semakin menyayat hati. Ah, kalau saja aku bersikap sejatinya seorang kepala rumah tangga mungkin takkan begini ceritanya.
Arrrgggghhhhh, gumamnya frustasi sambil mengacak rambutnya yang mulai memutih.
Bulan lalu, awal prahara dalam kehidupannya dimulai. Ia menyadari kesalahan sepenuhnya ada padanya. Dirinya adalah seorang ayah dan juga suami seharusnya bertanggungjawab penuh atas istri dan anak- anaknya. Namun, terlupakan. Terlena atas nama harta yang berlimpah dan tahta yang berkuasa. Melupakan janji yang terucap di hadapan Tuhan di awal pernikahannya.

“APPPPAAAA!”teriaknya tak percaya pada perkataan sang lawan bicara diseberang telepon. Tak menunggu lama ditinggalkannya ruang kerjanya selama bertahun- tahun ini. Namun baru saja berdiri,
“Pak, mau kemana? Seharusnya setengah jam lagi anda hadir pada pertemuaan….”
“Batalkan semua!” Ucapnya keras pada sang asisten..
“Tapi pak, mereka kan pendukung ba…,”
“ANAK SAYA KRITIS!” Ujarnya keras dan membuat sang asisten seketika terdiam.
“Siapkan mobil sekarang!” Perintahnya kemudian.

Baca juga :  Hujan di Bulan Januari

Hamil, bunuh diri. Dua kata ini terus memenuhi otaknya berhari- hari ini. Pasca sang anak dilarikan ke rumah sakit ia harus menerima kenyataan pahit bahwa sang putri bungsu kesayangannya mencoba melakukan bunuh diri. Bunuh diri? Ia meratap. Apa yang kurang yang selama ini ia berikan untuk keluarganya? Terutama sang bungsu? Apa yang membuatnya melakukan percobaan bunuh diri, berusaha mengakhiri hidupnya sendiri?
Bagai petir di siang hari yang terik, ucapan sang dokter menambah daftar kegagalannya sebagai seorang ayah. Puterinya yang sekolah menengah saja belum tamat, mengandung. Hamil. Ia menggeram frustasi. Beruntunglah sang putri selamat, beserta janin yang dikandungnya.

Waktupun segera berganti. Prahara belum usai. Sang puteri yang sudah dinyatakan sehat tak seperti dahulu. Binar kehidupannya menghilang. Tatapan wajahnya kosong. Janin pun terus berkembang. Ia mencari tahu siapa ayah dari sang calon cucu. Malang tak dapat ditolak, ia malah mendapati kenyataan perilaku liar sang anak kesayangan. Valentine yang lalu, sang puteri terjerumus dalam pesta “kasih sayang” anakremaja saat ini. Melakukan yang tidak semestinya. Namun sayangnya sang kekasih puterinya menghilang, tak tahu dirimbanya kini.
Ia menyesal. Jika saja ia melarang puterinya pergi ke pesta terlarang itu. Jika saja ia tidak membiarkan sang puteri berhubungan dengan pemuda yang bukan muhrim walaupun atas nama pacaran sekalipun, jika saja ia lebih meluanuangkan waktu bersama keluarga, jika saja ia lebih memperhatikan jika saja….

Baca juga :  (CERMIN)Untukmu, Yang Hanya Biasa Saja.

“Pa,” suara istrinya membawanya kembali ke dunia nyata. Ah, rasa bersalahnya semakin membuncah. Ia tahu bagaimana pilunya sang istri, merananya sang anak. Semua hanya karena sisi egoisnya, ketamakannya mengejar duniawi hingga ia melupakan orang- orang sekitarnya.
Ia menghela nafas berat, “Pasrahkan urusan pada sang pencipta, Ma. Semoga ada jalan terbaik,”
Ah, Ia mencibir untuk dirinya sendiri. Kalau sudah begini, ia baru ingat Tuhan. Selama ini,…. Ya Tuhan ampuni aku.

(ISL)
Bandung, 12 Februari 2014

“Hidup itu bukan hanya tentang aku, tapi juga tentang orang- orang yang kita cintai. Tentang orang- orang di sekitar kita. Tentang sesama juga bumi yang kita pijak. Hidup bukan tentang yang mereka berikankan pada kita tetapi tentang hal terbaik yang sudah kita berikan untuk mereka.”
(Quote_Campur_ campur, hee)

Response (1)

  1. mbak Imas,,lama nian tidak ketemu..kemana saja nih? Akhirnya setelah pelacakan yang alot,ketemu juga disini hehe… Setuju mbak Imas,hidup itu bukan semata tentang diri kita,tetapi juga tentang orang orang yang kita cintai. Mustahul kita bisa gembira,bila salah satu dari mereka sakit dan menderita,salam hangat dan sampai jumpa di Bandung. Kami di Bandung .tgl.22 Maret di Hotel Mutiara,ada acara dimulai jam 8,00 pagi. boleh ajak keluarga mbak,nggak pakai uang pendaftaran hehe..see you in Bandung

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *